Dalam Petatah, Dalam Petitih
Kaurasakan sepi lagi sunyi
Bertahan dalam rasa itu saja
Di antara lorong insan gerak terpaku
Getar-getar perasa terkenang
Lantas musnah ditelan gerak awan hitam
Hidup terus berkelebat
Sementara air menetes ke lantai bumi
Dari rimba suara-suara meraung
Suara-suara terseok seakan menghujam jantung
Di ruang tak bersudut tak bertepi
Angin bergerak lirih
Mengapit pesan sang Dewantara yang mulai pudar
Menarik garis merah di kaki langit
Tangisan terus meraung
Membekukan aurora senja
Kini
Dengan pergantian waktu
Kuda zanggi pembalik bumi mulai buta
Benih yang dulu bersemedi di sawah berteruka
Berbatasan jajaran besi dan bulu sutra
Tak kunjung juga hinggap
Gunungan ambisi terbenam
Hanya gema yang memantul di dinding
Bebatuan aswat bisu
Darah mengaliri sungai sekian abad
Kelam oleh keringat kemarahan
Hingga saat ini bumi masih tetap kelabu dipandang
Raga memang seteguh samudra
Sekuat ombak, terus menghempas tepian
Tapi jiwa terus dikikis oleh sembilu
Bumi terus diselimuti abu pekat
Akhirnya kulihat juga
Aksara terbenam dalam zaman tua
Ikatan lepas dari angan
Air memantulkan cermin gelisah
Ingatkan Aku Pada Kota yang Telah Memudar
Masih ingatkah!
Tatkala engkau mau tumbang.
Aku bersedia menjadi tempat bersandar bagimu.
Dengan tegar aku menopangmu.
Kusambut dan kujamu engkau dengan penuh gembira.
Kuberikan semua yang kau butuhkan hingga nyawa dan airmata.
72 tahun sudah berlalu,
Sebuah peristiwa besar menerjang sukmaku.
Tatkala sekelompok manusia bengis yang sedang murka mencarimu
Merongrong di depanku.
Ketika itu putra putriku dengan gagah menghadang musuhmu.
Bersenjatakan semangat dan Berpelurukan tekad,
tak membuat gentar rasa jihad yang berkobar.
Kubiarkan tubuhku terkoyak oleh musuh, agar mereka tak menyentuhmu.
Apapun yang terjadi aku akan selalu ada di sampingmu.
Selama kita masih berada di bumi yang satu, buminya Allah yang maha kuasa.
Selama kita masih berada di negeri yang satu, negeriku Indonesia.
Kita dendang kan irama perjuangan.
Kita alunkan irama keganasan.
Sehingga musuhmu pergi tertunduk malu,
dengan meninggalkan bekas bekas luka yang tak kan pernah pudar dimakan waktu.
Tak berselang lama, engkaupun pergi meninggalkan aku,
dengan tidak menghiraukan luka itu.
Ingatlah aku lagi,
Tebuslah darah dan air mata mereka yang telah tumpah.
Dengan menyisipkan butiran doa
Untukku dan para pejuang mu
Jangan biarkan kota persinggahan mu ini lagi dan berdebu.
Koto tinggi
Walaupun kotaku tak seindah bayangmu,
Walaupun kotaku tak semegah tempatmu kini.
Namun tinta emas sejarah telah terlanjur terukir di prasasti itu,
Yang membuat kotaku menjadi berharga di mata ibu Pertiwi.
Bukit Tui 1987
Ada senja dengan bulan yang memisahkan diri
Gema takbir
Bergulung-gulung
Dalam mendung
Gelap membentang di sepanjang langit
Suram bergumpal gumpal
Kilat dan petir kian kemari menyambar merobek langit
Kedamaian berganti gelisah mencekam
Kota dalam kalut, kota dalam meradang
Serambi Mekah dirundung duka nestapa
Ada kepedihan tersematkan pada dadaku
Saat televisi menyajikan ketakutan
Saat surat kabar menghilangkan kesakitan
Tentang lumpur kejar berkejaran menuju sawah berteruka
Memusnahkan benih-benih padi yang sedang tumbuh
Tanah telah mengungkap sebuah rahasia
Tentang tubuh bumi tubuh orang orang
Yang hilang
Yang terkubur
di rusuk bumi
Tanah telah mengungkapkan sebuah rahasia
Tentang kemarahan dan jiwa yang diluluhlantakkan
Ada tangis anak yang tidak tahu apa apa
Ada senja dengan bulan memisahkan diri
Senja di mana kami bergantungan di seprai usang
Kami meratap tentang Amak hari itu
Dengan gaun sobek uni merangkulku
Orang orang menggotong keranda memasuki lorong rumah
Amak kembali pada yang Kuasa
Tak ada yang dapat kami sebut lagi
Si kecil belum lurus menyebut nama ayah
Bancah Laweh saksi tangis kami senja itu
Tangis serambi Mekah
Ya rabbii
Murkakah Engkau atau itukah bentuk cinta Engkau?
Biodata:
Joni Saputra merupakan anak bungsu yang lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga sederhana tepatnya di Pandam Gadang Kec. Gunuang Omeh, Kab. 50 Kota dari pasangan Ramilus dan Ermawati. Saat ini, ia berusia 24 tahun dan baru saja menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dengan Prodi Pendidikan Bahasa Inggris.
Mengenang Sejarah, Menggali Hikmah
Oleh: Ragdi F. Daye
(Penulis buku kumpulan puisi Esok yang Selalu Kemarin)
Hidup terus berkelebat
Sementara air menetes ke lantai bumi
Dari rimba suara-suara meraung
Suara-suara terseok seakan menghujam jantung
Puisi memiliki dimensi refleksi ganda bagi penulis dan pembacanya. Seorang pembaca dapat terpantik imajinasinya untuk menyelami realitas yang muncul sebagai efek kreatif puisi. Meskipun tidak sama persis dengan pengalaman yang melatari tulisan penyair, pembaca dapat masuk ke alam imaji yang terbangun dari diksi dan metafora. Pada sisi lain, puisi dapat menjadi manifestasi kegelisahan batin seorang penyair atas peristiwa di dalam kehidupannya atau respons personalnya terhadap fenomena yang terjadi di sekitar dunianya. Pada proses tersebut, puisi dapat menjadi langkah memulihkan atau menyembuhkan permasalahan psikologis di dalam diri kreator.
Sarwoko (2020) mengungkapkan bahwa puisi dapat dijadikan bagian dari terapi menulis kreatif. Mengapa puisi? Karena puisi merupakan terapi untuk tubuh dan jiwa. Salah satu nilai terapeutik menulis puisi, menurut Bolton dalam bukunya “The Therapeutic Potensial of Creative Writing” (1999), membantu penulis menemukan sistem pengalamannya orang sakit dan yang mengalami tekanan batin. Lebih lanjut seorang peneliti bernama Robin Philipp menjelaskan bahwa puisi memiliki efek menenangkan dan menenteramkan. Berdasarkan penelitian terhadap 196 orang di Inggris, Philipp menemukan bahwa tiga per empat merasakan membaca puisi dapat mengurangi stres. Dua per tiga merasakan bahwa menulis puisi juga memiliki efek yang serupa dengan membaca puisi.
Menurut Tarigan (1985: 7), satu-satunya tolok ukur untuk menikmati puisi adalah ‘rasa’. “It’s sole arbitrer is taste.” Sebuah puisi dapat dipahami dengan menganalisis unsur-unsur pembentuknya yang terdiri atas externe strukturrelation (struktur eksternal) dan interne strukturrelation (struktur internal). Externe strukturrelation terdiri atas imaji, diksi, kata nyata, imajas, dan bunyi, sedangkan interne strukturrelation meliputi perasaan, tema, nada, dan amanat.
Menganalisis puisi adalah aktivitas menafsirkan pesan yang diungkapkan seorang penyair melalui puisinya. Menurut Pradopo (1988: 68), hal ini dapat dilakukan melalui kajian lapis norma dan pengalaman jiwa. Lapis norma merupakan nilai-nilai yang muncul dari wujud puisi. Lapis norma merupakan kajian yang membahas puisi dari satuan bunyi terkecil hingga penafsiran makna yang implisit. Sedangkan pengalaman jiwa terukur dari rangkaian kata.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi karya Joni Saputra. Ketiga puisi tersebut berjudul “Dalam Petatah, Dalam Petitih”, “Ingatkan Aku Pada Kota yang Telah Memudar”, dan “Bukit Tui 1987”. Puisi-puisi Joni cukup panjang dengan imaji yang menjelajah peristiwa-peristiwa masa lalu.
Puisi pertama, “Dalam Petatah, Dalam Petitih”, penyair mengungkapkan kegelisahan terhadap perubahan yang terjadi. Larik ‘Kini/ Dengan pergantian waktu/ Kuda zanggi pembalik bumi mulai buta/ Benih yang dulu bersemedi di sawah berteruka/ Berbatasan jajaran besi dan bulu sutra/ Tak kunjung juga hinggap’. Kata Zanggi yang muncul di bait ini memunculkan tanda tentang kondisi sosial ekonomi pada masa lalu. Menurut Ayu (2019), Zanggi menjadi saksi bisu perdagangan Kepulauan Nusantara dan Afrika hingga di masa kini. Orang Portugis masih menjumpai pelaut-pelaut Jawa di Madagaskar, ketika mereka sendiri tiba di tempat itu pada abad ke -16, dan pada abad ke-17 orang Belanda sedikit banyak melanjutkan lalu lintas itu dengan mengimpor budak-budak Madagaskar ke Sumatera untuk dipekerjakan dalam tambang emas Salida. Kata zanggi atau jengki, jongi, jenggi, merujuk kepada orang-orang berkulit hitam dari pantai-pantai Afrika yang dibawa ke Kepulauan Nusantara dan banyak dijual sebagai budak.
Lebih lanjut, Joni mencoba merekam dinamika kehidupan yang mengalami pasang-surut kejayaan; ‘Gunungan ambisi terbenam/ Hanya gema yang memantul di dinding/ Bebatuan aswat bisu/ Darah mengaliri sungai sekian abad/ Kelam oleh keringat kemarahan’. Sejarah mencatat negeri-negeri yang direbut dan ditaklukkan. Peradaban tumbuh dan berdiri siih berganti untuk kemudian tumbang dan digantikan penguasa baru, ‘Akhirnya kulihat juga/ Aksara terbenam dalam zaman tua/ Ikatan lepas dari angan/ Air memantulkan cermin gelisah’. Namun, perubahan-perubahan itu merupakan hal yang lumrah dan kehidupan dunia.
Puisi “Ingatkan Aku Pada Kota yang Telah Memudar” mengangkat tema tentang Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sosok ‘engkau’ dalam puisi ini representasi dari negara Indonesia: ‘Masih ingatkah!/ Tatkala engkau mau tumbang./ Aku bersedia menjadi tempat bersandar bagimu./ Dengan tegar aku menopangmu./ Kusambut dan kujamu engkau dengan penuh gembira./ Kuberikan semua yang kau butuhkan hingga nyawa dan airmata.’ Seperti yang kita ketahui, PDRI terbentuk 22 Desember 1948 di Halaban Lima Puluh Kota. Ini akibat agresi Belanda yang menawan Dwi Tunggal Soekarno Hatta. Untuk mencegah terjadinya kevakuman pimpinan negara, Syafruddin Prawiranegara selaku Menteri Perekonomian yang saat itu sedang berada di Bukittinggi mengambil inisiatif membentuk pemerintahan darurat dan terus menginformasikan kepada dunia akan eksistensi Indonesia. Setelah PDRI terbentuk, atas saran Tan Malaka, sebaiknya pemerintahan dijalankan di Koto Tinggi karena mempertimbangkan beberapa faktor, seperti strategis, memiliki benteng yang kuat serta dekat dengan Riau dan Sumatera Utara. Oleh sebab itu, sebagian pemimpin, pengungsi, dan tak ketinggalan radio berpindah menuju Koto Tinggi. Dari Koto Tinggi, banyak siaran radio mengudara menginformasikan keberadaan Indonesia. Hal tersebut membuat Belanda gerah dan melakukan penyerangan ke Koto Tinggi tanggal 10 Januari 1949 yang mengakibatkan gugurnya 9 pejuang Indonesia.
Sebagai bangsa yang mengingat jasa pahlawan yang telah berkorban demi mempertahankan kedaulatan negara, Joni melalui puisi ini menyampaikan pesan untuk selalu mengingat: ‘Ingatlah aku lagi,/ Tebuslah darah dan air mata mereka yang telah tumpah./ Dengan menyisipkan butiran doa / Untukku dan para pejuang mu/ Jangan biarkan kota persinggahan mu ini lagi dan berdebu.// Koto tinggi/ Walaupun kotaku tak seindah bayangmu,/ Walaupun kotaku tak semegah tempatmu kini./ Namun tinta emas sejarah telah terlanjur terukir di prasasti itu,/ Yang membuat kotaku menjadi berharga di mata ibu Pertiwi.’ Koto Tinggi memang kampung kecil di pedalaman namun sudah berjasa menyambung nyawa Republik Indonesia.
Puisi ketiga berisi tentang peristiwa gempa yang meluluhlantakkan Bukit Tui. Di bukit ini pernah terjadi peristiwa Galodo (tanah longsor besar) pada tahun 1987 bertepatan dengan bulan Ramadhan. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, dahulu di sepanjang kaki Bukit Tui ini banyak kedai. Pada hari itu, sebagian warga duduk-duduk seperti biasa di kedai sambil bercengkrama untuk menunggu waktu berbuka puasa namun kali ini mereka sambil ba-ampok (berjudi). Konon, datanglah seorang lelaki tua mengingatkan orang-orang tersebut agar berhenti berjudi namun tidak diacuhkan. Kemudian, terjadilah galodo yang menjatuhkan banyak korban: manusia 131 orang meninggal, 9 orang hilang, bangunan 29 buah hancur, 9 buah rusak berat, dan 6 buah rusak ringan.
Peristiwa bencana ini dipotret Joni dengan kuat melalui puisinya: ‘Ada senja dengan bulan yang memisahkan diri/ Gema takbir/ Bergulung-gulung/ Dalam mendung/ Gelap membentang di sepanjang langit/ Suram bergumpal gumpal/ Kilat dan petir kian kemari menyambar merobek langit.’ Bencana meninggalkan perkabungan yang muram, tapi menyimpan hikmah pelajaran bagi yang mau mencermati: ‘Tanah telah mengungkap sebuah rahasia/ Tentang tubuh bumi tubuh orang orang/ Yang hilang/ Yang terkubur/ di rusuk bumi/ Tanah telah mengungkapkan sebuah rahasia/ Tentang kemarahan dan jiwa yang diluluhlantakkan/ Ada tangis anak yang tidak tahu apa apa.’
Puisi yang penuh hikmah, Joni![]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post