Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Beberapa hari lalu, saya baru saja selesai membaca buku yang sebetulnya sudah lama ingin dibaca. Buku itu berjudul Toxic Relationsh*t yang ditulis oleh Diana Mayorita. Ia merupakan seorang psikolog klinis yang fokus menangani persoalan seputar hubungan, pernikahan, dan seksualitas. Di buku itu dijabarkan sebuah jebakan yang dapat membuat seseorang masuk ke dalam hubungan yang toksik, seperti di judul bukunya. Jebakan itu ialah dengan menjadi ‘gadis baik’.
Mungkin saja, berkarakter gadis baik menjadi keinginan banyak orang. Sebagai perempuan, seseorang ingin dikenal sebagai Nice Girl. Sebagai lelaki, seseorang ingin memiliki pasangan yang memiliki karakter Nice Girl. Namun, karakter gadis baik nyatanya merupakan sebuah jebakan, terlebih bagi perempuan.
Hal itu diungkap oleh Beverly Engle. Ia merupakan seorang psikoterapis yang dalam perjalanan kariernya banyak menemukan klien yang terkungkung dalam hubungan tidak sehat karena memiliki karakter gadis baik. Konstruksi sosial membentuk karakter perempuan menjadi penurut, patuh, manis, lembut, dan dijauhkan dari perlindungan terhadap diri sendiri karena katanya ia hanya perlu dilindungi.
Gadis baik kemudian identik dengan kepatuhan dan terbiasa menerima perintah. Konstruksi inilah yang kemudian justru menjadi jebakan bagi perempuan. Bila mendebat dengan tujuan diksusi bisa saja hal itu dianggap sebagai membantah, melawan, dan membangkang. Padahal, negosiasi dan diskusi selalu dibutuhkan menuju kesepakatan terbaik. Sikap pasif kemudian menjadi lebih dominan sehingga terkesan menyerahkan diri untuk dikendalikan. Banyak perempuan berusaha berusaha menjadi lembut, manis, manja, dan penurut agar disukai dan menyenangkan orang lain. Dampaknya ialah ia sulit menyadari bahwa tengah dieksploitasi, didominasi, bahkan dimanipulasi. Berada dalam karakter seperti inilah yang disebut dengan Sindrom Gadis Baik (Nice Girl Syndrome).
Dalam sebuah hubungan, sindrom gadis baik dapat membawa seseorang dalam hubungan yang tidak sehat atau toksik. Sematan gadis baik berujung pada ketidakberdayaan dan kurangnya proses untuk berpikir lebih kritis. Beberapa contoh karakter sindrom gadis baik di antaranya sulit untuk menolak atau mengatakan tidak, terlalu mengkhawatirkan pemikiran orang lain terhadap diri sendiri, berusaha untuk selalu disukai, takut membuat seseorang marah, sering meminta maaf meskipun tidak melakukan kesalahan, berusaha terlihat baik meskipun seseorang telah mengecewakan, dan merasa takut bila dibenci oleh orang lain bila tak bersedia memenuhi keinginannya.
Karakter seperti di atas cenderung membuat seseorang berada dalam hubungan yang kondependen, yaitu selalu memprioritaskan pasangan dibandingkan diri sendiri. Ciri relasi kondependen itu juga tidak jauh berbeda dengan yang tampak pada karakter gadis baik. Beberapa di antaranya sulit mengatakan tidak, merasa harus selalu menjaga perasaan pasangan, sulit untuk jujur, terlalu terikat, takut ditinggalkan, bertahan meskipun pasangan tidak lagi menginginkan, dan rela melakukan apa saja yang diinginkan pasangan.
Lalu, bila berkarakter gadis baik justru menjebak, apakah seseorang harus menjadi gadis tidak baik? Wah, tidak begitu juga sih, ya! Tentu saja setiap orang perlu menjadi orang baik, tetapi tidak hanya untuk orang lain namun juga untuk dirinya sendiri. Perempuan perlu menjadi gadis baik, tetapi bukan berdasarkan konstruksi sosial yang menempatkan ia pada posisi harus manut-manut saja apa pun yang terjadi.
Dari uraian panjang Diana Mayorita, setidaknya ada tiga yang yang perlu menjadi karakter dasar untuk menghindari dominasi dan manipulasi dari hubungan yang tidak sehat. Pertama, berlatih self compassion, yaitu kepedulian dan belas kasih kepada diri sendiri. Kedua, fokus kepada diri sendiri dengan mengawalinya dengan fokus pada yang bisa dan mampu dilakukan. Ketiga, menjadi asertif, yaitu bersikap tegas untuk diri sendiri dengan tetap menghormati orang lain.
Discussion about this post