Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“And those who were seen dancing were thought to be insane by those who could not hear the music.”
“dan mereka yang terlihat menari dianggap gila oleh mereka yang tidak bisa mendengar musiknya.”
(Friedrich Nietzsche)
Indonesia dikenal dengan negara kepulauan yang sekaligus juga menyimpan banyak jenis kebudayaan. Keberagaman kebudayaan yang ada di Indonesia selalu menarik untuk dibicarakan. Kebudayaan di Indonesia saat ini sering kali dijadikan sebagai media untuk mem-branding suatu wilayah, terutama dalam hal yang berkaitan dengan pariwisata. Dengan demikian, banyak kunjungan wisata saat ini yang tidak hanya tertarik dengan tempat wisatanya, tetapi juga budaya yang ada di daerah tersebut.
Bali menjadi salah satu destinasi wisata yang dipilih oleh banyak wisatawan nusantara ataupun mancanegara. Dilansir dari laman Badan Pusat Statistik Provinsi Bali ditemukan kunjungan pada bulan Agustus 2022 mencapai 276.659 kunjungan wisatawan. Pada dasarnya Bali memang memiliki banyak destinasi wisata, beberapa yang terkenal di antaranya adalah Pura Uluwatu, Bedegul, Ubud, Jimbaran, Pantai Sanur, Pantai Kuta, dan sebagainya. Tidak hanya destinasi wisata yang berkaitan dengan alam atau budaya, tetapi juga ada pasar seni yang menjajakan oleh-oleh masyarakat Bali, di antaranya ada Pasar Seni Kuta, Kumbasari, Sukawati, dan sebagainya.
Selain itu, banyak juga wisatawan yang juga tertarik dengan sastra lisan yang dimiliki oleh masyarakat Bali, salah satunya adalah Tari Kecak. Tari Kecak yang dimiliki oleh masyarakat Bali juga ditampilkan pada beberapa tempat, di antaranya di Pura Uluwatu, Garuda Wisnu Kencana Cultural Park, Pura Tanah Lot, dan sebagainya. Dilansir dari kompas.com bahwa Tari Kecak yang ditampilkan di Pura Uluwatu juga menjadi pilihan, ada minimal 1.250 tiket terjual perharinya. Penampilan Tari Kecak juga ditampilkan dua kali dalam sehari, penampilan sesi pertama pada pukul 18:00 dan sesi kedua pada pukul 19:00 WIT. Hal ini membuktikan bahwa antusiasme wisatawan terhadap pertunjukan tarian yang merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Bali juga menjadi sesuatu yang menarik untuk diketahui.
Tari Kecak adalah koor laki-laki tari Sanghyang yang dipentaskan pada saat-saat tertentu untuk mengusir wabah penyakit atau menolak bala. Tari ini merupakan tarian sakral yang tidak bisa dipentaskan sesuka hati karena unsur magis dan kesakralannya akan hilang bilang terus menerus dipentaskan. Sanghyang merupakan sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu Dharma masyarakat Bali. Sanghyang disebut juga dengan Sang Hyang Tunggal atau Acintya dalam bahasa Sanskerta yang berarti dia yang terpikirkan, dia yang tak dapat dipahami, atau dia yang tak dapat dibayangkan. Pada tari Sanghayang seorang yang sedang kemasukan roh akan berkomunikasi dengan para dewa atau leluhur yang sudah disucikan. Kemudian, para penari akan dijadikan sebagai media penghubung para dewa dan leluhur untuk menyampaikan sabdanya. Kesakralan inilah yang menyebabkan terjadi rekontruksi tarian Sanghyang menjadi Tari Kecak. Tentu saja hal ini dengan maksud agar tarian ini dapat disaksikan oleh banyak orang. Pada awalnya, rekontruksi tari ini diprakarsai oleh seorang seniman Bali yang bernama Wayan Limbak dan seorang pelukis asal Jerman yang bernama Walter Spies. Pada saat rekontruksi inilah, dimasukan epos Ramayana dalam rangkaian penampilan Tari Kecak.
Tari Kecak ini diperagakan oleh sekelompok laki-laki yang berjumlah sekitar tujuh puluh orang duduk melingkar dengan menyebutkan kata “cak-cak-cak” dengan mengangkat kedua tangannya dan mereka juga berasal dari berbagai usia. Pertunjukan Tari Kecak di Pura Uluwatu pada Sabtu, 1 Oktober 2022 ada beberapa kelompok penampil Tari Kecak, yaitu anak laki-laki sekiar usia 10-15 tahun, kelompok kedua, yaitu laki yang berusia 16-25 tahun dan terakhir ada kelompok laki-laki yang sudah berusia matang. Dari pengelompokan tersebut, dapat terlihat bahwa regenerasi Tari Kecak ini sudah dilakukan semanjak dini.
Pakaian para penari yang duduk melingkar tersebut bertelanjang dada dan mengenakan kain kotak-kota berbentuk papan catur yang melingkar sampai bagian atas lutut dan menggunakan celana hitam di bawah lutut di depannya. Sebelum penari melakukan atraksi juga ada properti tempat hidupnya api selama pertunjukan berlangsung yang diletakkan pada bagian tengah para penari Kecak. Tidak hanya para penari, tetapi juga ada beberapa tokoh yang akan menyampaikan epos dengan gerakan. Beberapa tokoh di antaranya adalah Rama, Sita, Kijang Emas, Rahwana, Bhagawan, Garuda, Twalen, Truna Laksmana, Hanoman, dan Trijata.
Pada penampilan Tari Kecak di Uluwatu Sabtu, 1 Oktober 2022 penampilan ini dibagi menjadi lima episode adegan. Episode pada adegan pertama diceritakan oleh Rama, Sita, dan Kijang Emas. Episode ini menceritakan tentang permintaan Sita kepada Rama untuk menangkap kijang emas. Rama yang menuruti permintaan Sita pergi menangkap Kijang Emas dan meninggalkan Sita dengan Laksamana. Pada akhirnya, terdengar jeritan dari Rama dan Sita menyuruh Laksamana untuk mengejar Rama.
Episode kedua ditampilkan oleh Sita, Rahwana, Bhagawan, dan Garuda. Pada episode ini menceritakan tentang Rahwana yang menculik Sita dengan berubah wujud menjadi Bhagawan (orang tua) yang kehausan. Kemudian, Garuda datang untuk menolong Sita, tetapi gagal karena sayapnya putus ditebas oleh Rahwana. Dengan demikian, Sita akhirnya dibawa kabur oleh Rahwana ke Alengka Pura. Episode ketiga diperankan oleh tokoh Twalen, Rama, Truna Laksmana, dan Hanoman. Episode tiga ini menceritakan tentang Rama ditemani oleh abdinya Truna Laksmana yang sedang tersesat di Hutan Ayodya Pura dan memikirkan istrinya yang diculik oleh Rahwana. Ia meminta bantuan Hanoman untuk membawakan cincinnya ke Alengka Pura untuk diberikan pada Sita.
Selanjutnya, episode kelima diperankan oleh Sita, Trijata, dan Hanoman. Episode ini menceritakan tentang Trijata keponakan dari Rahwana menemani Sita meratapi nasibnya di Taman Alengka Pura. Kemudian, Hanoman muncul dengan menyampaikan bahwa ia adalah utusan Sang Rama yang ditugaskan untuk memberikan cincin pada Sita. Lalu, Sita menyerahkan bunga kepada Hanoman agar diserahkan kepada Rama dengan pesan agar Rama segera menyelamatkannya. Kemudian, Hanoman mengacak-acak Alengka Pura sehingga ia ditangkap oleh raksasa, diikat, dan dibakar, tetapi karena kesaktiannya Hanoman mampu membebaskan diri. Selanjutnya, adegan pada episode terakhir diperankan oleh Hanoman, Rahwana, Rama, Laksamana, Sita, dan Trijata. Episode ini menceritakan tentang Rama, Laksamana, dan Hanoman menentang Raja Rahwana untuk berperang dengan kesaktian. Namun, Rama dapat mengalahkan Raja Rahwana dan akhirnya dapat bersatu kembali dengan istrinya.
Pada rangkaian adegan di atas, juga terjadi rekonstruksi penampilan Tari Kecak, yaitu pada saat Hanoman keluar. Ia melakukan interaksi dengan penonton, seperti bercanda dengan mengambil topi penonton, mencari kutu di rambut penonton, atau foto bersama dengan penonton. Di sini, memang sudah terjadi pergeseraan yang dari awalnya bersifat sakral, tetapi ketika sudah ditampilkan menjadi sebuah entertain yang sudah menghibur penonton. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Erawati dalam Jurnal Kalangwan pada tahun 2019 yang menjelaskan bahwa seni wisata Tari Kecak memang diciptakan untuk memenuhi selera wisata sebagi arena untuk memperjual belikan kesenian.
Tari Kecak yang awalnya merupakan bagian dari Tari Sanghyang yang dianggap sakral direkontruksi menjadi tarian yang bersifat ekonomis. Terjadi perubahan esensi pada perkembangan kebudayaan yang dijadikan sebagai media untuk mengangkat sebuah tempat wisata. Menurut penelitian Erawati (2019:2), perubahan sosial yang terjadi di Bali juga dipengaruhi oleh perkembangan pariwisata yang memang sengaja dirancang untuk menjadikan Bali sebagai daerah pariwisata dengan penekanan pada pariwisata budaya. Dengan demikian, seni budayanya diarahkan kepada kebutuhan wisatawan. Hal tersebut juga yang dilakukan pada rekonstruksi penampilan Tari Kecak yang pada awalnya berada pada ranah tradisional yang kemudian bergerak ke ranah komersil. Namun, hal ini tentu saja tetap memiliki nilai positif, salah satunya adalah keberlangsungan kebudayaan terjaga dari gerusan perkembangan zaman.
Discussion about this post