Mahajana
Pura-pura menjadi gelap, agar sekitar menjadi terang
Atau aku terlalu merasa terang hingga berpikir yang lain perlu menerang?
maka pulanglah mahajana!
Atau kupenggal kepalaku sendiri
Untuk menggantikan hiatus otakku
Lalu kutenggak beratus apologi sebagai penegas suci kalamku.
Padang, September 2022
Di Antara Sisa September yang Hampir Khatam
Bu….
Di antara sisa September yang hampir khatam
Mendung kadang datang tanpa peringatan
Badai kerap turun menggulung ombak
Angin menyisir di sepanjang jalan menuju pulang
Kelopak-kelopak kering berhamburan mengaburkan jarak
Dan yang aku punya hanyalah diri sendiri
Bu.…
Di antara sisa September yang hampir khatam
Mimpi-mimpi serasa kian ganjil dan membingungkan
Rindu menggenang dalam hati yang nyaris tenggelam
Dan aku masih terjebak dalam tumpukan kertas usang,
buku-buku pelajaran dan rumus-rumus lama
Bu…
Di antara sisa September yang hampir khatam
Aku masih sibuk membalut memar dengan harapan
Menyembuhkan luka-luka pada diri sendiri
Menutupi lubang-lubang dari derap langkah yang berpacu
menyusuri lorong-lorong sesal yang membangun sesak
Bu….
Di antara sisa September yang hampir khatam
Namamu masih utuh menggantung di langit
Bersama ribuan doa-doa tua yang kuserukan
Berjejal bersama harapan yang digadang-gadangkan.
Padang, September 2022
Pertemuan dalam Ingatan
Waktu kembali membawa kita menyusuri kota ini. Gempar. Hatiku memar menilik setiap sudut yang melahirkan obrolan tanpa jeda. Ribuan kalimat mengambang bersama jutaan rintik di sore itu. Saporadis pun melucu di atas tawa. Menahan haru, mengikuti denyut di tengah sawala yang kian berisik.
Aku berterima kasih kepada kepala yang bersedia berulang kali membaca peta. Tentang jalan-jalan yang pernah kita lalui, tentang denting mangkuk mie ayam, tentang suara seruput minuman kaleng ataupun hangatnya helaian kertas dari mesin fotocopi, hingga jas hujan yang sobek di bagian pinggang.
Sekali lagi…. Aku berterima kasih kepada ingatan, untuk suara gelak tawa kita yang membicarakan tugas-tugas, jadwal berkunjung ke perpustakaan, atau gaya khas dosen yang mengajar di depan kelas.
Kueja pelan-pelan, setiap jejak yang terekam bersama nada-nada yang dimainkan oleh semesta. Diksi-diksi acak tanpa PUEBI pun berkelindan. Pada tiap barisnya mengandung namamu, namaku dan juga nama mereka.
Waktu ternyata benar-benar mujarab. Tak terasa kita telah bertumbuh, berkembang dan berjuang dari luka-luka, rasa kosong dan lebam-lebam yang terpendam.
Ternyata benar, gerimis kali itu memang paling handal menyulam pelik, ia begitu lancang mengajak jiwa kembali bertualang pada kisah-kisah lama yang begitu sengit.
Solok, September 2022
Biodata Penulis:
Liza Warni perempuan kelahiran negeri dingin tanpa salju (Alahan Panjang, Solok) ini merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Alumni Pascasarjana UM Sumbar ini sehari-hari berkegiatan sebagai pendidik. Penyuka buku dan anak-anak ini hobi belajar menulis walaupun belum jadi penulis. Ia bisa dihubungi melalui email lizawarni01@gmail.com
Mengisi Jeda dalam Sawala
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Aku masih sibuk membalut memar dengan harapan
Menyembuhkan luka-luka pada diri sendiri
Menutupi lubang-lubang dari derap langkah yang berpacu
menyusuri lorong-lorong sesal yang membangun sesak
Pada dasarnya, menulis puisi adalah mengekspresikan pengalaman batin dengan media kata-kata. Pengalaman yang diekspresikannya itu bisa berupa pengalaman hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, atau hubungan manusia dengan alam. Menulis puisi merupakan sebuah kegiatan ruhani, yang mengekspresikan hubungan manusia dengan segala hal, baik secara fisik maupun metafisik (Maulana, 2012). Untuk dapat mengekspresikan pengalaman tersebut, lebih lanjut Maulana mengungkapkan bahwa penulis harus mampu mengkreasi bahasa ungkap melalui kosakata yang dipilih dan dipahaminya secara sungguh-sungguh dengan bahasa yang dikuasainya pula. Selain itu, menulis puisi tidak bisa dengan menuliskan sesuatu yang tidak kita alami secara fisik maupun metafisik. Jika hal itu dipaksakan, maka hasilnya adalah sebuah puisi hampa makna dan bahkan hampa rasa karena tidak mengandung penghayatan atas obyek yang ditulis. Secara sederhana, menulis puisi merupakan pekerjaan mengonkretkan sesuatu yang abstrak dengan menggunakan sarana bahasa.
Sebagai sarana pengungkapan pengalaman batin, puisi dapat dijadikan penulis untuk menyampaikan respons atas peristiwa yang tertangkap alat indranya yang menimbulkan persepsi tertentu di pikirannya. Penulis memiliki sensitivitas untuk merasakan emosi di lingkungan keberadaannya sehingga memberi warna rupa puisi yang dikarangnya. Sementara itu, sebagai karya seni, puisi mengandung estetika yang dibangun melalui konstruksi bahasa.
Bahasa puisi cenderung unik karena mempertimbangkan aspek keindahan bunyi, seperti melalui kehadiran rima dan irama, permainan susunan bunyi asonansi dan aliterasi, repetisi kata dan suku kata, dan kemunculan kata-kata dengan bunyi bernuansa harmonis (efoni) ataupun sumbang (kakofoni). Selain itu, keunikan bahasa puisi dalam bentuk metafora memungkinkan pembaca memiliki multiinterpretasi atas larik-larik puisi yang dibacanya.
Daya imaji puisi akan memberi pengalaman fiktif kepada pembaca karena terangsangnya alat indra pembaca sehingga ia seolah-olah pengalami pengalaman batin tertentu dan mengimajinasikan realita yang tanpa batas. Keistimewaan puisi tersebut telah dikenal manusia sejak peradaban-peradaban kuno dengan eksisnya puisi-puisi epik, ode, dan balada di dalam berbagai khasanah budaya.
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilkan tiga buah puisi karya Liza Warni. Ketiga puisi perempuan Alahan Panjang ini berjudul “Mahajana”, “Di Antara Sisa September yang Hampir Khatam”, dan “Pertemuan dalam Ingatan”.
Puisi pertama “Mahajana” mengandung intensitas masalah yang tinggi. Bermula dari tindakan berpura-pura menjadi gelap agar lingkungan terkesan lebih terang yang dapat diartikan sebagai upaya tidak terlalu menonjolkan diri atau menunjukkan kelebihan yang dimiliki supaya orang-orang di sekitar dapat berpartisipasi sesuai kapasitas yang dimilikinya. Perilaku ini sering ditunjukkan oleh orang-orang ahli rendah hati yang sengaja berbaur dengan lingkungan dalam bekerja sama sekaligus memancing orang lain untuk turut terlibat dalam partisipasi sosial. Mereka sengaja menyembunyikan kepandaiannya supaya orang lain dapat turut berperan di dalam aktivitas kelompok.
Kata ‘mahajana’ yang berarti orang besar atau orang penting pada puisi ini dapat pula berfungsi untuk melancarkan sindiran kepada orang-orang yang merasa sok penting dengan keangkuhan berlebihan yang menuntut perlakuan istimewa dari orang-orang sekitarnya. Orang tipe ini akan menganggap orang-orang lain tidak ada yang memiliki kehebatan seperti yang dimilikinya. Dia menganggap jika kalau bukan karena dia maka tak ada yang dapat dilakukan sehingga dia menjadi arogan dengan banyak lagak dan sok jual mahal. Orang besar semacam tokoh publik kehadirannya memang diperlukan karena kharisma yang dimilikinya dapat memberi pengaruh pada masyarakat luas. Pesan yang disyiarkannya dapat memicu gerakan perubahan yang ketika dilakukan oleh orang biasa mungkin tak efektif sama sekali. Kehadiran orang ternama yang ikut merespons suatu persoalan dapat memberi pengaruh agar lebih cepat ditangani.
Puisi kedua, “Di Antara Sisa September yang Hampir Khatam” mengarah ke bentuk prosa lirik yang sentimental. Bait pertama membangun suasana sendu: ‘Bu…./ Di antara sisa September yang hampir khatam/ Mendung kadang datang tanpa peringatan / Badai kerap turun menggulung ombak / Angin menyisir di sepanjang jalan menuju pulang/ Kelopak-kelopak kering berhamburan mengaburkan jarak/ Dan yang aku punya hanyalah diri sendiri’. Mendung dan badai mengurung jiwa yang sendirian sehingga terpuruk dalam kesedihan dan kesepian membuat jarak seperti tak terukur dan kerinduan pada orang yang disayang semakin menggila.
Bulan September identik dengan musim hujan yang mengundang perasaan sendu. Kedatangan hujan yang menyebabkan area-area basah dan genangan air di jalan kadang menjadi alasan untuk menahan diri tetap berada di dalam rumah atau tempat hangat sambil bermalas-malasan. Hujan kadang dijadikan kambing hitam untuk kelalaian dan bencana yang sejatinya terjadi karena kurangnya kedisiplinan manusia juga. Padahal, turunnya hujan merupakan rahmat bagi alam yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan menjadi subur dan siklus air di bumi tetap stabil. Pada ujung bulan September aku lirik masih menyebut seseorang yang dipanggilnya ‘bu’, bisa mengacu ibu bisa juga kekasih (hubbu) atau orang lain yang namanya memiliki unsur bunyi ‘bu’: ‘Bu…/ Di antara sisa September yang hampir khatam/ Namamu masih utuh menggantung di langit/ Bersama ribuan doa-doa tua yang kuserukan/ Berjejal bersama harapan yang digadang-gadangkan.’
Puisi terakhir dengan bentuk bait yang bertipologi bebas berisi nostalgia. Sebuah tempat bisa menyimpan memorabilia dari masa lalu ketika diisi dengan interaksi yang akrab bersama orang-orang dekat seperti karib-kerabat. Kunjungan kembali ke tempat tersebut dapat membangkitkan kenangan lama, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Semua peristiwa seolah ditayangkan ulang seperti film, bahkan jangkauan imajinasi dapat membuatnya seolah nyata. Detail-detail akan kembali hadir berupa warna, bentuk, aroma, dan suara. Kesadaran akan perubahan ruang dan waktu memberi makna baru pada tempat tersebut. Penulis menutup puisinya dengan ‘Waktu ternyata benar-benar mujarab. Tak terasa kita telah bertumbuh, berkembang dan berjuang dari luka-luka, rasa kosong dan lebam-lebam yang terpendam.’
Ketiga buah puisi Liza Warni sangat enak dibaca. Kesannya kuat. Puisi-puisinya telah menunjukkan keutuhan struktur dari unsur-unsur pembentuknya, kata, bunyi, imaji, dan tema sehingga terasa padat. Pilihan kata pun tidak menunjukkan kegenitan bermetafora. Ada beberapa kata unik seperti ‘mahajana’ (orang yang amat ternama), ‘hiatus’ (jeda atau ketidakhadiran sementara), ‘sawala’ (debat atau diskusi) yang digunakan penulis untuk memperkaya puisi. Diksi-diksi yang digunakan terangkai kompak mendukung makna. []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post