Oleh: Ronidin
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Agaknya Yogyakarta adalah kota kedua di Indonesia yang paling sering saya kunjungi setelah Jakarta. Dulu, ketika saya masih remaja dan energik, saya memang berkeinginan sekali untuk menginjakkan kaki di Tanah Jawa. Keinginan itu muncul setelah saya membaca beberapa kisah orang-orang “hebat” yang “sukses” di Tanah Jawa. Juga karena hampir setiap hari saya mendengarkan sandiwara radio kolosal berlatar Tanah Jawa berjudul Babad Tanah Leluhur. Keinginan saya hendak ke Tanah Jawa juga dipicu oleh cerita-cerita ayah saya mengenai kota-kota besar yang pernah disinggahinya di sepanjang Pulau Jawa. Ayah saya adalah pekerja rumah makan yang menghabiskan sebagian umurnya di Tanah Jawa.
Keinginan saya untuk ke Tanah Jawa Alhamdulillah dikabulkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Pertama menginjakkan kaki di Pulau Jawa pada tahun 1991-an, saya hanya sampai Jakarta. Terkenang saya waktu itu dengan dada bergemuruh meninggalkan Tanah Sumatera menaiki kapal Ferry Bangkahuni-Merak yang akan menyeberangkan saya ke Tanah Jawa. Tidak bisa dilukiskan kata-kata apa yang saya rasakan kala itu, seorang yang masih belia selepas SMP pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib. Untunglah nasib saya tidak di situ. Dari Jakarta saya kembali ke Solok, kampung halaman saya untuk meneruskan sekolah hingga jadi sarjana di Universitas Andalas. Selepas itu, setahap demi setahap, barulah saya bisa menjelajahi hampir semua kota besar yang ada di Jawa. Saat studi lanjut Strata dua (S2) di Universitas Gadjah Mada (UGM), saya bermukim di Yogyakarta. Kini S3 juga di Yoyakarta.
Yogyakarta sesuai kedudukannya sebagai kota yang istimewa meninggalkan kenangan indah bagi siapa saja yang pernah menjajakinya. Begitu pun bagi saya. Di mata saya, Yogyakarta yang memiliki beberapa julukan tidak seperti kota lain di Tanah Jawa. Kota ini sulit untuk dilupakan. Yogyakarta adalah Kota Perjuangan, Kota Pelajar, Kota Gudeg, Kota Wisata, Kota Murah Meriah, dan Kota Berhati Nyaman (akronim dari BERsih, seHAT, Indah, dan Nyaman).
Yogyakarta disebut Kota Perjuangan karena pernah menjadi ibu kota Republik Indonesia di masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Di kota ini pernah terjadi beberapa peristiwa sejarah, misalnya peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 atau dikenal juga sebagai peristiwa 6 Jam di Yogya. Dalam peristiwa itu, para pejuang Indonesia dengan sangat heroik menentang militer Belanda yang menguasai Yogyakarta. Bukti peristiwa itu bisa dilihat di sekitar kawasan titik nol kilometer di ujung Selatan Jalan Malioboro atau di Monumen Jogja Kembali (Monjali).

Kota Yogyakarta dikenal sebagai Kota Pelajar karena memang di sini banyak pelajar berdatangan dari seluruh Indonesia. Ada banyak universitas dengan kualitas baik di kota ini. UGM salah satunya. UGM menjadi magnet bagi para mahasiswa dari seluruh Indonesia selain UNY, UIN Sunan Kalijaga, UII, Sanata Darma, Universitas Muhammadiyah, dan sebagainya. Selain di universitas, pendidikan di kota ini juga menggeliat di sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga menengah atas. Di Kota Yogyakarta inilah saya melihat berbagai plat nomor kendaraan dari Aceh hingga Papua yang dibawa oleh para pelajar dan mahasiswa untuk menuntut ilmu dan bermukim di Yogyakarta.
Kota Yogyakarta juga dikenal sebagai Kota Gudeg, masakan tradisional yang terbuat dari nangka yang dimasak lama dan berasa manis. Di Yogyakarta, kita dapat menemukan penjual gudeg di berbagai tempat, mulai dari kaki lima hingga restoran mewah. Bagi orang Yogyakarta, gudeg adalah kebanggaan dan ikon, sama seperti rendang bagi orang Padang (Minangkabau). Mereka menikmati gudeg sebagai warisan kuliner yang tidak dimiliki daerah lain. Orang Yogya umumnya suka gudeg. Bagi orang non-Yogya, misalnya orang Sumatera atau lebih khusus lagi orang Padang seperti saya, gudeg tidak bisa dimakan banyak-banyak. Rasanya yang manis tidak berkenan dengan lidah yang sudah terbiasa pedas. Akan tetapi, bila sudah sejak bayi diberi makanan gudeg yang manis itu maka akan susah untuk makan yang pedas. Anak kedua saya yang ketika bayi di Yogyakarta dan sering diberi gudeg, payah untuk pindah ke makanan pedas. Hingga kini anak saya itu masih sering terengah-engah kalau memakan nasi Padang.
Yogyakarta juga disebut Kota Wisata, Kota Murah Meriah, dan Kota Berhati Nyaman. Banyak destinasi Wisata di daerah ini yang eksotik untuk dikunjungi. Di Selatan ada kawasan pantai seperti Pantai Parangtritis, di tengah ada Kraton Yogyakarta, kawasan Malioboro, dan pusat Kota Yogyakarta, di utara ada Gunung Merapi dan Kawasan wisata Kaliurang. Kota Yogyakarta juga dikelilingi oleh candi-candi dari zaman Hindu-Buddha. Ada candi Borobudur di Magelang, Candi Sewu, Candi Prambanan, Candi Kalasan, Candi Ratu Boko, dan candi-candi lainnya yang membuktikan kemegahan dan keperkasaan kebudayaan masa lalu.

Keberadaan wisata di Yogyakarta didukung oleh faktor lainnya. Kota ini kenal sebagai Kota Murah Meriah. Biaya hidup di Yogya termasuk murah. Walaupun saat ini harga sewa tempat tinggal (kos) mulai mahal seiring dengan semakin mahalnya harga dan biaya properti, biaya hidup untuk makan masih dapat dikatakan murah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Dengan sepuluh ribu rupiah, kita masih bisa menikmati nasi ayam di Rumah Makan Padang yang sederhana. Jika tidak punya banyak uang, jangan makan di rumah makan bermerek, makanlah di gerai-gerai makan yang ada di mana-mana. Angkringan dengan nasi kucingnya masih ada. Kita bisa makan dengan sebungkus nasi, segelas teh es, dan beberapa potong gorengan. Harga kebutuhan di pasar masih bisa dijangkau kantong. Intinya, biaya hidup di Yogyakarta lebih murah dibandingkan dengan kota lain di Jawa. Dengan uang 25 ribu rupiah kita masih bisa bertahan sehari untuk dua tiga kali makan. Tidak demikian halnya bila kita di Jakarta, Bandung, atau Surabaya.
Yogyakarta di mata saya memang sesuai dengan julukannya sebagai kota yang bersih, sehat, indah, dan nyaman (berhati nyaman). Saya angkat topi dengan pengurus RT/RW di Yogyakarta yang mampu mengkoordinasikan warganya untuk hidup bersih, sehat, indah, dan nyaman. Ketika mukim di Yogyakarta, saya tinggal perkampungan warga lokal di Jetisharjo, Kelurahan Cokrodinigratan, dekat dengan Kali Code. Lingkungan tempat saya tinggal ini benar-benar bersih, indah, dan nyaman. Setiap keluarga memiliki tanggung jawab untuk memperindah rumahnya dengan bunga-bunga dan tanaman hidup, baik di pot maupun di tanah pekarangan yang lowong. Bila hujan datang, tidak ada air tergenang karena saluran drainasenya dibersihkan berkala. Pori-pori resapan air yang dibuat oleh mahasiswa KKN UGM efektif menyerap air. Sampah diambil setiap hari dan disortir pilah untuk dibuang maupun didaur ulang. Warga bergotong-royong rutin sekali sebulan membersihkan lingkungan sekitar dan rumah masihng-masing. Gang-gang di pemukiman itu walaupun sempit terlihat bersih dan teratur. Di kiri kanan ada tulisan peringatan beraksara Jawa dan Indonesia: buanglah sampah pada tempatnya! atau mesin motor harap dimatikan!
Begitulah, berkunjung dan tinggal di Yogyakarta bagi saya penuh dengan kenangan. Impian masa kecil saya untuk mengunjungi Tanah Jawa pada akhirnya menjadi catatan hidup yang tidak mungkin saya lupakan. Masih banyak cerita yang hendak saya kisahkan untuk masa setelah ini. Misalnya mengenai tetua-tetua dan perantau Minangkabau di Yogyakarta yang sukses meniti jalan hidup mereka. Bila kita ke Malioboro dan tempat-tempat lain di Yogyakarta, di situ akan ada perantau Minangkabau yang membangun hidup mereka berasimilasi dengan budaya dan warga setempat. Haji Samawi asal Magek Bukittinggi misalnya, sukses bersama teman-temannya mendirikan koran Kedaulatan Rakyat (KR) yang hingga kini masih eksis. Catatan ini akan berlanjut pada seri-seri berikutnya. Selamat membaca dan menikmati sembari menyeruput kopi dan teh hangat ditemani kudapan apa pun jenisnya. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post