Oleh: Roma Kyo Kae Saniro
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Adanya pendapat mengenai perbedaan Timur dan Barat dan memberikan dikotomi yang berbeda antara keduanya. Masyarakat Timur adalah istilah yang merujuk pada beragam kelompok etnis, budaya, dan negara-negara di wilayah Asia Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik. Daerah ini meliputi negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, Korea, Vietnam, Thailand, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan sebagainya. Indonesia sebagai negara Timur, tentunya memiliki ciri-ciri bahwa masyarakat Timur memiliki keragaman budaya yang kaya dan beragam. Ada perbedaan signifikan dalam bahasa, agama, adat istiadat, dan sistem nilai di antara kelompok-kelompok masyarakat ini.
Pendapat tersebut dapat mengotak-kotakkan manusia sebagai masyarakat dunia yang semestinya harus melebur menjadi satu sehingga jika adanya perbedaan yang ada haruslah ditoleransi dan dianggap sebagai ciri khas yang unik dari masing-masing masyarakat. Hal ini terkait dengan sudut pandang yang digunakan oleh seseorang tersebut. Indonesia sebagai negara Timur memiliki berbagai warisan budaya yang kaya, seperti seni tradisional, sastra, filosofi, praktik spiritual, dan hal lainnya yang menjadi kebanggaan bagi masyarakat Indonesia.
Membahas mengenai sastra, sastra yang beredar di Indonesia sangat bervariasi dan terdiri atas berbagai genre yang memiliki nuansa ke-Indonesia-an. Tentunya hal tersebut membuat masyarakat Indonesia bangga. Salah satu jelas adalah sastra dalam bentuk manuskrip. Walaupun tradisi tulis menulis muncul setelah adanya tradisi lisan yang dianggap merupakan tradisi dominasi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, manuskrip mampu bertahan hingga saat ini dengan adanya pelaksanaan berbagai kegiatan pelestarian budaya manuskrip.
Manuskrip memiliki kandungan isi yang beragam dengan makna yang beragam pula. Salah satunya adalah hal-hal yang berbau ritual. Ritual dapat dimaknai sebagai serangkaian tindakan atau kegiatan yang dilakukan secara teratur, terstruktur, dan sering kali memiliki makna simbolis. Ritual biasanya dilakukan dalam konteks budaya, agama, atau kehidupan sehari-hari untuk tujuan tertentu, seperti memperingati peristiwa penting, menghormati leluhur, menyambut musim, atau menyatukan komunitas.
Manuskrip yang masih eksis hingga kini adalah manuskrip dari salah satu suku di Indonesia, yaitu Sunda berupa wawacan Batara Kala (WBK). Wawacan merupakan cara penulisan sastra dalam bentuk prosa liris karena cerita yang disampaikan dalam bentuk bait-bait puisi yang ritmis. Menurut Rusyana, wawacan merupakan cerita panjang yang digubah dalam bentuk danding (puisi yang ditulis dengan aturan pupuh). Pupuh dalam wawacan dianggap sebagai wadah kisah yang sangat panjang dengan berbagai konflik dan peristiwa di dalamnya. WBK merupakan salah satu karya sastra lama yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat Sunda. Pada awalnya, manuskrip ini berupa sastra lisan yang digunakan pada upacara ngaruat (penolak malapetaka) bagi orang-orang tertentu. Manuskrip ini ditulis dengan huruf cacarakan dan lainnya ditulis dengan huruf pegon.
Sebagai salah satu sastra ritual, WBK memiliki aturan khusus yang tidak boleh dilanggar baik dalam penggunaan, pembacaan, maupun kepemilikannya. Selain itu, manuskrip ini harus dibaca oleh dalang dalam acara ngaruat. Namun, jika harus dibaca selain acara tersebut, persyaratan yang harus disediakan adalah sesaji. Jika sesaji tersebut tidak disediakan, kepercayaan masyarakat bahwa akan adanya malapetaka yang muncul bagi pembaca dan pemilik manuskrip tersebut.
WBK berkisah mengenai penjelmaan Batara Guru (BG) yang menjadi Batara Kala (BK) dengan puncak konfliknya adalah BK yang memohon izin BG untuk memakan daging manusia. Padahal, sebenarnya BG sebagai seorang raja dari segala dewa dalam pewayangan, BG berwatak tidak tercela. Namun, pada akhirnya, BG tidak dapat mengendalikan nafsu birahinya sehingga ia berwujud raksasa (Kalsum, 2015). Raksasa dapat dipahami sebagai simbol kejahatan.
Selanjutnya, BK turun ke bumi untuk memangsa manusia. Penyelesaiannya adalah BG yang menyamar sebagai dalang sehingga harus dilakukan ruwatan agar BK tidak memakan manusia. Acara ruwatan ini harus dilakukan pada waktu magrib hingga subuh karena beberapa keterangan berupa mitos mengungkapkan bahwa BK lebih suka keluar untuk mencari mangsa pada malam hari.
Pencarian mangsa ini dilakukan pula pada malam hari karena gelap sehingga ketika melakukan ruwatan, keadaan harus terang dengan menggunakan pencahayaan atau lilin. Waktu dalam WBK memiliki peran yang sangat penting. Adanya penjelasan terkait dengan kewajiban ruwatan yang harus dilakukan oleh orang-orang khusus, seperti orang yang bepergian pada waktu tengah hari dan magrib.
Intinya, WBK merupakan karya sastra ritual karena menjadi media penyampaian terkait cara manusia berperilaku agar selamat dalam hidupnya. WBK sebagai sebuah sastra klasik pun memberikan amanat bahwa perbuatan buruk akan berakibat buruh pula atau mendapatkan malapetaka). Oleh karena itu, sastra dan ritual saling mempengaruhi dan saling melengkapi satu sama lain. Sastra dapat memberikan landasan mitologis, filosofis, atau etis bagi ritual, sementara ritual memberikan konteks dan pengalaman yang mendalam bagi interpretasi sastra. Keduanya bekerja bersama-sama untuk memelihara dan menghidupkan tradisi budaya dan spiritualitas dalam masyarakat.
Discussion about this post