Salah Taksir
Cerpen: Liza Warni
Tempat yang akrab, di mana angin bertiup dan dingin menyeruak tulang, tidak banyak yang berubah. Segalanya masih tetap sama. Usai salat subuh dua rakaat kubuka lebar jendela kamarku. Hamparan danau yang luas dan ajaibnya langit pagi dengan kilau bintang timur memanjakan mataku. Jauh di ujung timur kulihat negeri di seberang danau sana masih agak gelap, hanya dihiasi oleh pijaran bola lampu yang berserakan, udara dingin membelai kulit, kutarik sebuah kursi dan selembar selimut ke arah jendela. Aku tidak ingin kehilangan momen menyambut pagi karena pagi di Danau Kembar adalah salah satu kesempatan untuk menikmati sajian keindahan Tuhan yang paling murni.
Dengan ditemani secangkir teh hangat, aku menyaksikan bagaimana mentari pagi perlahan mulai menyeruak dengan kilaunya yang keemasan menyapa penduduk bumi negeriku. Di beberapa sudut, suara hiruk-pikuk para penduduk pun mulai terdengar. Terlihat mereka sudah memulai hari dengan kegiatan masing-masing. Ada yang menyandang pacul menuju hamparan ladang, ada juga yang mendorong perahu kayu untuk mengarungi danau. Beberapa anak-anak berlarian riang menuju danau untuk mandi. Sebagian lagi ada yang dibimbing atau digendong oleh ibunya sambil membawa cucian ke tepi danau.
Aku sedikit menggeliat untuk meregangkan otot-ototku yang kaku karena duduk terpaku sedari tadi. Asap tipis keluar dari setiap hembusan napasku karena udara pagi di sini yang amat dingin meskipun matahari telah terbit dengan sempurna.
“Uni… !!” suara Ibu terdengar menuju ke arah kamarku. Aku bangkit secepat kilat. Kutaruh cangkir di atas meja lalu melompat ke kasur dan berpura-pura masih tidur. Ahh…tapi ibu seperti apa yang tak akan paham dengan sandiwara begin. Ibu masuk ke kamar dan menarik selimutku.
“Hey… Ayo kita sarapan! Mana ada jam segini orang yang masih tidur-tiduran, nanti rejekinya dipatok ayam,” celoteh Ibu sambil menarik selimutku.
“Masih dingin Nyonyaa… Nanti sajalah sarapannya,” rengekku.
“Ehh…Apa-apaan ini, kalau nanti makan siang jadinya lagi bukan sarapan, ayo bangun!” Tangan Ibu menarikku kuat hingga aku terduduk dan tepat menghadap wajahnya, ia tersenyum teduh dan menenangkan jiwa, menatap wajah kusutku lamat-lamat.
“Ikatlah rambutmu ini lagi Nona sebelum gunting Ibu mendarat.”
“Aku lupa cara mengikatnya, Nyonya,” candaku dengan wajah cemberut dibuat-buat.
Beberapa detik kemudian Ibu beranjak mengambil sisir, lalu menghampiri aku yang masih melongo di pinggir tempat tidur. Disisirnya rambutku yang sepinggang dengan hati-hati dan aku yang usil segera melingkarkan tanganku di pinggangnya. Kupeluk erat tubuh perempuan keramat itu hingga tercium aroma badannya yang khas. Sungguh aroma yang tidak akan kutemui di manapun.
Pagiku yang damai mendadak buyar ketika kudengar suara sepeda motor berhenti di halaman rumah bersama hiruk-pikuknya beberapa orang laki-laki dan perempuan yang memanggil-manggil Ayah.
“ Assalamu’alaikuum…Da..Udaa!” suara salam dan ketukan pintu terdengar beriringan.
Spontan Ibu melepaskan pelukanku, kami berdua berlarian ke arah jendela untuk melihat apa yang terjadi.
“Pakai hijabmu, ayo kita lihat.” Ibu menarik tanganku.
Suara ketukan pintu dan panggilan masih terdengar.
“Waalaikumussalam…. Iyaa, tunggu sebentar” sahut Ibu yang telah dulu turun menelusuri tangga untuk membukakan pintu.
Begitu pintu dibuka, beberapa orang telah menanti di sana. Ibu mempersilahkan mereka masuk dan aku disuruh untuk menanggilkan Ayah yang sedang mengotak-atik mesin pemotong keramik yang biasa ia gunakan di belakang rumah. Sementara itu, Ibu meluncur ke dapur untuk menyajikan mereka minum dan beberapa potong roti yang kami punya.
Di ruang tamu yang sederhana itu, duduklah Puri, Tohirin, Khaidir dan juga Kartini yang menghadap Ayah dengan khidmadnya. Mereka adalah orang-orang kampung sebelah yang masih kerabat jauh Ayah. Biasanya, mereka akan datang dan berkunjung ke rumah kami jika ada suatu masalah yang terjadi di keluarga mereka. Tampang mereka semuanya serius, jauh lebih serius dari tingkat umurnya. Sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi. Apakah kali ini dapur Kartini terbakar lagi karena kebiasaannya yang sering lupa mematikan kompor? Atau menantu Khaidir lari lagi dari rumah karena tidak tahan dengan mulutnya yang selalu ikut campur dengan urusan rumah tangga anaknya? Atau bisa juga kambing Thohirin akan melahirkan anak kembar 3 lagi? Pikiranku mulai menebak-nebak.
Semua yang duduk di sana terlihat tegang kecuali Ayah yang masih dengan tenang meneguk kopi dinginnya lalu menyulut sebatang kretek. Begitu hembusan pertama lepas keluarlah asap mengepul, perlahan mengembang lalu lenyap di udara.
“Ada apa Pak Cik, apa ada sesuatu yang terjadi?” Ayah memulai pembicaraan.
Kau dulu yang bicara, Pur!” suruh Khaidir ke Puri.
Pak Cik sajalah, kan Pak Cik yang lebih tua” sanggah Puri.
Yang Niniak Mamaknya kan kamu, Pur” Thohirin membela Khaidir.
Yaelahh.. Padahal, yang lebih menyedihkan di sini kamu, Rin. Harusnya kamu yang cerita duluan, elak Puri lagi.
Ya sudah, ya sudaah… aku saja yang bicara, percuma kalian laki-laki, bisa-bisanya pula dipanggil Mamak, tapi bicara dengan Uda Amar saja. Masih juga sigut-sigutan.” Kartini yang suaranya bak selalu menggunakan toa masjid ini gemas bukan kepalang dengan perangai trio bapak-bapak yang hobi berkilah ini. Sambil memperbaiki sedikit ujung kerudungnnya sudah tak karuan diacak angin, ia mulai bercerita perihal maksud dan tujuan mereka datang mencari Ayah pagi-pagi begini.
Di tengah kisah yang dia sampaikan dengan penuh penghayatan itu, sesekali Puri mengingatkan. “Ssssttt…… Pelankan sedikit suaramu, Kar. Malu kita didengar orang lewat, bagaimanapun jua ini aib keluarga kita, Kar”.
“Iya Kar, volume 2 saja cukup. Pecah pula gendang telinga Amar nanti kau buat,” Thohirin menimpali.
Kartini tak lagi peduli dengan nasihat keduanya. Ia sudah terlanjur sakit hati terus saja bercerita panjang kali lebar tambah tinggi pada Ayah.
Dari cerita Kartini beserta tiga orang rekannya in, akhirnya kami mengetahui bahwa mereka sedang mengalami masalah serius. Kali ini lebih serius dibanding dengan kenaikan BBM ataupun nasib guru honorer yang selalu di PHP kebijakan pemerintah. Ternyata Darwis si tukang jual tanah kembali membuat resah kampung sebelah dengan bakat langkanya. Hingga inilah yang menjadi sebab-musabab Puri beserta rekan sesama korban ulah jahilnya pemikiran Darwis itu datang ke rumahku dengan segala keluh kesah yang menyita emosi dan harga diri mereka sebagai Mamak dan pemilik sah tanah yang akan dijual itu.
Darwis, si laki-laki kontet pemelihara rambut keriting, berperut gendut meskipun badannya kurus. Entah sumpah serapah siapa yang telah membuat pertumbuhan perutnya yang kian hari kian tak seimbang dengan badannnya. Entahlah, yang jelas jika tertawa suaranya akan terbahak-bahak tanpa bisa direm. Mulutnya memang mudah lepas kendali sehingga deretan gigi kuning yang sudah tak terjamah sikat gigi semenjak era Suharto tersebut terpampang tanpa malu-malu. Setiap kali ia bicara maka orang yang dekat dengannya memilih untuk menghemat penghirupan oksigen sementara waktu sampai udara di sana kembali normal aromanya. Darwis buta huruf, sekolah hanya sampai bangku kelas 2 SD, tidak tamat sehingga dengan kemampuan yang demikian ia tidak bisa memahami isi rapor anaknya setiap diserahkan oleh guru pada akhir semester.
Namun, mukjizat Tuhan berkata lain. Meskipun tak bisa membaca dan menulis, Darwis malah terampil membuat tanda tangan, apalagi tanda tangan untuk surat jual-beli tanah. Tidak memiliki saudara perempuan adalah alasannya untuk menjual dan menggadai tanah warisan orang tuanya. Namun, penyakit buta huruf ini ternyata juga merambah pada buta batasan. Semakin hari ia semakin tidak mengenali mana saja batas tanah milik keluarganya dengan tanah milik orang lain sehingga dia khilaf menaksir luas tanah yang akan dijualnya kali itu. Tak alang-kepalang, Darwis akan menjual tanah seluas dua hektar sekaligus pada juragan ladang bawang dari negeri sebelah. Hingga pada saat yang genting, sesaat sebelum jemari kering dan kaku Darwis hampir menari-nari menorehkan tanda tangan di atas kertas persetujuan jual-beli dalam tempo yang sesingkat-singkatnya itu. Muncullah Puri, yang masih saudara dekatnya. Ternyata taksiran tanah dua hektar tersebut yang murni milik keluarga Darwis hanya 37,8 meter persegi. Selebihnya, tanah adalah milik Puri dan juga yang lainnya.
Untung tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, terjadilah perdebatan sengit di antara Puri, Darwis, dan anggota keluarga lainnya. Mereka tak terima dengan niat konyol Darwis nan semakin parah itu. Hinggga di tengah perdebatan yang menegangkan urat syaraf antara saudara sepersukuan tersebut, terbersitlah di pikiran cemerlang Khaidir untuk menemui Ayah agar bisa membantu mencarikan solusi dari kegaduhan yang Darwis buat.
“Di mana dia sekarang ?” Ayah menanyakan keberadaan Darwis.
“ Dia sudah lokasi dari tadi, bersama si Iskandar yang akan membeli tanah itu. Jawab Khaidir.
“Bawa dia ke sini, sekalian dengan si Iskandar itu juga. Bilang ini aku menyuruh.” Titah Ayah kepada Tohirin. Tanpa membantah, Tohirin langsung beranjak.
Selang beberapa waktu kemudian, datanglah orang-orang yang Ayah maksud tadi ke rumah kami. Tanpa banyak basa-basi, Ayah langsung menanyakan kepada Darwis tentang kebenaran seluruh cerita yang sudah dia dengar dari Kartini. Darwis langsung salah tingkah dan mati kutu, di wajahnya warna kemerahan dan partikel keringat sudah mulai bermunculan,
Di hadapan semuanya, Ayah sebagai Mamak yang dituakan di sukunya itu memulai pembicaraan dengan menuturkan sampai mana batasan tanah milik Darwis yang sesungguhnya, ia mulai bicara dengan gaya khasnya tentang bagaimana akibat perbuatan Darwis ini secara hukum adat, agama maupun undang-undang. Ayah memberi nasehat panjang lebar dan sangat menyayangkan nyali besar Darwis yang salah tempat ini. Nyaris saja nyali konyol itu melukai harga dirinya sekaligus hati saudara-saudaranya, sementara di Minang Kabau pantang rasanya seorang laki-laki harus menjual tanah pusako apalagi ini bukan pula pusako bagian keluarganya.
“Biarlah kita miskin dan harta kita sedikit asal halal, Da. Bagaimana kita akan mempertanggung jawabkan hak orang nanti di akhirat sementara urusan diri kita sendiri belum tentu selamat dalam perhitungan Tuhan, yang lurus-lurus sajalah biar hidup berkah,” Ayah mengingatkan Darwis.
Darwis terhenyak dan terlihat merana, pupuslah harapannya yang sudah terlanjur gemilang dengan hasil penjualannya kali ini. Dalam ingatanya, sudah terbayang bagaimana ke depannya dia bisa ontang kaki menikmati hidup tanpa harus memukat ikan ke danau lagi untuk menafkahi anak dan istrinya, antena parabola model terbaru di toko elekronik Haji Ramlan, gelang emas untuk istrinya biar semakin terasah bakat pamer ke tetangga dan sepeda motor baru untuk anak laki-lakinya yang jika tahun ini berhasil naik kelas. Karena sudah 2 tahun ini masih juga belum beranjak dari kelas 5 SD, sementara teman sebayanya sudah ada yang SMA. Namun, mimpi indah Darwis adalah mimpi buruk bagi sanak familinya, pantas saja Tuhan tak restu.
Dengan rasa malu yang cukup untuk membuat tengkuk susah ditegak luruskan, akhirnya Darwis menyetujui wejangan-wejangan Ayah yang diamini oleh orang-orang yang terlibat di sana, termasuk Iskandar si calon pembeli yang sedari tadi hanya bengong menyaksikan peristiwa yang di luar nalarnya. Ternyata jebakan Darwis lebih hebat dari jebakan Batman. Hampir saja ia terseret perkara soal tanah, ulah kejahilan Darwis, sungguh sesuatu sekali.
“Kejadian hari ini, cukup kita yang tau, jangan sampai melegenda kepada orang sekampung apalagi anak cucu ke depannya, malu kita” pesan Ayah lagi sebelum kemudian mendamaikan kedua belah pihak dengan bermaaf-maafan dan sarapan bersama.
Biodata Penulis
Liza Warni perempuan kelahiran Negeri Dingin Tanpa Salju ini merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Alumni pascasarjana UM SUMBAR dan juga merupakan anggota FLP Wilayah Sumbar. Sehari-hari berkegiatan sebagai pendidik dan jurnalis sumbarmadani.com. Penyuka buku dan anak-anak. Hobi belajar menulis walaupun belum jadi penulis. Ia bisa dihubungi melalui email lizawarni01@gmail.com.
Nilai Moral dan Agama dalam Cerpen “Salah Taksir” karya Liza Warni
Oleh: Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasehat Pengurus FLP Wilayah Sumbar dan
Dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta)
Fiksi sebagai sebuah genre dari penulisan kreatif memiliki beberapa bentuk karya seperti cerpen, novel, dan puisi. Cerpen dan novel walaupun sama-sama karya fiksi yang berupa prosa, namun pada dasarnya kedua jenis fiksi ini berbeda. Cerpen sebagaimana namanya merupakan cerita pendek. Nurgiyantoro (1995) mendefinisikan cerpen sebagai cerita yang mengisahkan peristiwa, pengalaman penulis yang dituangkan dalam bentuk prosa dan dibaca dalam sekali duduk. Pradopo (2013) menyampaikan bahwa cerpen masuk dalam kategori cerita rekaan yang mengandung tema, alur, tokoh, latar, sarana sastra (literary device) berupa pusat pengisahan, gaya, dan konflik.
Sementara itu, istilah novel bersumber dari bahasa Itali, yakni novella yang merupakan bentuk jamak dari novellus. Novella sendiri semacam anekdot yang diperbesar. Sebuah novel didukung oleh unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Novel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku. Encyclopaedia Britannica menyebut novel sebagai sebuah narasi prosa yang diciptakan dengan panjang yang cukup dan kompleksitas tertentu.
Cerpen dan novel sama-sama merupakan fiksi, tetapi keduanya memiliki perbedaan. Perbedaan keduanya dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, dan panjang cerita. Cerita yang jumlah halamannya ratusan bukanlah cerpen melainkan novel. Nurgiyantoro (1995) menyampaikan cerpen atau cerita pendek mempunyai panjang yang bervariasi. Mulai dari yang sangat pendek disebut short short story yang jumlahnya 500-an kata, midle story yang panjangnya cerpennya lumayan, dan long short story yakni cerpen panjang yang biasanya bisa berkisar dari ribuan kata, bahkan berpulupuluh ribu kata.
Lebih jauh Nurgiyantoro (1995) menyampaikan bahwa cerpen sebagai fiksi mempunyai unsur-unsur pembangun. Unsur pembangun berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Berbeda dengan novel yang menyajikan cerita yang lebih detail, panjang, banyak, dan lebih rinci, cerpen menyajikan cerita lebih ringkas, tidak begitu rinci, mengurangi hal-hal yang kurang penting agar tidak memperpanjang cerita. Novel lebih kompleks, sedangkan cerpen lebih implisit.
Secara plot, cerpen mempunyai plot tunggal, yakni satu peristiwa hingga cerita berakhir. Secara tema, cerpen mudah ditemukan temanya dan biasanya hanya satu tema tidak bertambah. Cerpen secara penokohan hanya terbatas, tidak begitu menggambarkan ciri fisik tokoh secara detail, tingkah laku, kebiasaan. Selain itu, secara latar cerpen hanya menggambarkan suasana dan keadaan sosial secara garis besar dan implisit. Meskipun begitu, cerpen memiliki kepaduan yang memiliki ciri khas, ringkas dan implisit, dibandingkan dengan novel yang kepaduannya lebih luas, dan lebih kompleks.
Kreatika edisi ini menayangkan sebuah cerpen berjudul “Salah Taksir” karya Liza Warni alumni Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat yang juga merupakan anggota FLP Wilayah Sumatera Barat. Cerpen “Salah Taksir” bercerita tentang kesaksian seorang remaja perempuan terhadap persoalan tanah di kaum ayahnya. Liza yang memiliki selera humor dalam berkarya ini menceritakan bahwa ada seorang laki-laki bernama Darwis yang berprofesi sebagai penjual tanah dan juga calo tanah. Artinya dia tidak hanya menjual tanahnya, akan tetapi juga membantu menjual tanah orang-orang kampungnya yang akan dijual.
Suatu waktu, Darwis membuat masalah dengan menjual tanah milik kaum Ayah Tokoh utama dalam cerita ini. Cerpen “Salah Taksir” sebenarnya hanya berkisah tentang salah taksir atau salah perkiraan yang dilakukan Darwis. Darwis yang tidak bisa membaca itu salah memperkirakan ukuran tanah yang akan dijualnya sehingga ia menjual tanah orang lain. Kartini, Puri, Khaidir, dan Thohirin protes karena tanah kaum mereka akan dijual oleh Darwis, lalu mereka menemui Amar (Ayah Tokoh dalam cerita ini) sebagai orang yang dianggap bijaksana dalam menghadapi masalah-masalah kaum mereka.
Singkat cerita, Amar memberikan pandangan-pandangannya tentang masalah tersebut. Disinilah pesan-pesan moral cerita yang disampaikan oleh penulis secara eksplisit melalui tokoh Amar. Sebagai lelaki yang suaranya didengar oleh kaumnya, Amar memberikan wejangan bahwa harta (tanah) jangan lagi dijual, karena tanah itu pada dasarnya titipan generasi yang akan datang. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
“Ayah memberi nasehat panjang lebar dan sangat menyayangkan nyali besar Darwis yang salah tempat ini. Nyaris saja nyali konyol itu melukai harga dirinya sekaligus hati saudara-saudaranya, sementara di Minangkabau pantang rasanya seorang laki-laki harus menjual tanah pusako apalagi ini bukan pula pusako bagian keluarganya.” (Liza Warni, 2023).
Poin penting dalam kutipan tersebut adalah tentang harta pusaka di Minangkabau yang tidak boleh dijual tanpa syarat yang jelas. Nasihat itu sudah lumrah pada cerita-cerita tentang adat dan budaya Minangkabau. Sebagai sebuah suku yang menganut sistem matrilineal, Minangkabau adalah salah satu suku yang berpantang memperdagangkan harta pusaka. Hal ini merupakan kearifan lokal masyarakat setempat untuk menjaga agar kepemilikan tanah hanya diwariskan pada generasi selanjutnya.
Pada bagian selanjutnya, tokoh yang berperan sebagai tritagonis atau tokoh ketiga yang menjadi penengah dalam cerita ini memberikan nasehat tidak hanya tentang hukum adat, tetapi juga tentang agama. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
“Biarlah kita miskin dan harta kita sedikit asal halal, Da. Bagaimana kita akan mempertanggung jawabkan hak orang nanti di akhirat sementara urusan diri kita sendiri belum tentu selamat dalam perhitungan Tuhan, yang lurus-lurus sajalah biar hidup berkah,” Ayah mengingatkan Darwis. (Liza Warni, 2023).
Kutipan di atas memperlihatkan pertalian antara adat dan budaya Minangkabau dan ajaran Islam. Sebagaimana diketahui masyarakat banyak, Minangkabau yang berpegang teguh pada Islam tentu tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Islam. Oleh sebab itu, tidak heran setiap persoalan yang dialami masyarakat Minangkabau selain mempertimbangkan hukum adat juga mempertimbangkan ajaran Islam. Nasehat tokoh Amar kepada Darwis bahwa harus mencari nafkah yang halal, tidak membohongi orang lain, dan yang paling penting adalah bahwa setiap perbuatan yang dilakukan di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat merupakan pesan-pesan moral yang sudah lazim dalam cerita-cerita tentang Minangkabau.
Cerpen “Salah Taksir” ini selain mencerminkan selera humor penulisnya yang tinggi, juga memiliki pesan-pesan moral yang dalam tentang adat dan budaya Minangkabau juga memiliki pesan-pesan tentang nilai-nilai agama Islam. Secara umum, cerita ini menarik karena disajikan dengan bahasa yang renyah dan cerita yang mengalir dengan lancar.
Sungguhpun demikian, cerita ini memiliki kelemahan karena Liza Warni membuat cerita pendek layaknya sebuah novel. Seperti diuraikan di awal tulisan ini, walaupun sama-sama prosa, novel dan cerpen memiliki perbedaan salah satunya pada cerpen cerita fokus pada satu masalah sementara novel memungkinkan pada banyak persoalan.
Cerita “Salah Taksir” ini dimulai oleh penulis dengan sajian deskripsi alam yang indah, suasana pagi yang damai dan kehidupan tokoh “aku” yang pada dasarnya tidak berhubungan langsung dengan inti cerita. Liza membuka cerpen ini seolah-olah membuka sebuah novel. Jika diperhatikan nyaris dua halaman pertama cerpen Liza ini tidak terkait langsung dengan pokok masalah. Hal ini tentu tidak efektif dalam cerita pendek. Selain pembuka cerita yang terlalu panjang, pada badan cerita, penulis juga tergoda untuk menceritakan hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan persoalan utama. Penulis menggambarkan tokoh Darwis dengan panjang lebar yang menurut pandangan saya hal itu lazim dilakukan dalam menulis novel.
Akhir kata, selamat kepada Liza Warni yang sudah menulis cerpen “Salah Taksir” ini. Semoga ke depan lahir cerpen-cerpen lainnya yang lebih menarik. Selain itu, semoga saja penulis mampu melanjutkan cerita “Salah Taksir” ini menjadi sebuah novel. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatra Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post