Oleh: Roma Kyo Kae Saniro
(Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Beberapa waktu lalu, Indonesia telah memperingati hari Kartini setiap tanggal 22 April, hari Buruh yang disebut May Day pada tanggal 1 Mei, dan hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei. Berdasarkan ketiga peringatan hari besar tersebut, ada hal menarik yang dapat diperbincangkan, yaitu terkait dengan perempuan dan hal yang bergejolak di dalamnya. Perempuan merupakan isu yang tidak habis untuk dibahas. Menjadi perempuan dianggap sebagai makhluk yang harus dibedakan terkait dengan gender. Padahal, menjadi perempuan adalah sebuah jenis kelamin yang tidak dapat dipilih dan diubah.
Dalam sistem patriarkal, perempuan seringkali dianggap secara biologis sebagai makhluk yang lemah dan kurang kompeten dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa perempuan secara biologis hanya cocok untuk memenuhi peran sebagai ibu dan pengasuh anak, sedangkan laki-laki dianggap lebih cocok untuk memenuhi peran sebagai pemimpin dan pengambil keputusan di ranah publik. Sistem patriarki juga seringkali menggunakan argumen biologis untuk membenarkan diskriminasi terhadap perempuan. Pandangan bahwa perempuan secara alami lebih lemah dan rentan terhadap emosi menjadi alasan bahwa perempuan tidak cocok untuk memegang jabatan-jabatan atau memimpin organisasi. Argumen semacam ini tidak hanya membatasi kesempatan dan keterlibatan perempuan dalam ranah publik, tetapi juga merendahkan martabat perempuan dan memperkuat ketidaksetaraan gender.
Penelitian biologis menunjukkan bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak selalu berdampak pada kemampuan dan potensi individu untuk memenuhi peran dan tanggung jawab tertentu. Selain itu, peran dan tanggung jawab yang dianggap cocok untuk laki-laki atau perempuan tidak selalu ditentukan secara biologis, tetapi seringkali dipengaruhi oleh norma dan stereotip gender yang diadopsi oleh masyarakat. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak selalu menjadi penentu kemampuan atau potensi individu untuk memenuhi peran dan tanggung jawab tertentu. Kesetaraan gender harus diperjuangkan dan dan diakui. Setiap individu tanpa memandang jenis kelamin atau identitas gender memiliki potensi yang sama untuk mencapai keberhasilan dan memberi kontribusi yang bermanfaat bagi masyarakat.
Pandangan filsuf terkait dengan perempuan dan biologis dalam patriarkal bervariasi. Hal itu tergantung pada pemahaman dan sudut pandang individu. Beberapa filsuf telah mengkritik pandangan bahwa perempuan secara biologis inferior atau tidak sejajar dengan laki-laki dan memperjuangkan kesetaraan gender. Salah satu contoh filsuf feminis yang terkenal adalah Simone de Beauvoir. Dalam bukunya yang berjudul The Second Sex, ia mengkritik pandangan patriarkal tentang perempuan dan menekankan pentingnya memandang perempuan sebagai subjek yang mandiri, bukan objek yang ditentukan oleh pandangan masyarakat dan budaya yang patriarkal. Beauvoir juga menekankan pentingnya perempuan untuk membebaskan diri dari peran yang ditentukan oleh stereotip gender dan mengejar kebebasan dan kesetaraan.
Filsuf lain yang juga mengkritik pandangan patriarkal adalah Judith Butler. Dalam bukunya yang berjudul Gender Trouble, Butler menekankan bahwa gender bukanlah sesuatu yang sudah ada sejak lahir, tetapi merupakan konstruksi sosial dan budaya yang diperkuat oleh tindakan individu dan masyarakat. Dalam pandangannya, perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak menentukan secara otomatis peran dan identitas gender individu. Selain itu, ada juga filsuf seperti Martha Nussbaum dan Susan Moller Okin yang menekankan pentingnya mengakui hak-hak perempuan dan memberikan perlindungan dan kesetaraan yang sama dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam ranah politik, ekonomi, dan sosial.
Secara umum, pandangan filsuf terkait dengan perempuan dan biologis dalam patriarkal dapat memberikan kontribusi penting dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan tentang perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pandangan inilah yang membuat perempuan selalu menjadi bagian setelah laki-laki. Perempuan dalam ranah publik banyak dibatasi dan diabaikan karena masyarakat pada masa lalu cenderung memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah, kurang cerdas, dan tidak memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Perempuan dianggap hanya cocok untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak. Mereka dianggap tidak mampu untuk memenuhi peran di luar itu.
Perempuan tidak memiliki hak untuk mendapat pendidikan sehingga tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam ranah publik. Selain itu, dalam banyak masyarakat, perempuan dilarang untuk terlibat dalam pekerjaan formal dan dianggap tidak pantas untuk memiliki kegiatan di luar rumah. Kegiatan mereka dibatasi dalam lingkup privasi dan tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam ranah publik. Hal ini dapat membatasi kesempatan mereka untuk mencapai potensi penuh dan berkontribusi dalam masyarakat secara lebih luas.
Pendidikan merupakan hak asasi manusia yang harus diperoleh oleh semua orang, termasuk perempuan. Pendidikan memberikan akses pada pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantu perempuan untuk mandiri dan memperbaiki kehidupan, serta memberikan kesempatan untuk mengambil peran lebih luas dalam masyarakat. Di masa kini, banyak negara dan masyarakat telah berupaya untuk meningkatkan akses dan kesetaraan pendidikan bagi perempuan. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dasar dan menengah, serta kesempatan yang sama untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dan pendidikan tinggi lainnya. Namun, terdapat masih beberapa tantangan dan masalah yang dihadapi perempuan dalam mendapatkan pendidikan, terutama di negara-negara berkembang dan daerah-daerah terpencil. Tantangan tersebut adalah terkait dengan diskriminasi gender.
Pertama, perempuan seringkali mengalami diskriminasi dalam akses dan kualitas pendidikan, terutama dalam negara-negara yang masih menganut pandangan patriarkal dan memberikan prioritas pada pendidikan laki-laki. Kedua, adanya faktor ekonomi. Ekonomi keluarga yang tidak mampu seringkali lebih memilih untuk membiayai pendidikan anak laki-laki daripada perempuan. Hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa laki-laki lebih berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan dapat menghidupi keluarga di masa depan. Ketiga, kekerasan gender. Anak perempuan seringkali menjadi korban kekerasan seksual dan kekerasan gender lainnya di sekolah. Hal itu dapat membuat mereka trauma dan menghambat akses pendidikan. Terakhir, pernikahan dini. Pernikahan dini dan hamil di usia muda seringkali menghentikan pendidikan perempuan dan menghambat kesempatan untuk mencapai potensi penuh. Untuk mengatasi tantangan ini, dibutuhkan upaya yang lebih besar untuk memberikan pendidikan yang berkualitas dan akses yang setara bagi perempuan. Hal ini dapat dilakukan melalui kebijakan yang mempromosikan kesetaraan gender dalam pendidikan, program-program yang memfasilitasi akses pendidikan bagi anak perempuan yang berasal dari keluarga miskin dan terpencil, serta kampanye yang lebih luas untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dalam semua aspek kehidupan.
Tidak hanya dalam bidang pendidikan, pada bidang pekerjaan pun, perempuan masih harus menghadapi kendala. Perempuan telah lama menjadi bagian dari angkatan kerja di berbagai sektor industri, dari pabrik tekstil hingga sektor jasa. Di sektor-sektor ini, perempuan seringkali diberi pekerjaan yang berbeda dan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki meskipun pekerjaan tersebut memerlukan keterampilan yang sama atau bahkan lebih. Salah satu alasan utama perempuan sering bekerja di pekerjaan yang lebih rendah adalah karena adanya pandangan bahwa perempuan tidak mampu melakukan pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Masalah diskriminasi gender juga masih ada dalam dunia kerja, termasuk dalam hal gaji dan kesempatan promosi.
Perempuan yang bekerja di sektor informal menghadapi tantangan yang lebih besar, termasuk kondisi kerja yang tidak aman dan kurangnya perlindungan sosial. Mereka juga lebih rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan seksual di tempat kerja. Namun, di berbagai negara dan sektor, terdapat upaya untuk meningkatkan kondisi kerja perempuan dan mengatasi masalah diskriminasi dan ketimpangan gender di tempat kerja. Beberapa upaya tersebut termasuk kebijakan yang mendukung kesetaraan gender di tempat kerja, program pelatihan dan pendidikan yang memperkuat keterampilan dan kemampuan perempuan, serta kampanye yang memperjuangkan hak-hak perempuan pekerja.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak perempuan yang memperoleh akses ke pendidikan dan kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki. Hal ini akan memberikan dampak positif pada kondisi dan kesejahteraan perempuan di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Kondisi perempuan dan pendidikan di Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara lain yang belum mendapatkan akses pendidikan yang cukup. Untuk itu, diperlukan upaya terus-menerus dari pemerintah, organisasi buruh, dan masyarakat untuk terus memperbaiki kondisi ini. Dengan adanya upaya tersebut, diharapkan tercipta dunia baru dalam hal kesetaraan gender bagi perempuan Indonesia di ranah publik.
Discussion about this post