Prasangka
Cerpen: Reno Danarti
Dinginnya angin di pagi hari memeluk erat tubuh-tubuh kami yang malas. Meski teriakan ustad Ridho pengasuh asrama kami sudah beberapa kali terdengar, hal itu seolah menjadi lagu yang beralun meninabobokkan kami semua, tak seorang pun beranjak. Begitu juga denganku, meski kudengar jelas teriakan ustad Ridho memanggil namaku, “ Arfan…!” begitu lantang terdengar, namun entah mengapa mata ini rasanya sulit sekali untuk dibuka, masih ingin terpejam. Aku adalah siswa asrama tingkat akhir, di sebuah sekolah islam swasta yang terletak di pinggiran kota.
“Allahuakbar… Allahuakbar…” Akhirnya merdunya lantunan azan subuh yang membangunkan kami semua. Tak ada kompromi, semalas-malasnya kami panggilan sholat tidak kami abaikan. Semua siswa beranjak bangun dan memulai aktivitas hari ini seperti hari-hari biasanya. Namun ada satu hal yang cukup mencemaskan hari ini, setidaknya bagiku sebagai siswa yang biasa saja dalam bidang akademik. Hari ini ada ulangan harian matematika. Mata pelajaran paling sulit bagi seluruh siswa di dunia, setidaknya buatku. Dengan guru yang paling killer di sekolah kami, ustad Gama. Selain itu, sore harinya tim basket sekolah kami akan bertanding.
***
Bel tanda sekolah dimulai telah berbunyi, ratusan siswa berhamburan meninggalkan asrama menuju ruang kelas masing-masing. Siswa di sekolah kami memang banyak, terdiri dari tingkat SMP dan SMA dengan jumlah delapan kelas pertingkat, dan satu kelasnya terdiri dari 32 siswa. Tinggallah kami (aku dan beberapa teman sekelasku) bermalas-malasan sengaja mengulur waktu karena tidak bersemangat menyambut ulangan harian matematika bersama Ustad Gama pada jam pertama pagi ini.
“Antum semua…. Segera berangkat ke sekolah…” teriakan Ustad Ridho kembali menggema dari dalam asrama, meneriaki kami yang sengaja berlama-lama memasang tali sepatu di teras asrama
“Iya iya Ustad” ucap temanku, Irga menyahut dengan dongkol
“Ustad hitung sampai tiga atau ustad telpon kesiswaan…. satu… “ begitulah ancaman andalan Ustad Ridho saat kami malas berangkat ke sekolah. Bagaimanapun, kami enggan berurusan dengan kesiswaan apalagi sampai menyebabkan orang tua kami harus datang ke sekolah dan menanggung malu karena kenakalan yang kami perbuat.
“Dua…” lanjut ustad Ridho. Dan kami sudah berlari lintang-pukang ke area sekolah menuju ruang kelas.
Ustad Gama telah berada di kelas. Ustad kami yang satu ini memang selalu tepat waktu, bahkan seringkali masuk kelas sebelum bel berbunyi. Beliau menoleh ke arah pintu, di mana kami berada dengan tatapan yang dingin. “Dag…dig…dug…” jantungku berdegup kencang, entah karena berlari atau karena takut tak kuasa melihat tatapan dingin Ustad Gama. Kurasa teman-temanku juga merasakan hal yang sama.
“Masuk” hanya satu kata itu yang terucap dari Ustad Gama.
Beberapa menit kemudian, aku telah duduk dengan tegang di kursi kesayanganku dengan deretan soal ulangan harian matematika berada dihadapanku. Aku gugup, tak satupun rasanya aku mengenali dengan pasti bagaimana cara menjawab soal-soal ini.
Tiga puluh menit berlalu, dan aku masih belum menuliskan jawaban apapun pada kertas ulangan harian matematikaku. Keringat dingin mengucur deras di pelipis. Ingin rasanya aku berbohong saja, pura-pura sakit agar terbebas dari angka-angka yang rumit ini. Namun itu lagu lama, sudah terlalu sering aku melakukan itu sebelumnya. Terlintas pula dibenakku untuk mencontek saja. “Ah, kalau aku bisa bermain cantik, Ustad Gama tak akan tahu kan?” begitu bisikku dalam hati.
Aku mulai mengatur siasat. Tanganku mulai meraba-raba buku latihan yang ada di laci. Sedikit ditarik lalu buka perlahan maka aku akan dapat melihat cara menjawab soal-soal ini sesuai latihan yang pernah ustad ajarkan, pikirku.
“Arfan, apa yang kamu lakukan?!” tiba-tiba sisi lain dalam hatiku berteriak,
“Kamu sudah bodoh, jangan kau hinakan lagi dirimu dengan mencontek” jerit hatiku yang paling dalam dengan teganya.
Aku tidak boleh melakukan ini, maka aku urung mencontek. Dengan hati berkecamuk aku berusaha menyelesaikan soal didepanku. Aku yakin pasti tidak tuntas lagi untuk ulangan harian matematika kali ini, seperti sebelum-sebelumnya.
“Sudah selesai, Arfan?” tiba-tiba ustad Gama telah berdiri disampingku.
“Be..belum ustad, eh sudah ustad,” jawabku dengan gugup.
“Waktu ulangan berakhir, silahkan meninggalkan kelas dan tinggalkan lembar ulangan antum di meja masing-masing,” ucap Ustad Gama dengan lantang sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kelas.
Beriringan dengan siswa lainnya, aku berjalan keluar kelas dengan gontai menuju kursi taman yang bersebelahan dengan kantin untuk menghabiskan waktu istirahat.
“Hai Fan, lemes banget ?” Irga, temanku menepuk pundakku dari belakang.
“Iya nih, gak dapat menjawab ulangan tadi,” ucapku.
“Ah bukannya sudah biasa ya? Ha..ha..ha”ucap Fathur menyahut, disambut dengan tawa teman-teman yang lainnya , aku hanya tersenyum.
“Eh, tapi jangan gitu dong Fan. Harus semangat, nanti sore kan antum tanding basket. Meskipun tidak bisa menjawab soal matematika Ustad Gama, tunjukkanlah kalau antum bisa dibanggakan dalam bidang olahraga” Irga berusaha menyemangatiku. Aku memang tergabung dalam tim basket sekolah, dan sore ini kami akan bertanding dalam babak semifinal pada pertandingan yang cukup bergengsi di kota ini. Betul juga kata Irga, meski aku lemah dalam bidang akademik terutama matematika. Namun aku harus menunjukkan bahwa aku mampu berprestasi melalui bidang olahraga yang sedang kutekuni saat ini yaitu basket.
“Ah percuma… Ustad Gama mana peduli dengan pertandingan basket dan semacamnya… beliau hanya akan excited kalau ada siswa yang menang olimpiade mata pelajaran apalagi matematika,” tiba-tiba Fathur nyeletuk lagi, dan celetukannya itu mampu menghempaskan rasa percaya diriku yang sempat melambung beberapa detik sebelumya karena motivasi dari Irga.
“Ehem-ehem,” tiba-tiba Ustad Gama berlalu di hadapan kami hendak menuju ke kantor guru setelah mengemasi kertas ulangan harian kami tadi. Aku hanya berharap beliau tidak mendengar percakapan kami barusan.
***
Sore pun tiba. Saat ini aku telah berada di tengah hingar-bingar pertandingan basket antar sekolah, sudah memasuki babak terakhir dengan poin kami tertinggal beberapa angka dari tim lawan. Aku lelah, namun semangat masih berkobar di setiap desiran darahku. “Kami harus bisa mengejar ketertinggalan poin, kami harus menang agar dapat melaju ke babak final,” pekikku dalam hati.
Riuh sorak sorai penonton terdengar membahana menyemangati tim sekolah masing-masing. Sambil berlari sekilas kulirik teman-temanku dan beberapa guru berada di barisan paling depan memberikan sorakan semangat. Tetapi ada sesuatu yang memaksaku harus melihat lebih lama ke barisan penonton itu…
“Prit…prit…priiit” wasit meniup panjang peluitnya pertanda pertandingan berakhir. Dan kami harus terima dengan kenyataan bahwa kami kalah dan tidak dapat melaju ke babak final. Selesai sudah perjalanan kami pada pertandingan musim ini. Perjuangan kami harus selesai di sini. Tenaga dan emosi kami benar-benar terkuras habis. Satu-dua temanku bahkan tak dapat menahan tangisnya. Dengan langkah gontai kami berjalan meninggalkan arena pertandingan menuju ruang ganti. Di sinilah kami meluapkan seluruh perasaan dan emosi. Satu sama lain saling menguatkan dan menyemangati. Beberapa teman dari tim supporter juga telah hadir di sini untuk menguatkan kami. Tetapi, tunggu… apa aku tidak salah lihat? Seseorang yang kini tertangkap oleh netraku. Tak mungkin rasanya beliau berada di sini. Ustad Gama, ya.. ada perlu apa ustad di sini? Apakah juga memberikan semangat kepada kami? Apakah beliau peduli dengan pertandingan basket ini?
Tampak Ustad Gama menyalami pelatih, lalu berjalan ke arah kami. Aku menunduk dalam-dalam agar beliau tak melihatku. Entahlah antara takut dan malu aku tidak tahu. Sudah banyak prasangka buruk yang aku pupuk dalam hati tentang beliau. Apalagi setelah kejadian pagi tadi di sekolah, menambah deretan daftar dosaku pada Ustad Gama.
“Arfan…,” seseorang menepuk pundakku. Aku mendengus.
“Dengarkan Ustad, angkat wajahmu,” perintah suara berat itu, suara yang aku kenali. Ustad Gama.
Perlahan kuangkat wajahku, dengan wajah sembab dan mata masih basah kuberanikan diri menatap sosoknya.
“I..iya ustad?”
“Syukron ya… Arfan dan teman-teman telah berjuang sebaik mungkin. Ustad bangga,” ucapnya dengan senyum tulusnya meski terlihat kaku.
Tak sanggup lagi aku berkata-kata. Aku hanya bisa tertunduk dalam dan menekur, semakin tenggelam dalam tangisan entah karena kekalahan kami atau karena rasa bersalahku pada seseorang yang kini mengusap punggungku, Ustad Gama.
****
Sore hingga malam itu kulalui dengan kekalutan. Semalaman aku berfikir bagaimana caranya untuk berbicara membuat pengakuan dan meminta maaf pada Ustad Gama. Ternyata beliau tidak seperti sangkaanku (dan sebagian besar teman-temanku) selama ini. Beliau tidak pilih kasih, tidak hanya membangga-banggakan anak olimpiade matematika saja. Beliau peduli pada kami semua, beliau menyayangi kami. Mungkinkah seorang guru membeda-bedakan siswanya? Hal itu tidak terjadi pada kami. Aku baru menyadari dan mata hatiku terbuka, semua guru kami sangat menyayangi kami. Mereka mencurahkan kasih sayang dengan caranya yang berbeda. Dan masing-masing memiliki peran besar dalam pembentukan karakter kami. Kubulatkan tekad, esok hari aku akan menemui Ustad Gama dan berbicara dengan beliau. Karena kelelahan akhirnya aku terlelap.
Dinginnya angin di pagi hari memeluk erat tubuh-tubuh kami yang malas. Meski teriakan Ustad Ridho pengasuh asrama kami sudah beberapa kali terdengar, hal itu seolah menjadi lagu yang beralun meninabobokkan kami semua, tak seorang pun beranjak. Begitu juga denganku, meski kudengar jelas teriakan ustad Ridho memanggil namaku, “Arfan…!” begitu lantang terdengar, namun entah mengapa mata ini rasanya sulit sekali untuk dibuka, masih ingin terpejam.
“Allahuakbar… Allahuakbar…” Akhirnya merdunya lantunan azan subuh yang membangunkan kami semua. Tak ada kompromi, semalas-malasnya kami panggilan sholat tidak kami abaikan. Semua siswa beranjak bangun dan memulai aktivitas hari ini seperti hari-hari biasanya. Namun ada hal tak biasa yang hari ini akan aku lewati, mengakui sebuah kesalahan dan memperbaikinya. Bismillah… (*)
Biodata Penulis:
Reno Danarti merupakan guru di Perguruan Islam Ar Risalah. Sebagai guru yang bertanggung jawab di laboratorium, sehari-hari kesibukannya adalah membimbing praktikum Sains siswa-siswi Perguruan Islam Ar Risalah. Penulis merupakan alumni dari Departmen Kimia Universitas Andalas angkatan 2011 dan telah menamatkan studi pada tahun 2015. Meskipun memiliki kesibukan di bidang sains, penulis berminat untuk terus belajar dan berkarya dalam dunia kepenulisan. Beberapa tulisannya telah terbit baik di media cetak maupun elektronik. Penulis dapat dihubungi melalui akun instagram @danartireno.
Karya Sastra Sebagai Media Pembentukan Karakter Generasi Muda
(Analisis Cerpen “Prasangka” karya Reno Danarti)
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta dan
Dewan Penasehat Pengurus (DPP) FLP Wilayah Sumatera Barat.
Karya sastra merupakan salah satu media yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai pada generasi muda. Dalam sejarah kehidupan umat manusia, cerita sudah dijadikan media untuk membentuk karakter anak. Walau peradaban bangsa Indonesia belum setua peradaban bangsa-bangsa besar seperti Mesir, Cina, atau Eropa. Akan tetapi, jejak-jejak pemanfaatan sastra lisan sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai baik di tengah-tengah masyarakat sudah ada.
Pada masyarakat Minangkabau, sastra lisan sebagai media untuk menanamkan karakter-karakter baik kepada generasi muda sudah dilakukan melalui kaba. Minangkabau merupakan salah satu kebudayaan yang menghasilkan banyak sastra lisan. Secara umum karya sastra yang dihasilkan oleh kebudayaan Minangkabau terdiri dari puisi, prosa, dan drama. Kalau dipaparkan lebih detail lagi puisi terdiri dari mantera, pepatah-petitih, pantun, talibun, dan syair. Sementara itu, prosa terdiri dari curito yang terbagi pula pada hikayaik, kaba, baik kaba lama maupun kaba baru, dan tambo.
Semua sastra lisan itu masih hidup dan terpelihara di tengah-tengah masyarakat Minangkabau walau harus berhadapan dengan sastra atau kesenian modern. Di antara kaba itu adalah Kaba Si Reno Gadih, karangan Syamsudin Sutan Radjo Endah, yang diterbitkan oleh Pustakan Indah Bukittinggi. Cerita ini merupakan suatu cerita yang diangkat dari kejadian yang terjadi pada tahun 1908. Kaba Si Reno Gadih merupakan sastra lisan yang sudah beralih bentuk menjadi sastra tulis.
Terlepas dari sebuah cerita terinspirasi dari kisah nyata atau khayalan pengarangnya, yang pasti cerita bisa menjadi jembatan untuk menyampaikan nilai-nilai moral kepada generasi penerus sebuah generasi. Ketut Yarsama (2022) dalam makalahnya yang berjudul “Efektivitas Pembelajaran Sastra sebagai Media Pembentukan Karakter Anak” yang disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Denpasar, Bali, baru-baru ini menyampaikan bahwa eksistensi sastra dalam kehidupan manusia memiliki peranan yang sangat penting. Dalam dunia pendidikan, sastra dapat dinyatakan sebagai seni untuk menyampaikan pesan moral atau ajaran. Secara fundamental, sastra harus mampu mengungkapkan atau mengandung tiga aspek, yaitu: docere (memberikan sesuatu kepada pembaca) delectare (memberikan kenikmatan melalui unsur estetika), dan movere (mampu menggerakkan kreativitas pembaca).
Lebih jauh Yarsama menyampaikan bahwa hubungan antara sastra dan pendidikan khususnya dalam pembentukan karakter anak dapat dilihat dari permasalahan yang ada dalam masyarakat yakni adanya kemerosotan moralitas anak bangsa. Nilai dan norma sosial tidak lagi dipakai pedoman atau panduan serta guru dan orangtua tidak lagi dijadikan sebagai teladan. Kejahatan terjadi dimana-mana ,perampokan kelas kakap (pencurian dan pembunuhan yang dilakukan oleh penjahat). Begitu juga generasi muda yang terlibat pergaulan bebas, pecandu narkoba, pesta miras, tawuran, kebut-kebutan di jalan, dan sebagainya.
Kreatika minggu ini menayangkan sebuah cerpen berjudul “Prasangka”. Cerpen ini ditulis oleh Reno Danarti seorang guru di sebuah sekolah berasrama di Kota Padang. Cerpen ini mengisahkan kehidupan seorang remaja bernama Arfan. Tokoh ini merupakan seorang santri di sebuah pesantren atau seorang pelajar di sekolah berasrama (boarding school). Arfan adalah tipikal pelajar pemalas yang tidak memiliki motivasi belajar yang tinggi. Jangankan untuk belajar, bangun pagi untuk salat subuh saja yang merupakan rutinitas anak-anak di asrama bagi Arfan merupakan hal yang sangat berat. Selain pemalas, tokoh Arfan juga diceritakan sebagai tokoh yang memiliki sifat iri pada teman-temannya yang berprestasi. Sifat buruk itu kemudian berkembang menjadi sifat-sifat buruk yang lain seperti suka berprasangka buruk pada orang lain bahkan gurunya sendiri.
Sebagai seorang guru, sangat jelas bahwa cerpen yang ditulis oleh Reno Danarti ini sarat dengan nilai-nilai moral. Melalui tokoh Arfan, Reno menceritakan bagaimana seorang tokoh yang memiliki sifat buruk diceritakan bisa berubah menyadari kesalahannya melalui cerita ini. Walau sangat klise dan memiliki formula yang standar sebagai kisah yang terlalu dibebani oleh pesan-pesan moral, namun cerita ini cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan moral sebagai media untuk menanamkan karakter baik pada generasi muda.
Melalui cerita ini dikisahkan kehidupan sehari-hari Arfan dan santri-santri lain di asrama. Sebelum waktu subuh, tentu saja pengasuh asrama sudah membangunkan santri. Bagi Arfan dibangunkan diwaktu subuh merupakan hal yang sangat menyiksa sekali. Penulis menghadirkan tokoh Ustad Gama sebagai guru dan juga pengasuh santri. Ustad Gama dianggap guru yang tidak adil kepada santri-santrinya, karena menurut Arfan, Ustad Gama hanya menyukai santri-santri pintar yang juara berbagai lomba olimpiade.
Penulis cukup pintar dalam mengangkat tema ini, karena memang penulis mengisahkan realitas yang dihadapinya sehari-hari, ia sangat paham bahwa kesenjangan antara siswa pintar dan siswa yang tidak pintar pasti terjadi. Di sebuah sekolah siswa-siswa yang pintar matematika, atau pelajaran lain tentu dianggap anak kesayangan guru. Sementara anak-anak yang tidak pintar dianggap tidak disayangi guru walaupun mereka punya prestasi lain.
Cerita ini menceritakan Arfan dan teman-temannya yang hobi main basket. Pada suatu hari, mereka akan mengikuti lomba basket antar sekolah. Dalam pembicaraan dengan teman-temannya, Arfan sudah menyebarkan gosip bahwa Ustad Gama pasti tidak mendukung mereka. Bahkan saat lomba sekalipun Ustad Gama pasti lebih peduli pada anak-anak yang sedang latihan persiapan olimpiade matematika. Sikap iri Arfan itu seolah ditularkan pada teman-temannya yang lain, diiringi oleh prasangka bahwa Ustad Gama tidak akan mendukung mereka.
Pada hari lomba basket itu dilaksanakan, Arfan dan kawan-kawannya memiliki motivasi yang kuat untuk menang agar mendapat perhatian dari Ustad Gama dan juga guru-guru lain di sekolah. Namun takdir berkata lain, Arfan dan teman-temannya kalah dalam pertandingan basket tersebut. Kekecewaan Arfan karena kalah itu membuat dia sangat sedih. Hal yang tidak diduga Arfan di saat mereka sangat sedih itu adalah kehadiran Ustad Gama. Ternyata orang yang mereka sangka tidak memperhatikan mereka itu hadir di bangku penonton menyaksikan pertandingan mereka. Bahkan pada saat-saat mereka butuh semangat itu, Ustad Gama lah yang membangkitkan semangar Arfan. Ustad Gama bahkan berterima kasih kepada Arfan dan teman-temannya yang sudah mewakili sekolah dalam lomba basket itu. Ending cerita sebagaimana yang sudah bisa ditebak pembaca Arfan menyadari prasangkanya selama ini yang sudah salah.
Begitulah cerpen yang sarat dengan nilai-nilai moral ini. Pada satu sis, tentu saja tidak ada yang salah dengan menitipkan pesan-pesan moral dalam sebuah cerita. Walaupun ada pandangan-pandangan yang menolak keras membebani karya sastra dengan hal-hal di luar sastra, tapi tetap saja sastra sebagai media untuk menanamkan moral pembaca tetap berkembang. Akan tetapi tantangan menjadikan karya sastra sebagai media untuk menyampaikan pesan sebenarnya sangat berat. Salah satunya adalah terkait dengan bobot karya itu sendiri.
Menghasilkan karya yang baik adalah tugas utama penulisnya. Bagaimana mungkin akan menyampaikan pesan-pesan kebaikan kepada pembaca jika karya itu sendiri tidak dibaca oleh masyarakat. Oleh sebab itu sebelum bicara tentang pesan-pesan cerita, hal utama yang sangat penting adalah menghasilkan karya sastra yang berbobot. Karya sastra efektif sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada pembaca jika karya sastra tersebut merupakan karya yang baik, indah, dan enak dibaca oleh pembaca.
Sebaliknya, karya sastra yang tidak baik, tidak indah, tidak bisa dinikmati oleh pembaca tidak akan bisa menjadi media untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada pembaca. Inilah dilema ketika menjadikan karya sastra sebagai media untuk menyampaikan suatu pesan. Ketika karya itu gagal menjadi karya yang dapat dinikmati oleh pembaca, karya tersebut juga sudah secara otomatis menjadi media untuk penyampai pesan yang baik. Menciptakan karya sastra (cerpen) yang baik tentu saja tidak mudah, butuh usaha dan konsistensi dalam berkarya untuk menghasilkan karya yang baik. Semoga ke depan penulis tetap konsisten dalam menulis dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat untuk pembaca. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post