Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
“Berhati-hatilah dalam berkendaraan, utamakan keselamatan, ada keluarga menunggu di rumah”.
Begitu himbuannya, melalui iklan layanan masyarakat di media cetak atau elektronik. Iklan yang sering dijumpai di jalanan, muncul di televisi dan mungkin juga di radio. Pesan ini penting karena kecelakaan tidak mengenal siapa saja dan dapat terjadi kapan saja. Utamakan keselamatan.
Begitu juga dengan perilaku berkendaraan. Kita harus tertib. Patuhi segala aturan berlalu lintas, mulai dari perlengkapan pengemudi dan kendaraan hingga perilaku berkendaraan. Semuanya harus dipatuhi demi kenyamaan dan keselamatan berlalu lintas.
Kendaraan yang digunakan tentu harus sesuai dengan standar dan aturan berlalu lintas, misalnya adanya kaca spion, tidak menggunakan knalpot yang tidak sesuai dengan standar, hingga surat-surat kendaraan juga lengkap. Paling tidak, kendaraan yang digunakan sesuai dengan tujuan rute perjalanan. Mana tau ada kendaraan yang gunanya untuk pergi ke kebun.
Bagi saya hal “menggemaskan” justru pada cara berkendara. Dalam sebuah obrolan, seorang teman berkelakar bahwa ia selalu deg-deg kan kalau beriringan dengan pengendara yang lampu seinnya selalu hidup. Bahkan, sampai ia berhenti di tempat tujuan. Hal itu memancing tawa kami karena bukan hanya ia seorang yang mengalami itu.
Persoalan berkendara selalu menghadirkan hal unik dan filosofis untuk dibicarakan. Tindakan tidak berbelok sesuai sein yang diarahkan atau lupa menghidupkan lampu sein tentu akan berdampak buruk. Tidak hanya kepada pengemudinya, tapi juga pengendara lain yang berada di depan atau belakangnya.
Tidak sedikit pula pemberitaan kecelakaan akibat lampu sein ini. Lampu sein bukan perkara sepele. Ini menandakan arah ke mana si pengemudi hendak berbelok. Jika lampu sein yang dinyalakan sebelah kanan, pengemudi harus berbelok ke kanan, tidak ke kiri atau malah lurus. Begitu seharusnya.
Begitu pun saat pengemudi lupa menghidupkan lampu sein ketika hendak berbelok, hal ini juga berpotensi menimbulkan kecelakaan. Sama-sama berbahaya. Namun, yang cukup sering dijumpai di jalanan ialah arah belokan yang tidak sesuai dengan sisi lampu sein yang dihidupkan, misalnya sein kiri, tetapi malah belok ke kanan. Dengan banyaknya kasus serupa ini, orang-orang pun mungkin mempertanyakan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang ia miliki.
Mengapa bisa terjadi sein kiri, tetapi malah belok kanan? Apakah ini murni keteledoran si pengendara atau kesalahpahaman dalam memahami kegunaan lampu sein? Misalnya, selama ini ia justru memahami bahwa lampu sein berguna untuk mempersilakan pengendara mendahauluinya dari sisi kiri, sebab ia akan berbelok ke kanan. Loh, bisa saja bukan? Bila memang seperti itu, si pengendara perlu mendapat edukasi lalu lintas dan mengedukasi dirinya sendiri. Sebab, pemahaman serupa itu (bila memang ada) sangat membahayakan pengendara lain, bahkan diri sendiri.
Kembali teringat kelakar obrolan teman sebelumnya, kalau sein kiri, belok kanan itu filosofis. Sebenarnya, itu sebuah kebiasaan, begitu katanya. Kebiasaan kita sering menyampaikan hal berbeda dengan yang sebenarnya dan itu berdampak buruk bagi orang lain. Paling tidak saya memahaminya sebagai sikap berbohong. Sebuah sikap yang tidak terpuji dan berpotensi besar untuk dilakukan oleh siapa saja dan mungkin juga oleh saya.