Cerpen: Nola Pritanova
Sore ini, sambil menatap hujan, aku menyesap teh hangat yang telah tersisa setengahnya. Pikiranku berkecamuk. Teringat perkataan Natta tadi saat acara reuni. Lagi-lagi dia membahas pernikahan, seolah hanya itu bahan pembicaraan yang ia punya. Biasanya aku tidak ambil pusing. Aku akan menanggapinya dengan bermacam guyonan. Namun, entah kenapa siang tadi aku menjawab dengan lantang pertanyaannya yang terkesan menyudutkan. Sahabatku itu hanya mampu diam. Setelah itu, bahkan untuk menatapku saja ia tidak berani.
Aku tidak mengerti mengapa topik satu itu benar-benar menarik untuk mereka, terlebih Natta. Mungkin maksudnya baik menyuruhku –yang sudah hampir tiga puluh tahun– berumah tangga, tetapi untuk apa ia selalu membahasa itu secara mendalam tiap kali bertemu. Ayolah, tidak setiap orang memiliki cara pikir dan sudut pandang sepertimu.
“Khay, kapan sih nikah? Nunda mulu. Kamu udah S2. Apa lagi sih yang mau dicari?” Tanya Natta sambil menyeruput jus jeruknya.
“Ntar kalau jodohnya datang juga bakal nikah, kok,” Jawabku sambil tersenyum seperti biasa.
Sejenak, gawaiku berbunyi. Ada pesan masuk dari mahasiswaku yang ingin bimbingan skripsi. Kubalas sebentar. Ternyata ada beberapa pesan lainnya yang belum sempat kubalas. Kubalas satu per satu sambil tetap mendengar guyonan teman-temanku.
“Khaylila sih nikahnya kali pas udah S3. Hehehe.”
“Tau nih, masih aja cuek soal beginian. Aku aja, zaman masih 24 tahun udah ketar-ketir banget si Redo belum ngelamar. Lah ini anak masih asyik-asyik aja.”
“Tau nih, masih betah aja sendiri.”
Aku menyimpan ponsel, menatap mereka satu per satu. Di depanku ada tiga orang sahabatku sejak SMA. Hampir tiap hari obrolan mereka seputar pernikahan, pernikahan, dan pernikahan. Aku mau menikah, tapi bukan saat ini. Lagian, menikah itu bukan persoalan yang mudah. Butuh proses yang cukup panjang untuk yakin dan siap.
“Nikah itu ibadah lho. Ngapain sih kamu seperti itu? Udah banyak yang datang melamar selalu aja dicuekin, Khay!” Selma menatapku, menunggu jawaban.
Aku menarik napas panjang. Lama-lama aku mulai jengah, tiap bertemu yang dibahas itu saja. Sesekali aku ingin bahas hal lain. Bukan hal-hal yang bahkan aku tidak tertarik mendengarnya. Bukannya persoalan nikah itu haknya Tuhan? Terserah Tuhan mau aku nikah kapan. Juga tidak perlu sesumbar menjelaskan rencana-rencana itu, bukan? Cukup di atas sajadah bermunajat.
“Kalian yakin mau denger alasanku? Penting banget emangnya, ya ngebahas hal ini?” Tanyaku sambil tertawa sinis.
Aku menarik napas panjang (lagi). Menatap mereka lamat-lamat. Mengangguk pelan. “Menikah memang ibadah.” Aku memandang mereka bergantian. Meminum kopi gula arenku sedikit.
“Tapi menikah bukan satu-satunya ibadah.” Jawabku di antara jeda yang cukup lama.
Mereka diam. Berhenti dengan aktivitas makan dan minumnya. Memandangku. Mungkin mereka sadar, aku sedang sangat serius menghadapi obrolan ini.
“Kalian tahu, surga perempuan sebelum nikah ada di mana? Kewajiban seorang anak itu apa?”
Aku diam sejenak. Memberi jeda lagi untuk mereka berpikir.
“Ya tahu. Masa itu aja nggak tahu, sih Khay.” Jawab Selma heran.
“Kira-kira itu menjawab pertanyaan kalian selama ini nggak?” Tanyaku lagi.
Mereka menggeleng, serentak.
Lagi-lagi aku menarik napas panjang.
“Setiap orang punya pemikiran berbeda, pandangan berbeda, cara hidup berbeda. Tiap orang punya pencapaian yang beda. Betul, bukan? Begitu juga kita. Aku, kalian, memiliki cara pandang yang berbeda terhadap banyak hal.”
Aku membenahi posisi dudukku. “Menurutku, ketika aku belum nikah, surgaku ada di orang tuaku. Hidupku adalah berbakti pada orang tua. Bukankah rida Allah terletak pada rida orang tua? Aku belum mau jika baktiku harus pindah ke seorang lelaki yang kupanggil, suami.”
Mereka menatapku heran.
“Setelah menikah memang aku tetap bisa berbakti pada orang tua, tetapi tidak seratus persen lagi. Mana yang lebih aku dahulukan? Tentu saja suami. Sebab rida suami, ridanya Allah. Itu pemahamanku.”
Aku menatap sekeliling. Meminum jusku lagi. Memberi waktu mereka berpikir.
“Hampir tiga puluh tahun aku hidup bersama orang tua. Hanya segitu aku bisa seratus persen ngabdi ke orang tua. Sisanya? Ke suami. Nah, aku belum mau. Aku meresa masih banyak nakalnya ke orang tua. Contoh, saat ibuku minta tolong, kadang aku nggak langsung ngerjain karena kesibukan. Salah, kan? Padahal, saat kita salat sunnah aja, ibu manggil, dahulukan panggilan ibu, baru lanjutkan salat sunnah. Segitu pentingnya orang tua, bukan?”
Mereka diam.
“Aku ngga pake jilbab dengan benar, yang dosa siapa? Ayahku juga ikut keseret ke neraka, lho. Itu yang namanya sudah berbakti?”
Mereka masih diam tak berkutik. Aku menarik napas lagi, menatap wajah-wajah penuh tanya itu.
“Aku tahu dan kalau aku nggak kerjain, aku dosa dong. Di saat aku belum berbakti ke orang tua, lantas aku mau nikah dengan alasan tidak jelas. Maksudku, alasan kalian bahwa menikah itu ibadah. Apakah ibadah hanya menikah? Kalian baikin orang tua, itu jelas sangat sangat sangat bernilai ibadah, bukan? Kalian takut zina? Yaudah tidak perlu pacaran, gampang, toh?”
“Kenapa tiap bicara nikah orang-orang selalu bahas ibadah, sementara ke orang tua saja tidak menunjukkan kasih? Hal mendasar sebagai anak saja tidak dilakukan, terus sok-sok mau nikah dengan dalih ibadah? Aku nggak mau dan nggak bisa.”
Aku menarik napas panjang lagi. Mata mereka mulai berkaca-kaca. Mungkin mereka mulai menyadari kata-kata tajam mereka membahas pernikahan sudah mulai membuatku kesal.
“Nikah memang ibadah, tetapi menikah bukan satu-satunya ibadah. Aku bukan mau berkarir terlebih dahulu. Bukan. Aku ingin ibu dan ayah melihat aku mandiri dulu secara finansial, bahagiakan mereka dengan baktiku pada mereka. Itu yang membuat mereka bahagia, bukan? Aku tidak meminta untuk sukses dulu baru menikah. Bukan. Tetapi, aku ingin lebih lama dulu merawat ibu dan ayah seratus persen, sebelum surgaku berpindah pada suami. Hanya itu.”
“Tapi, Khay. Setelah menikah kamu tetap bisa berbakti pada orang tua.” Sela Selma.
Aku mengangguk setuju. “Betul, tapi tidak sempurna lagi sebab surgaku sudah berpindah kepada suami.”
Ketiga temanku terdiam. Mereka hanya menundukkan kepala. Setelah itu, mereka tidak membahas soal pernikahan lagi.
Aku pulang ke rumah dengan hati lega. Setidaknya mereka sudah paham maksudku sehingga tidak perlu menyercaku lagi dengan pertanyaan pernikahan itu. Bukankah itu hal pribadi yang sebenarnya tidak perlu jadi konsumsi publik, bahkan pertemanan? Setiap orang punya alasan, bukan?
Aku menyesap kembali teh hangatku yang mulai dingin. Gerimis masih setia turun. Aku masih menatap ke luar jendela. Melihat mawar-mawarku bergoyang terkena tetesan air dari langit.
“Tuhan, semoga Ayah di sana bahagia melihatku. Berikan tempat terbaik-Mu di sana.”
Padang, Di Penghujung Desember
Discussion about this post