Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
“Jangan jadikan ‘karena kamu adalah perempuan’ sebagai alasan untuk apapun. Jangan pernah.” Tegas Chimamanda Ngozi Adichie lewat bukunya yang berjudul A Feminist Manifesto. Andai orang tua kita membaca buku yang cukup kecil dan tipis ini, mungkin saja mereka tak akan pernah menerapkan ‘peran gender’ yang amat timpang antara anak perempuan dengan anak laki-lakinya.
Hanya karena seseorang terlahir perempuan, ia diharuskan dan dilarang untuk melakukan sesuatu. Di waktu kecil ketika rumah saya berantakan, seseorang berkata, “Anak gadis kok rumahnya berantakan?” Kata-kata yang mungkin tidak akan pernah ditujukan pada saudara laki-laki saya meski mereka penyebab rumah menjadi berantakan.
Di waktu kecil pula, saya mendapat teguran, “Tidak elok anak perempuan duduk seperti itu di hadapan saudara laki-lakinya!” Teguran yang mungkin pula tidak akan pernah diterima oleh saudara laki-laki saya meskipun mereka duduk dengan berbagai macam gaya.
Suatu hari ketika ibu saya sedang tidak bisa ke pasar, sayalah yang ia suruh untuk berbelanja. Di saat itu saya memprotes, “Kenapa harus saya? Saudara yang lain kan ada dan juga tidak sedang punya kesibukan lain?” Ibu saya tidak menjawab, tetapi seseorang menyela, “Kalau dia yang pergi ke pasar, memangnya dia pakai rok? (Menegaskan bahwa laki-laki tidak seharusnya ke pasar).” “Mau ditaruh di mana mukanya!” Tambahnya.
Pembicaraan itu tampak berlangsung serius dan penuh ketegangan. Sebenarnya tidak, jawaban itu dilontarkan sebagai bentuk candaan. Akan tetapi buat saya tetap mengesalkan. Aduh, kenapa tulisan ini malah tampak seperti curhat, ya?
Begitulah peran gender diterapkan dalam pengasuhan oleh sebagian orang tua. Bahkan kita sebagai saudara perempuan pun kadang ikut melanggengkannya. Beberapa kali saya menyaksikan anak laki-laki yang selalu dilayani ini itu oleh saudara perempuannya, entah itu adik atau kakaknya.
Suatu pagi seorang anak laki-lagi merengek lapar. Di meja makan sudah tersedia lauk dan sayur yang baru saja selesai di masak, tentu saja oleh kakak perempuannya. Tetapi anak laki-laki itu mengaku tidak suka makanan tersebut dan menginginkan telur dadar. Dari usianya yang sekitaran 10 tahun, saya kira tak begitu sulit untuk anak seusia itu untuk memasak telur dadar.
Di suatu waktu, saya menyaksikan seorang anak laki-laki berkali-kali merengek minta dibuatkan mi goreng instan kepada neneknya. Oh ya, anak laki-laki itu bahkan lebih besar dari anak laki-laki sebelumnya. Akan tetapi rupanya sekadar untuk memanaskan air pembuat mi instan ia tidak bisa.
Apakah ada keuntungan yang didapatkan dari selalu melayani anak laki-laki dari ia bayi hingga dewasa? Saya yakin jawabannya adalah ‘tidak’. Perlakuan serupa itu hanya akan membuatnya gagal menyelamatkan diri sendiri karena tidak mampu melakukan hal-hal dasar yang perlu dimiliki manusia untuk bertahan hidup. Setelahnya, terbentuklah bayi dewasa yang tidak bisa melakukan apa-apa.
Discussion about this post