Sejak 16 Agustus 2022, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia atau yang disingkat dengan PUEBI sudah dicabut atau tidak berlaku lagi sebagai ketentuan penulisan bahasa Indonesia. Melalui Keputusan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia Nomor 0424/I/BS.00.01/2022, EYD atau Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan menjadi pedoman dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk masa yang akan datang.
EYD pertama kali ditetapkan pada tahun 1972 melalui Seminar Bahasa Indonesia yang diadakan dalam rangka memperbaiki dan menyempurnakan ejaan bahasa Indonesia. Setelah itu, EYD terus direvisi pada tahun 1987, 2009, 2015, dan kini 2022. Pada revisi keempat (2015), nama EYD diganti dengan PUEBI. Kini pada revisi kelima (2022), nama EYD kembali digunakan karena nama tersebut dianggap sudah melekat di hati masyarakat. Selama PUEBI dipakai, masyarakat masih sering menggunakan nama EYD. Oleh karena itu, sembari merayakan 50 tahun penggunaan EYD (1972—2022), nama EYD kembali diresmikan sebagai pedoman dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Secara linguistik, nama PUEBI sangat representatif mencerminkan pedoman yang dipakai dalam ejaan bahasa Indonesia karena memuat kata pedoman, umum, ejaan, dan bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pedoman merupakan hal (pokok) yang menjadi dasar (pegangan, petunjuk, dan sebagainya) untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu; umum mengenai seluruhnya atau semuanya; dan ejaan merupakan kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca. Dengan demikian, PUEBI dapat dimaknai sebagai hal pokok yang menjadi dasar atau kaidah dalam menggambarkan kata dan kalimat bahasa Indonesia dalam bentuk tulisan.
Hal ini berbeda dengan EYD yang memuat kata ejaan, bahasa Indonesia, dan yang disempurnakan. Dalam KBBI, sempurna adalah utuh dan lengkap segalanya (tidak bercacat dan bercela). Kata disempurnakan menunjukkan adanya upaya untuk membuat sesuatu menjadi sempurna. Kata tersebut memuat pandangan positif bahwa Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia akan terus melakukan upaya untuk menjadikan ejaan bahasa Indonesia utuh dan lengkap atau tidak memiliki cacat dan cela. Namun, frasa yang disempurnakan juga memuat pandangan negatif bahwa tidak mungkin ejaan yang dipakai masyarakat tidak memiliki cacat atau cela atau mencapai sesuatu yang sempurna karena bahasa bersifat dinamis atau terus berkembang.
Meskipun demikian, itulah bahasa! Bahasa bersifat arbitrer. Bahasa lahir dari kesepakatan masyarakat yang juga digunakan oleh masyarakat. EYD sudah digunakan sejak 1972. Nama tersebut sudah melekat dan sudah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, ketika nama PUEBI diciptakan dan digunakan selama tujuh tahun, nama tersebut belum mampu menggantikan nama EYD.
Apakah ada hal yang berubah dari PUEBI ke EYD Kelima? Jawabannya, pasti ada. Oleh karena bahasa berkembang, pembakuan dan kodifikasi kaidah bahasa Indonesia juga berkembang. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia bertanggung jawab untuk mengembangkan hal tersebut. Bak cinta lama bersemi kembali, kita perlu mengenal kembali kaidah dalam EYD Kelima. Meskipun belum secara lengkap, berikut beberapa hal yang bisa diketahui dari EYD Kelima. Ada hal yang baru ada, ada juga beberapa hal yang mengalami perubahan.
Pertama, pengucapan. Dalam EYD, tanda diakritik yang digunakan untuk membedakan pengucapan e dalam bahasa Indonesia tidak dijelaskan lagi terdiri atas tiga bentuk sebagaimana yang tercantum dalam PUEBI sebagai berikut.
(1) Diakritik (é) dilafalkan [e] pada “Anak-anak bermain di teras.”;
(2) Diakritik (è) dilafalkan [ɛ] pada “Kami menonton film seri (sèri).; dan
(3) Diakritik (ê) dilafalkan [ə] pada “Pertandingan itu berakhir seri (sêri).
Dalam EYD Kelima, tanda diakritik hanya digunakan secara khusus pada huruf e pepet berupa (ê) yang dilafalkan [ə]. Oleh karena itu, bentuk data (1), (2), dan (3) menjadi berikut.
(1a) Anak-anak bermain di teras.
(2a) Kami menonton film seri.
(3a) Pertandingan itu berakhir seri [sêri].
Kedua, posisi huruf pada sebuah kata. Perkembangan kosakata dalam bahasa Indonesia yang banyak menyerap kata dari bahasa daerah dan bahasa asing kian melengkapi posisi huruf pada sebuah kata, baik di awal, di tengah, maupun di akhir kata. Dalam PUEBI, kita belum mengenal kata yang memuat huruf q, x, dan y di tengah atau di akhir kata. Dalam EYD Kelima, kita sudah menemukan bahwa huruf q juga terdapat pada akhir kata bahasa Indonesia berupa Benuaq yang bermakna ‘suku bangsa yang mendiami daerah Kutai, Kalimantan Timur’. Huruf q dijelaskan secara khusus hanya digunakan untuk nama diri dan keperluan bidang tertentu. Dengan mengenal kata ini, kita menjadi tahu bahwa ada saudara kita yang bersuku Benuaq di Kutai, Kalimantan Timur.
Sementara itu, huruf x yang awalnya hanya terdapat pada awal kata berupa xenon yang bermakna ‘gas mulia, tidak berbau dan tidak berwarna, terdapat dalam jumlah kecil di udara, biasa digunakan dalam tabung lampu khusus’, kini juga terdapat pada posisi tengah kata berupa marxisme yang bermakna ‘gagasan-gagasan yang dirumuskan oleh Karl Marx’ dan pada posisi akhir kata berupa Max meskipun penggunaan kata Max dalam bahasa Indonesia saat ini belum bisa terlacak, baik dalam KBBI dan EYD Kelima. Namun, hal yang harus diketahui ialah huruf x pada posisi awal kata diucapkan dengan [s] sehingga xenon dibaca dengan [senon], sedangkan huruf x pada posisi tengah atau akhir kata diucapkan dengan [ks] sehingga marxism dibaca [marksisme] dan Marx dibaca [marks].
Ketiga, penambahan monoftong. Monoftong merupakan gabungan dua huruf vokal yang diucapkan menjadi vokal tunggal. Dalam EYD Kelima, penambahan monoftong merupakan hal baru. Monoftong dilambangkan dengan gabungan huruf vokal eu yang dilafalkan [ɘ], seperti pada kata eurih (posisi awal kata), seudati (posisi tengah kata), dan sadeu (posisi akhir kata). Kehadiran monoftong ini disebabkan oleh serapan bunyi dari bahasa daerah, seperti eurih dari Sunda, sadeu dari Bengkulu, dan seudati dari Aceh.
Jika ditelusuri dalam KBBI daring, kata eurih belum masuk hingga saat ini. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia tentunya akan segera memasukkan kata ini. Namun, adanya kata eurih dalam EYD Kelima menunjukkan bahwa bahasa daerah hari ini sangat berpotensi menjadi bagian kosakata dalam KBBI. Hal ini tak lepas dari upaya yang dilakukan masing-masing suku bangsa di Indonesia untuk mengenalkan bahasa dan budaya yang dimiliki. KBBI saat ini sepertinya memang ditujukan menjadi kamus besar yang menghimpun seluruh kosakata yang digunakan oleh penutur bahasa Indonesia.
Berkenaan dengan eu sebagai monoftong, eu tidak bisa dipenggal dalam pemenggalan kata. Oleh karena itu, eu-rih merupakan pemenggalan kata dari eurih, seu-da-ti merupakan pemenggalan kata dari seudati, dan sa-deu merupakan pemenggalan kata dari seudati.
Keempat, huruf kapital pada nama orang. Dalam PUEBI, belum dijelaskan penggunaan huruf kapital pada teori, hukum, dan rumus yang menggunakan nama orang. Misalnya, nama Darwin, Archimedes, dan Phytagoras yang dikenal dalam dunia akademis. Dalam EYD Kelima, ditetapkan bahwa huruf kapital digunakan pada nama orang yang terdapat pada teori, hukum, dan rumus. Contohnya, teori Darwin, hukum Archimedes, dan rumus Phytagoras.
Selain itu, huruf kapital juga digunakan pada nama pertama kata yang bermakna ‘anak dari’, seperti pada bin, binti, boru, dan van. Misalnya, “Salah satu pencetak gol terbanyak adalah Van Basten”. Sementara untuk penulisan makna ‘anak dari’ yang bukan sebagai nama pertama tetap menggunakan huruf nonkapital, seperti pada kalimat “Charles Adriaan van Ophuijsen merupakan seorang Belanda yang gemar mempelajari bahasa berbagai suku di Hindia Belanda”.
Kelima, huruf miring. Perkembangan media online menyebabkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia juga harus menetapkan kaidah penulisan nama media online yang dikutip. Sebelum ini, memang ada penulis yang bingung apakah harus menuliskan nama media online dengan huruf miring atau tidak. Dalam PUEBI, hal tersebut belum dijelaskan. Dalam EYD Kelima, ditetapkan bahwa penulisan nama media online yang dikutip dalam sebuah tulisan harus menggunakan huruf miring, seperti “Acara Bulan Bahasa dimuat di kabarbahasa.com.” Dengan demikian, referensi karya ilmiah yang diakses secara digital sudah dapat dicantumkan di daftar pustaka dengan menggunakan huruf miring.
Keenam, bentuk terikat. Dalam EYD, ada perubahan untuk penggunaan bentuk terikat maha- yang mengacu pada nama atau sifat Tuhan. Pada PUEBI, dijelaskan bahwa hanya kata dasar esa yang boleh ditulis terpisah ketika bergabung dengan bentuk terikat maha-. Hal ini berkenaan dengan bentuk tersebut yang mengacu pada nama dan sifat Tuhan, seperti Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu, kata maha- yang bergabung dengan dasar lain, seperti kuasa dan besar harus ditulis serangkai, seperti Tuhan Yang Mahakuasa dan Tuhan Yang Mahabesar. Dalam EYD Kelima, bentuk tersebut diganti dengan ketentuan bahwa bentuk terika maha- yang mengacu pada nama atau sifat Tuhan, baik pada kata dasar atau kata berimbuhan dapat ditulis terpisah sebagai pengkhususan. Hal ini dapat dilihat pada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih, dan Tuhan Yang Maha Pengampun.
Apakah hanya hal tersebut yang berubah atau bertambah dalam EYD Kelima? Tentunya tidak. Masih banyak ketentuan lain yang berkenaan dengan penggunaan huruf, penulisan kata, penggunaan tanda baca, dan penulisan unsur serapan yang bertambah dan berubah dalam EYD Kelima. Di laman Klinik Bahasa Scientia.id, perubahan tersebut akan dijelaskan secara spesifik yang tentunya akan disertai dengan kasus bahasa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Setidaknya melalui tulisan sederhana ini, kita sudah mengetahui bahwa pembakuan dan kodifikasi bahasa Indonesia sejak 16 Agustus 2022 sudah berubah. Segala ketentuan penulisan dalam bahasa Indonesia merujuk pada EYD Kelima yang juga dapat dibaca melalui https://ejaan.kemdikbud.go.id/.
Dalam EYD Kelima ini, ada satu hal yang menunjukkan perubahan dalam ketentuan ilmiah. Jika selama ini setiap program studi di perguruan tinggi memiliki ketentuan selingkung tentang sistematika penulisan, di EYD Kelima hal-hal tersebut sudah dibakukan beserta contoh, misalnya ada ketentuan menuliskan tanda titik di belakang angka atau huruf dalam suatu daftar, perincian, tabel, atau bagan, tetapi juga ada ketentuan tidak menuliskan tanda titik di belakang angka terakhir pada deret nomor dalam perincian. Dengan ketentuan ini, kita sangat berharap sistematika penulisan karya ilmiah tidak lagi beragam di perguruan tinggi.
Selain itu, satu hal menarik yang perlu diketahui dari EYD Kelima adalah sebuah kalimat yang ditulis sebagai contoh dalam penulisan kata. Dalam EYD Kelima, dituliskan bahwa pencetus nama bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda adalah Mohammad Tabrani. Jika selama ini kita tidak pernah mengetahui, sekarang saatnya mengenang dan mengenal nama Mohammad Tabrani sebagai tokoh yang mencetuskan nama bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda. Dari gagasan Mohammad Tabrani tersebut, bahasa Indonesia kini menjadi bahasa negara yang mampu menunjukkan identitas bangsa di dunia internasional.