Oleh: Andina M. Hawa
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Karya sastra berlatar budaya Minangkabau telah muncul pada masa sebelum perang. Salah satunya novel Sitti Nurbaya oleh Marah Roesli yang merupakan salah satu karya angkatan Balai Pustaka yang fenomenal. Kawin paksa serta perlawanan antara generasi tua dan generasi muda menjadi tema-tema yang kerap mewarnai karya sastra bertatar budaya Minangkabau pada masa sebelum Indonesia merdeka. Pada perkembangan selanjutnya, tema-tema seperti perjuangan untuk meraih kebebasan dan keegaliteran yang sarat nilai moral mewarnai cerita dalam karya sastra berlatar Minangkabau.
Beberapa karya sastra berlatar Minangkabau yang terbit setelah masa kemerdekaan, di antaranya Tidak Menyerah karya Mottingo Busye yang terbit tahun 1962, cerita drama berjudul Puti Bungsu Warisan (1981) karya Chairul Harun. Selanjutnya, hadir pula karya sastra berlatar Minangkabau yang terbit tahun 2000-an, seperti trilogi Negeri Lima Menara karya A. Fuadi, dan juga karya sastra yang ditulis oleh pengarang perempuan seperti Ketika Rembulan Bernyanyi (2010) karya Kartini, dan Mahar Cinta Gondoriyah (2013) karya Mardhiyah Novita M.Z.
Karya sastra yang terbit setelah masa kemerdekaan banyak mengangkat tema-tema yang lebih kekinian seperti pendidikan, merantau hingga masalah sosial. Membicarakan karya sastra berlatar daerah, tidak dapat dilepaskan dari warna lokal budaya tertentu. Warna lokal dalam karya sastra menggambarkan corak yang menjadi kekhasan dalam suatu daerah yang tidak dijumpai pada daerah lainnya. Pengarang sastra berlatar budaya tertentu kerap menghadirkan warna lokal dalam karya-karyanya, misalnya pengarang-pengarang yang berasal dari Minangkabau. Dengan membaca karya sastra berlatar budaya Minangkabau, pembaca mendapat gambaran mengenai kehidupan masyarakat Minangkabau serta menangkap unsur-unsur budaya lokalnya, seperti latar cerita, asal-usul pengarang, nama tokoh, pakaian, adat istiadat, cerita rakyat, kepercayaan, hingga bahasa dan dialek.
Ada beberapa alasan pengarang mennghadirkan warna lokal dalam karya-karyanya, di antaranya untuk mempertahankan nilai-nilai budaya lokal melalui cerita dalam karya sastra. Hal ini dapat dilakukan melalui pembelajaran sastra di sekolah. Siswa dapat memperoleh pendidikan dan pesan moral yang baik, sehingga dapat karya sastra berlatar budaya dapat menjadi media dalam pembentukan karakter siswa. Arus globalisasi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Keterampilan bahasa asing maupun kecakapan teknologi merupaka sesuatu yang harus dimiliki oleh siswa pada zaman ini agar membentuk karakter unggul dan berdaya saing tinggi. Namun, masuknya budaya asing dapat mengikis eksistensi budaya lokal jika tidak dibarengi oleh filter dan pengawasan dari pihak-pihak lain seperti orang tua dan guru. Oleh sebab itu, penanaman nilai-nilai budaya lokal dan tradisi seperti religiusitas, moral, dan kebangsaan dianggap dapat mengimbangi pengaruh budaya asing tersebut.
Anak Rantau (2017) merupakan novel berlatar Minangkabau yang ditulis oleh A. Fuadi. Novel ini menceritakan tokoh Martiaz yang belum pernah pulang ke kampung halamannya, Tanjung Durian, setelah belasan tahun merantau ke Jakarta. Ia pulang kampung sambil membawa Hepi, putranya yang telah berusia tiga belas tahun. Martiaz memutuskan untuk menitipkan Hepi kepada kakek dan neneknya di kampung dan kembali sendirian ke Jakarta. Tinggal di kampung, Hepi mau tidak mau harus beradaptasi dengan kehidupan barunya yang jauh berbeda dengan kehidupannya di Jakarta. Berikut nilai-nilai tradisi budaya Minangkabau yang tergambar dalam Anak Rantau :
1. Merantau
Tradisi merantau masyarakat Minangkabau telah berlangsung selama berabad-abad. Merantau adalah suatu aktivitas meninggalkan kampung halaman dalam beberapa waktu dengan tujuan untuk mencari pengetahuan, penghidupan, dan pengalaman (Arbain, 2022). Tokoh perantau adalah Martiaz. Ketika baru sampai di Jakarta, ia bekerja sebagai kuli angkat. Masyarakat Minangkabau berpegang teguh pada falsafah “Alam Takambang Jadi Guru”. Hal ini menjadi prinsip dasar hidup orang Minangkabau untuk mempelajari dan memanfaatkan segala sesuatu yang terbentang di alam ini.
Walaupun Martiaz tidak memiliki modal yang besar ketika memulai kehidupannya sebagai perantau, ia telah berbekal ilmu bela diri dan ilmu agama. Ilmu silat digunakannya untuk membela perman setempat yang memeras seorang pedagang buku tua. Ilmu agama menuntunnya untuk terus berlaku baik dan hidup lurus selama di rantau, “karena berkelakuan baik, induk semangnya, Pak Restu, memberi tugas tambahan merawat dan meminyaki mesin cetak Heilderberg”, (hlm. 48). Berkat ketekunannya, ia berhasil membeli mesin cetak bekas dan membangun sendiri usaha percetakannya di Jakarta. Tokoh lain yang digambarkan merantau adalah Lenon. Berbeda, dengan Martiaz, ia adalah preman insyaf yang kembali ke kampung. Lenon meninggalkan kampung karena kecewa kepada orang tuanya. Di tanah rantau, ia kerap terlibat perkelahian hingga masuk penjara. Setelah menyelesaikan hukumannya, ia kembali ke kampung dan memperbaiki hidupnya.
Banyak perantau Minangkabau yang jarang kembali ke kampung halamannya. Kesibukan dan kesuksesan di tanah rantau jauh lebih menggoda ketimbang kehidupan sederhana dan monoton di kampung. Namun, perantau sejati adalah ia yang selalu teringat asal-usul dan kampung halamannya. Martiaz awalnya menolak permintaan ibunya agar Hepi tinggal bersamanya di kampung. Namun, semakin Hepi beranjak besar, ia merasa semakin tidak bisa mengontrol anaknya itu. Kemudian, ia setuju dan meninggalkan Hepi di kampung bersama kakek neneknya. “… kini dia menemukan dirinya sendirilah yang … memaksa Hepi tinggal di kampung.” (hlm. 56).
2. Perayaan Khatam Al-Quran
Minangkabau merupakan salah satu daerah dengan pemeluk Islam terbanyak. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak tradisi Minangkabau yang berkaitan dengan agama Islam. Salah satunya perayaan khatam Al-Quran. Khatam Al-Quran merupakan tradisi yang dilaksanakan setelah anak-anak yang mengaji menamatkan membaca Al-Quran hingga 30 juz. Tradisi hatam Al-Quran di Minangkabau dirayakan dengan meriah dengan tujuan memberikan motivasi bagi anak-anak agar lebih bersemangat lagi dalam mempelajari dan membaca Al-Quran, serta menumbuhkan kecintaan kepada Al-Quran. Anak laki-laki yang khatam Al-Quran mengenakan gaun panjang dan sorban, sedangkan anak perempuan memakai gaun panjang dan dirias wajahnya. Perayaan khatam Al-Quran di Minangkabau dilakukan dengan pawai keliling kampung dengan iringan marching band.
Perayaan khatam Al-Quran melibatkan seluruh isi kampung. Laki-laki dan perempuan, tua, dan muda memasak aneka hidangan di sebuah lapangan dekat surau yang dipasangi tenda. Warga juga saling bekerja sama dalam menghiasi Surau Gadang. “Beberapa laki-laki dewasa memancang aur untuk memasang gaba-gaba dan mengibarkan marawa, bendera Minang berwarna hitam kuning merah,” (hlm. 113). Semua warga antusias dalam menyambut perayaan khatam Al-Quran ini. Pada acara puncak, para orang tua hadir sambil menyaksikan anak-anak mereka membacakan Al-Quran. Ketika giliran Hepi, ia menyaksikan kakek dan neneknya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Perayaan khatam Al-Quran menjadi momen yang membanggakan bagi orang tua dan penuh haru. Setelah semua anak mendapat giliran, mereka memanjatkan doa bersama-sama dan kemudian menikmati jamuan yang telah ditata di lantai surau.
3. Lapau Kopi
Dalam bahasa Indonesia, lapau artinya warung. Lapau telah ada sejak tradisi minum kopi masuk ke Indonesia. Minum kopi sambil bercengkrama di lapau menjadi kegiatan yang diidentikan dengan laki-laki dewasa (Gumulya, 2017). Bahkan, di tahun 1980-an ada semacam tabu bagi laki-laki yang enggan singgah ke warung kopi (piamaexplore.com, 2022). Lapau kopi menjadi wadah bagi masyarakat Minangkabau untuk saling bertukar informasi, berdiskusi tentang segala sesuatu, hingga mencari solusi bagi permasalahan. Lapau kopi biasanya berbentuk warung yang menyatu dengan pemilik rumah, dahulu bentuknya hanya berupa bangunan semi permanen yang tidak memiliki dinding. Di dalamnya terdapat meja panjang serta dua kursi panjang yang berhadapan. Di lapau kopi, pengunjung dapat meminum hidangan kopi dan teh yang disediakan. Aneka gorengan, ketan, hingga makanan berat, seperti mie goreng dan rebus, lontong disediakan untuk menemani bercengkrama sambil menikmati kopi.
Lapau kopi menjadi latar tempat yang cukup dominan dalam Anak Rantau. “Hepi senang duduk-duduk sembari mengayun kaki bersama ayahnya di lapau itu karena bisa menguping ota atau obrolan hilir mudik bapak-bapak. Setiap mendengar diskusi mereka, dia merasa lebih pintar dan lebih dewasa,” (hlm. 46). Suatu hari, lapau kopi tempat Hepi bekerja kedatangan tokoh yang disegani di kampung. Mereka adalah Pak Sinayan yang cerdik pandai, Datuk Pamenan, seorang ahli adat, dan Datuk Malano, pemangku adat sekaligus saudagar. Ketiganya berdebat tentang apa saja, mulai dari sejarah, adat, politik, hingga sepak bola. Setelah meneguk beberapa kopi, mereka berpencar menjalani kesibukan masing-masing, lalu muncul lagi di sore hari untuk melanjutkan debat sempat tertunda hingga menjelang magrib (hlm. 98). Lapau kopi menjadi sarana tempat berdiskusi yang mempertemukan orang-orang dari berbagai latar belakang sosial, usia, dan sudut pandang. Di lapau kopi seseorang dapat melatih kemampuan berkomunikasi dan belajar demokrasi dengan mempelajari kato nan ampek, yaitu kato mandata, kato mandaki, kato manurun, kato malereng, Sehingga masyarakat Minangkabau pandai menempatkan diri dan mengetahui siapa lawan bicaranya.
4. Tinggal di Surau
Surau di Minangkabau dimiliki oleh sebuah kaum atau suku dari negeri tertentu. Bagi orang Minangkabau masa lalu, surau tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi tempat belajar bela diri (Aziz, 2020). Masyarakat Minangkabau pada masa lalu telah dikenalkan pada lingkungan surau sejak usia dini. Surau bahkan dijadikan tempat tidur bagi laki-laki dewasa di Minangkabau (Vajra J, 2019). Surau mencermikan nilai-nilai religiuisitas, sopan santun, serta kepatuhan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Surau merupakan lembaga pendidikan tertua di Minangkabau, bahkan surau telah ada sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau. Oleh sebab itu, peranan surau dirasa lebih besar dalam pembentukkan karakter masyarakat Minangkabau.
Arus globalisasi menyebabkan adanya pergeseran fungsi surau. Surau yang dulunya selalu ramai oleh anak-anak muda, sekarang hanya ramai pada waktu salat. Dalam Anak Rantau, surau gadang sempat ditinggalkan selama bertahun-tahun oleh masyarakatnya. Tiap salat hanya ada imam, tetapi tidak ada makmum. Semakin surau sepi, akhirnya imam dan makmum sepakat untuk tidak datang lagi ke surau. Datuk dan Salisah, kakek dan nenek Hepi sama-sama merasa tergerak hatinya untuk menghidupkan kembali surau di kampung mereka. “Sehari-hari kini surau menjadi tempat sembahyang limat waktu dan tempat kelas tambahan mengaji buat anak-anak SD sampai SMP, dua kali seminggu”, (hlm. 31).
Walaupun surau telah kembali ramai, ada rasa tidak puas di hati Datuk. Ia lantas berniat mengadakan program menginap di surau bagi anak-anak setempat. Awalnya anak-anak antusias tampak belajar adat dan agama di surau, namun kegiatan ini terpaksa berhenti sementara karena anak-anak sedang persiapan ujian. Setelah ujian selesai, hanya Hepi dan kedua temannya, Zen dan Attar saja yang menjadi jamaah tetap di Surau Gadang. Menonton TV dan bermain gim terasa lebih menggoda ketimbang pergi ke surau. Para orang tua juga tidak dapat mencegah terjadinya hal ini, bahkan kegiatan tersebut terancam bubar karena jumlah jamaah yang semakin berkurang. “Langang betul surau kita, Kek,” ucap Hepi. “Ka ba’a juo lai”, jawab kakek. (hlm. 168). Hepi menangkap ekspresi kecewa pada wajah Kakek. Untuk menghiburnya kakek, Hepi berinisiatif mengajak Attar dan Zen agar sering-sering menginap di surau. Keduanya setuju karena ini berarti mereka dapat terbebas sementara waktu dari aturan yang dibuat orang tua mereka di rumah.
5. Karamba
Daeah Tanjung Durian terletak di dekat danau. Dahulu air danau dapat digunakan untuk mandi dan minum air. Sekarang air danau sudah surut dan tidak lagi jernih. “Sejak ribuan karamba ikan mengapung di danau, air dicemari pakan yang berlebih dan mengendap di dasar danau. Air yang dulu biru kini berwarna kehijauan dan bau tidak sedap beraroma amoniak kerap meruap”, (hlm. 38). Dilansir dari situs LIPI, karamba merupakan tempat budi daya ikan tradisional yang mirip tambak ikan. Dengan keramba, nelayan dapat membudidayakan hasil laut berupa ikan dan udang. Hasilnya panen ikan keramba nantinya bisa dijual.
Ribuan karamba yang mengapung di danau menyebabkan banyak ikan membusuk dan mencemari danau. Hal ini terpaksa dilakukan oleh masyarakat Tanjung Durian yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan ikan. Menurut kakek, karamba yang dimilikinya hanya seujung kuku disbanding belasan ribu milik pengusaha-pengusaha besar yang menguasai peraian danau. “Kalau bagi kita, keramba untuk menyambung hidup, kalau bagi mereka untuk bisnis besar”, (hlm. 38). Puncaknya adalah ketika kampung Tanjung Durian diserang oleh bau busuk yang menyengat. Bau busuk tersebut berasal dari bangkai ikan-ikan yang mati di danau. Kejadian tersebut menyebabkan orang-orang enggan makan di lapau kopi yang berada di dekat danau.
Setelah bau busuk itu menghilang, orang-orang kembali mengunjungi warung kopi. Dahulu, air danau ini jernih dan bisa diminum, namun kini arinya keruh, bau, dan bikin gatal. Ini terjadi karena kita tidak memelihara danau dan membiarkannya diracun. Kalau ini dibiarkan terus, akan bahaya buat cucu kita (hlm. 198). Ini adalah masalah yang cukup serius maka dibutuhkan bantuan dari berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memelihara danau, serta penegakkan aturan yang kuat dari pemerintah dan pemangku adat untuk berlaku tegas pada pengusaha karamba yang ingin mencari keuntungan.
Demikian penggambaran tradisi Minangkabau yang terdapat dalam novel Anak Rantau. Tradisi merantau khatam Al-Quran, dan bercengkrama di warung kopi yang masih berlangsung hingga kini. Ada pula tradisi yang mulai ditinggalkan seperti tinggal di surau. Adapun keberadaan karamba menggambarkan mata pencaharian masyarakat Tanjung Durian sebagai nelayan, sekaligus memperlihatkan dinamika masyarakat Tanjung Durian yang berjuang mempertahankan adat istiadat di tengah arus globalisasi.
Discussion about this post