Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Bila boleh jujur, saya ingin berkata bahwa saya merasa agak bingung ketika menonton Everything Everywhere All at Once, film absurd yang paling banyak memenangkan kategori Oscar di tahun ini. Setidaknya, rasa bingung itu terasa di separuh akhir bagian pertama (Everything) dan separuh awal bagian kedua (Everywhere).
Anehnya, meskipun bingung saya tetap menonton film ini sampai selesai sambil berusaha meyakin-yakinkan diri bahwa saya memahaminya dan mengerti maksudnya. Saya mencoba mengait-ngaitkan hal-hal tersirat yang hendak disampaikan. Namun, rupanya hal-hal tersirat itu tidak hanya satu atau dua, tetapi banyak seperti seabrek multiverse yang dihadirkan di dalam film.
Kelar menonton, saya mencoba membaca beberapa artikel yang membahas tentang film ini. Beberapa artikel yang saya temukan berkata bahwa film ini begitu absurd serta gila dan saya setuju dengan pendapat itu. Film besutan sutradara Daniel Kwan dan Daniel Scheinert ini menghadirkan beragam multiverse dengan verse-jumping yang kadang membuat terkejut, takut, tertawa, sedih, heran, hingga agak jijik.
Meski absurd, saya berkesimpulan bahwa film ini dapat dibicarakan dengan beragam sudut pandang. Salah satu hal yang menarik perhatian saya dari film ini ialah ‘persaingan antarperempuan’, yaitu antara seorang ibu, Evelyn (Michelle Yeoh), dengan putrinya, Joy (Stephanie Hsu).
Persaingan antarperempuan terkait ibu versus anak perempuan adalah persaingan paling kuno dan paling awal yang dialami oleh setiap perempuan. Ester Lianawati, seorang peneliti di Hypatia (kajian psikologi dan feminisme di Prancis Utara) berpendapat bahwa persaingan yang terjadi antara ibu dan anak sangatlah normal serta sangat diperlukan. Tujuannya ialah agar anak perempuan dapat menentukan identitasnya, mandiri dari ibunya, dan memiliki kepribadiannya sendiri.
Puncak persaingan antara Evelyn dengan Joy ialah ketika Joy memiliki pacar perempuan. Evelyn menolak keras hal tersebut dan tidak pernah memberi waktu terhadap Joy untuk menjelaskan tentang salah satu pilihan hidupnya itu. Di sisi lain, ia melakukan sejumlah pemberontakan seperti hanya menemui ibunya ketika ada perlu, jarang menelepon, dan memiliki tato. Hal-hal yang tidak disukai oleh ibunya.
Evelyn tidak menghadapi hal itu secara adaptif. Ketika seorang ibu berhadapan dengan anak perempuannya, memori masa kecilnya kembali aktif. Ia melihat bagaimana ia diasuh dan dibesarkan. Lianawati menyebut memori ini dapat menjadi patogenik (menimbulkan ketidaknormalan) dan ibu memperlakukan anak perempuan sebagai perpanjangan dirinya. Inilah yang terjadi antara Evelyn dengan Joy.
Evelyn tergolong generasi tua yang awalnya meyakini norma-norma tertentu dan menginginkan keturunannya juga mengikuti norma yang sama. Hal itu bukan tanpa alasan. Ia merasa menjalani kehidupan yang salah karena ketika muda mengikuti pilihan sendiri dan melanggar saran orang tuanya. Rupanya Evelyn tidak menjalani kehidupan seindah yang ia bayangkan.
Meski kisah antara Evelyn dengan Joy terlihat agak klasik namun yakinlah Everything Everywhere All at Once menghadirkan penyajian yang tidak biasa. Penyelesain konflik di film ini membutuhkan multiverse tak terhingga hingga terciptalah dialog berkesinambungan dan terarah antartokohnya. Bahkan, dialog antara Evelyn dengan Joy tampak mulai terarah ketika mereka berada di suatu semesta di mana mereka menjalani hidup sebagai seonggok batu.
Kemunculan batu di bagian ini juga seolah hendak mengatakan bahwa bila ingin hidup tanpa persoalan maka jadilah seonggok batu. Jadilah sebuah benda mati, bukan seorang manusia. Batu juga dapat diinterpretasikan bagaimana Joy menjalani hidupnya. Ia terjebak seperti itu (seperti batu) sudah begitu lama.
“Aku berharap kau akan melihat sesuatu yang tak kulihat bahwa kau akan meyakinkanku ada jalan lain.” Inilah dialog dari Joy yang berusaha mengungkapkan isi hatinya kepada Evelyn. Ia juga membangun bagel hitam di semesta lain dengan tujuan untuk menghancurkan dirinya sendiri. Dengan demikian, ia berharap tak merasakan persoalan-persoalan lain selain benar-benar seperti orang mati.
Awalnya, Evelyn tampil dengan “kebuasan” seorang ibu yang halus dan tidak langsung. Ia tidak memberi kebebasan kepada Joy untuk menampilkan identitas dan kemandiriannya. Kekangan yang halus ini membuat Joy sesak dan menyimpan kemarahan yang ditampilkan melalui Jobu Tupaki.
Sebetulnya saya masih belum mengerti secara keseluruhan dari maksud film ini. Setidaknya dua hal yang menarik perhatian saya selain persaingan ibu dan anak perempuan ialah hubungan Evelyn dengan suaminya Waymond (Ke Huy Quan) dengan cinta yang begitu dalam dan menyentuh.
Meski pertama rilis di Indonesia pertengahan tahun lalu namun karena film ini mendapat perhatian yang begitu besar terlebih mendapat setidaknya 7 piala Oscar, Everything Everywhere All at Once kembali tayang di bioskop saat ini. Bila penasaran dengan seabrek multiverse yang membuat kepala pening, maka tontonlah selagi masih tayang.
Discussion about this post