Oleh: Alex Darmawan
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Sembilan tahun lalu, tepatnya 14 Maret 2014, penulis diminta menjadi ahli bahasa (linguis) oleh pihak kepolisian Sumatera Barat untuk menjelaskan makna kata dikembangkan dalam pasal 70 ayat (3) hubungannya dengan Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Perda Nomor 4 Tahun 2012 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Padang Tahun 2010-2030. Kata tersebut menjadi polemik hukum dalam menerjemahkan dan memahaminya dari kedua pihak, penuntut dan yang dituntut. Dari persoalan inilah penulis berpikir, bagaimana hubungan bahasa dan hukum sebenarnya? Kemudian, seberapa penting pemahaman terhadap bahasa dalam pembuatan undang-undang demi kepentingan hukum. Tulisan ini mencoba menelaah hubungan bahasa dan hukum dalam perspektif linguistik forensik.
Bahasa digunakan manusia sehari-hari sebagai alat komunikasi antarsesamanya. Bahasa yang digunakan itu dipengaruhi juga oleh banyak faktor, salah satunya faktor situasi. Dalam berbagai situasi, kita harus cakap dalam menggunakan bahasa, baik itu situasi resmi atau tidak resmi sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik. Ada lagi faktor ragam bahasa yang ditilik dari bidangnya, bahasa jurnalistik, bahasa ekonomi, bahasa sastra, bahasa hukum, dan lain sebagainya.
Di antara pemakaian bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia dalam berbagai bidang, terdapat bahasa Indonesia dalam bidang hukum atau dikatakan dengan bahasa Indonesia hukum, atau bahasa hukum Indonesia. Hadikusuma (1984:2) memberikan pengertian bahasa Indonesia hukum adalah bahasa Indonesia yang khusus dipakai dalam teori dan praktik hukum di antara aturan tidak tertulis dan aturan tertulis, di dalam hukum adat dan perundangan, di dalam karya tulis atau kepustakaan hukum yang bersifat khas hukum dengan menggunakan bahasa sebagai alatnya, termasuk dalam ruang lingkup bahasa hukum.
Lebih lanjut, Hadikusuma membagi bahasa hukum menjadi dua macam yaitu; bahasa hukum teoritis dan bahasa hukum praktis. Bahasa hukum teoritis adalah bahasa hukum yang bersifat ilmiah yang digunakan dalam mempelajari hukum sebagai ilmu pengetahuan. Bahasa hukum praktis merupakan bahasa yang digunakan dalam kaidah-kaidah hukum yang mengatur kehidupan manusia dan masyarakat pada umumnya.
Terkait dengan persolaan penulis yang kemukakan pada paragraf awal, ternyata masyarakat, praktisi hukum, dan penegak hukum masih kesulitan dalam memahami bahasa perundang-undang dan mungkin juga termasuk keputusan hakim. Perbedaan dalam pemahaman dan penafsiran sering terjadi padahal bahasa yang digunakan dalam perundang-undangan menggunakan bahasa Indonesia yang notabenenya bahasa resmi negara kita. Mengapa bisa terjadi demikian? Barangkali, pada saat merumuskan undang-undang dan aturan lainnya tidak melibatkan ahli bahasa karena itu banyak kosakata yang bermakna bias. Hal ini akan menyebabkan tidak adanya kepastian, keadilan, dan kemanfaatan dalam hukum.
Jadi, sangat penting peranan ahli bahasa ikut serta dalam perumusan undang-undang dan aturan lainnya terkait dengan penggunaan kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana, serta semua aspek kebahasaan lainnya yang digunakan, sehingga tidak akan terjadi lagi penafsiran yang berbeda terhadap makna kata. Oleh sebab itu, akan terciptakan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan dalam hukum.
Dalam kajian ilmu bahasa, bahasa hukum termasuk ke dalam kajian linguistik forensik. Linguistik forensik merupakan bidang linguistik terapan yang melibatkan hubungan antara bahasa, hukum, dan kejahatan. Kajian tersebut juga lazim disebut sebagai studi bahasa teks-teks hukum. Dengan kata lain ilmu bahasa (linguistik) dapat dijadikan sebagai alat atau media dalam penegakan keadilan. Sebagai misal, frekuensi bunyi bahasa yang diucapkan oleh seorang terdakwa dapat diidentifikasi kebenaran atau kebohongan yang diungkapnya. Contoh lain, SMS (Short Message Service) dan Pesan WhatsApp yang sering masuk ke dalam hanphone kita tanpa identitas yang jelas, kalau diamati dan dipelajari dari bahasa yang digunakan, hampir semua SMS dan pesan di WhatApp itu mempunyai motif kejahatan.
Masih anyar dalam ingatan kita, kasus-kasus para selebritas Indonesia, almarhum Olga Saputra, seorang selebritas ternama tanah air dulu tersandung kasus pencemaran nama baik terhadap seorang dokter. Sampai saat Olga meninggal dunia tidak ada informasi mengenai kepastian hukum terhadap Olga yang diberitakan oleh media. Nyatanya, Olga semakin sering muncul mengisi acara di berbagai media nasional dulunya. Bukan hanya Olga, masih banyak aktor dan aktris yang terlibat kasus pencemaran nama baik, seperti Farhat Abbas dan Luna Maya. Semua kasus yang menyangkut pencemaran nama baik yang diberitakan di media tidak pernah sampai kepada keputusan hakim di pengadilan. Nah, yang mengherankan seakan-akan kasus tersebut hilang dibawa angin dan tidak pernah terdengar tindak lanjutnya. Asumsi penulis adalah karena barang buktinya berupa bahasa (bentuk-bentuk lingual kebahasaan) tidak begitu kuat untuk menjadi bukti di pengadilan.
Sekarang ini, perkembangan ilmu hukum sudah menyentuh kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan bahasa yang digunakan. Undang-Undang sudah memberikan sanksi bagi mereka yang melakukan ujaran kebencian terhadap orang lain atau publik. Banyak ahli bahasa yang dipakai jasanya sebagai saksi ahli bahasa dalam menuntaskan kasus-kasus hukum yang tergolong ke dalam ucaran kebencian atau menjelaskan makna sebuah kata seperti kata Sambo. Pada kasus Sambo juga dipakai jasa ahli bahasa untuk mejelaskan makna kata “hajar” dan “ tembak”.
Penulis berpikir, peran ahli bahasa di zaman perkembangan teknologi yang begitu sudah sepatutnya mendapat ruang dalam semua bidang pekerjaan, salah satunya dalam bidang hukum guna membantu proses pemahaman dan penjelasan terhadap perundang-undangan, aturan hukum, dan kasus-kasus hukum yang alat buktinya berupa kebahasaan. Semoga.
Discussion about this post