Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas)
“Ada yang membangkitkan panglima-panglima dewi api. Dialah roh setan itu, roh jahat yang penuh dengan kebencian” (Film Sri Asih: Pimpinan Jagat Bumi)
“Teks sastra tidak dapat disamakan, baik dengan objek-objek nyata dari dunia pembaca, maupun pengalaman pembaca sendiri. Ketidaksamaan itu menghasilkan apa yang disebut dengan Unbestimmthet (Wilayah yang Samar-Samar)” (Wolfgang Iser)
Kehadiran Film Sri Asih beberapa bulan lalu menuai pro dan kontra sehingga sempat menjadi trending topic di twitter. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang yang mengaitkan kehadiran film ini dengan film-film yang hadir pada timeline Marvel. Mereka menganggap bahwa lagi-lagi film Indonesia kehadirannya hanya meniru film-film dari barat. Salah satu komentar dari seorang pengguna akun twitter yang disamarkan namanya menuliskan seperti berikut,
“Bahkan konsep timeline-nya aja ngikutin marvel. Maksa dan ga kreatif. Gue yakin hasilnya juga bakal sama kaya konsepnya, maksa dan ga kreatif” sumber: twitter (17 November 2022)
Hal ini dapat dimaklumi karena kalau dilihat secara sekilas timeline yang dikeluarkan oleh Jagat Bumilangit Universe sekilas mirip dengan Marvel Cinematic Universe. Jagat Bumilangit baru mengiprahkan sayapnya melalui film Gundala pada tahun 2019, sedangkan Marvel Cinematic Universe sudah memulai debutnya semenjak tahun 2008 dengan film pertamanya yang berjudul Iron Man.
Jagat Sinema Bumilangit adalah sebuah media waralaba Indonesia yang memproduksi film pahlawan-pahlawan super Indonesia. Jagat Bumilangit mengklasifikasikan empat era atau zaman, yaitu 1) Era Legenda, 2) Era Jawara, 3) Era Patriot, dan 4) Era Revolusi. Era Legenda diceritakan mulai dari meletusnya Gunung Toba pada 75.000 tahun sebelum masehi dan manusia yang hampir punah karena dunia yang membeku selama 20.000 tahun. Namun, ada beberapa manusia yang bertahan dan mendirikan tiga kerajaan di Tatar Sunda Besar, yaitu Kerajaan Wiba, sebuah kerajaan yang terkenal dengan kejeniusan dalam bidang teknologi. Kerajaan kedua adalah Kerajaan Godam yang dikenal dengan pejuang-pejuang tangguh dengan kekuatan militer yang luar biasa. Kerajaan terakhir adalah Kerajaan Rawaya yang mendedikasikan diri untuk urusan spiritual.
Era kedua dalam bumilangit Era Jawara, yaitu era pada 1700 setelah Masehi yang dimulai dengan kisah jawara Mandala, Siluma, dan Malaikat, serta pertemuan Mandala dengan Barda (Si Buta dari Gua Hantu). Kemudianl Era Patriot, yaitu era penemuan jejak-jejak kerajaan Wibu pada era Legenda. Pada era ini, diketahui adanya pewarisan cincin dari Godam pada generasi selanjutnya dan beberapa di antaranya adalah Awang, Asih menitis ke Nani Wijaya. Kemudian, didirikan markas patriot di Teluk Berhala untuk menjaga Bumi oleh Mandala, Maza, Sri Asih, Godam, Aquanus, dan Gundala. Terakhir, era revolusi adalah era parajagoan milenial, yaitu Ganendra, Ola, Imaji, Rengganis, Riani, Timichi, dan Dhanus Jr. Mereka adalah penerus para jagoan di era patriot yang membentuk Jagabumi yang dikepalai oleh Mandala dan Kanigara.
Beberapa nama pahlawan di atas tentu saja sudah cukup familiar, misalnya film Si Buta dari Gua Hantu yang diproduksi pada tahun 70-an atau Film Mandala yang diproduksi pada tahun 80-an, tetapi masih sering ditayangkan pada awal tahun 2000-an. Bahkan, sebelumnya film ini hadir dalam bentuk cerita bergambar atau komik pada tahun 60-an. Jagat Bumilangit menjadi ruang yang kembali membentuk eksistensi komik-komik legendaris pada tahun 60-an, di bawah naungan produser kretif, Joko Anwar. Tidak hanya itu, pengklasifikasian era tersebut juga dikaitkan dengan perjalanan sejarah Indonesia, misalnya masa Kerajaan Majapahait Hindu Budha ataupun Islam. Kemudian, bergerak pada era perjuangan kemerdekaan dengan berbagai pahlawan yang dikenal dari masing-masing daerah.
Marvel Cinematic Universe juga sebuah media waralaba yang memproduksi film pahlawan super, tetapi berpusat di Amerika Serikat. Film-film ini juga berangkat dari komik-komik Amerika terbitan Marvel Comics. Berbeda dengan Jagat Bumilangit yang baru memproduksi dua film, Marvel Cinematic Universe sudah menyebar pada produksi komik, film pendek, serial televisi, seri digital dan sebagainya. Selanjutnya, Marvel Studios menyebut pembagian pahlawan super tersebut menjadi beberapa fase, di antaranya fase satu The Avangers, fase dua dimulai dengan Iron Man 3, selanjutnya fase tiga dimulai dengan Captain America: Civil War. Tiga fase ini dikenal secara kolektif dengan The Infinity Saga. Selanjutnya, fase empat dimulai dengan Black Widow dan fase lima yang akan berakhir dengan Blade serta fase enam yang dimulai dengan Deadpool 3. Dua fase ini secara kolektif dikenal dengan The Multiverse Saga.
Jika dilihat sekilas dari penjelasan di atas menambah poin kemiripan di antara keduanya, diangkat dari komik daerah setempat dan kemudian dibagi menjadi beberapa bagian walaupun penyebutan dan jumlah kedua pengelompokkan tersebut memang berbeda. Hal yang wajar kehadiran karya yang terakhir booming dianggap sebagai karya yang memplagiasi karya awal. Namun, banyak yang tidak sadar bahwa sebuah karya tidak dapat hadir begitu saja tanpa ada karya yang mendahuluinya sehingga seringkali muncul anggapan bahwa suatu karya memplagiasi karya lainnya. Padahal, seni bukan sebuah karya ilmiah yang dapat diukur persentase plagiasinya dengan software-software cek plagiarism yang banyak digunakan saat ini.
Kemunculan dua karya yang dianggap mirip dapat dilihat menggunakan teori kajian intertektualitas agar asumsi terkait sebuah karya plagiat dapat divalidasi. Sama halnya dengan kemunculan asumsi terkait kesamaan Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Magdalena. Namun, pada akhirnya hal ini terbantahkan karena Tenggelamnya Kapal van der Wijck bukan sekedar terjemahan dari novel Magdalena, melainkan ada perbedaan budaya, latar, dan sebagainya.
Hal yang sama juga terjadi pada timeline yang dibuat oleh Jagat Bumilangit dan Marvel Cinematic Universe. Ide untuk proses penciptaan filmnya mungkin saja sama, tetapi banyak pemaparan unsur-unsur yang berbeda, misalnya dari tema pahlawan yang mereka usung sudah jelas memiliki perbedaan. Unsur kebudayaan yang digunakan dalam film juga tentu sudah berbeda.
Interpretasi atau pemaknaan yang dimunculkan oleh penikmat sebuah karya akan dipengaruhi oleh repertoire yang mereka miliki. Repertoire berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh penikmat sebuah karya, seperti karya yang sudah pernah dibaca, norma-norma yang dianut, kultur, dan sebagainya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ketika penikmat sebuah karya menganggap karya tersebut hadir karena adanya unsur plagiasi, hal itu dipengaruhi juga oleh repertoire yang dimiliki.
Sebuah karya juga tidak dianggap keberadaanya jika tidak diapresisasi oleh penikmatnya. Horison harapan yang dimiliki oleh penikmat sebuah karya akan mempengaruhi penilaian terhadap karya tersebut. Tentu saja horison harapan setiap orang memiliki perbedaan antara satu sama lain. Dengan demikian, sebuah karya selalu mempunyai ruang-ruang kosong yang dapat diisi oleh penikmat setelahnya sehingga memungkinkan munculnya sebuah karya baru berdasarkan karya yang sudah hadir sebelumnya.
Discussion about this post