Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri” (Surat Kepercayaan Gelanggang-Chairil Anwar, Rivai Apin, & Asrul Sani)
“Wisata sastra adalah salah satu jenis wisata budaya yang berkaitan denga tepat, kejadian, dan peristiwa yang berasal dari narasi-narasi kesusastraan, baik sastra lisan maupun sastra tulisan. Wisata sastra juga dapat berkaitan dengan peninggalan para sastrawan berupa rumah, tempat lahir, kampung halaman, kuburan, ataupun museum yang berkaitan dengan kehadiran sastrwan. Gunung Padang dalam Novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli menjadi destinasi wisata, yang kemudian dibangun pula Makam Siti Nurbaya” (Yoseph Yapi Taum)
Pengelolaan dan pengenalan tempat wisata saat ini berkembang cukup pesat. Hal ini, terbukti dengan banyaknya tempat wisata yang muncul di setiap daerah dan akses untuk mengetahui tempat wisata tersebut sangat mudah. Banyak blog ataupun media sosial yang memang mengekspos berbagai jenis tempat wisata. Salah satu blog yang banyak diikuti adalah The Naked Traveller, bahkan berbagai tulisan yang ada di blog tersebut sudah dibukukan serta dijadikan sebuah film. Hal ini membuktikan bahwa pariwisata tidak hanya memberikan kontribusi pada ranah ekonomi, tetapi juga ranah literasi dan perfilman. Kemudian, hal yang sama juga bisa ditelusuri di sosial media Instagram, misalnya pencarian tempat wisata di Jogja, dapat menulusuri @jogja atau @jogja24jam. Pada akun tersebut, akan banyak rekomendasi tempat wisata ataupun kuliner yang bisa dikunjungi. Hal ini, tentu akan sangat membantu bagi para wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.
Tidak hanya terkait penggunaan media untuk branding tempat wisata, tetapi hal lain yang juga menarik untuk dibicarakan dalam dunia pariwisata saat ini, salah satunya adalah ekspos budaya, tradisi, ataupun cerita yang dipercayai oleh masyarakat terhadap tempat wisata tersebut. Pembangunan sektor parawisata dengan mengangkat nilai budaya yang ada pada lokasi wisata tersebut dapat mendukung Peluang Baru dan Pengembangan Berkelanjutan (SDGs). Hal ini juga menjadi tujuan bersama negara-negara pada resolusi PBB tahun 2015 sebagai ambisi pembangunan hingga tahun 2030. Dengan demikian, saat ini ketika berbicara tentang pariwisata, akan ada tradisi dan budaya yang juga akan terekspos.
Folklor salah satu bagian yang sering mengambil peran dalam branding sebuah tempat wisata. Folklor menurut Danandjaya (1991:5) adalah sebagai kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Jan Harol Brunvand, seorang ahli folklor dari Amerika Serikat mengelompokkan folklor ke dalam tiga bagian, yaitu folklor lisan (verbal folklore), sebagian lisan (partly verbal folklore), dan bukan lisan (non verbal folklore). Pada penggolongan folklor lisan terdapat bagian cerita prosa rakyat, yaitu ada mite, legenda, dan dongeng. Kemudian, pada penggolongan folklor sebagian lisan ada kepercayaan rakyat. Selanjutnya, pada penggolongan folklor bukan lisan ada tarian rakyat. Hal inilah, beberapa hal yang sering ditemukan dalam branding sebuah tempat wisata.
Legenda adalah salah satu bagian yang sampai saat ini masih sering diceritakan ketika akan berkunjung ke sebuah tempat wisata, misalnyaketika berkunjung ke Kota Padang, Sumatera Barat akan diajak mengunjungi Pantai Air Manis yang tidak bisa dipisahkan dari Legenda Malin Kundang. Batu, seperti orang tengkurap dan pecahan-pecahan batu lainnya yang dianggap sebagai pecahan kapal dijadikan sebagai spot untuk berfoto bagi wisatawan. Legenda ini sebenarnya tidak hanya untuk mengenalkan atau branding tempat wisata saja, tetapi orang tua juga sering menceritakan legenda ini kepada anak-anaknya ketika melawan orang tuanya sehingga anak tidak akan melawan kepada orang tua.
Tidak hanya dari Sumatera Barat, legenda yang juga sering diceritakan adalah Legenda Asal Mula Terbentuknya Danau Toba. Ketika berkunjung ke Danau Toba cerita tentang seorang lelaki yang hidup miskin bernama Toba yang bekerja sebagai petani dan mencari ikan di sungai yang tidak jauh dari rumahnya. Ia yang mendapatkan seekor ikan besisik emas yang ternyata berubah menjadi perempuan berparas cantik, lalu kemudian mereka menikah dan memiliki seorang anak yang bernama Samosir. Ketika Samosir memakan makanan ayahnya dan membuatnya marah, terjadi hujan dan banjir sehingga terbentuklah Danau Toba. Cerita ini menjadi bagian penting ketika berkunjung ke Danau Toba ataupun Pulau Samosir.
Legenda lain yang juga sering didengar adalah asal mula Terbentuknya Tangkuban Perahu, Asal Mula Banyuwangi, Candi Prambanan, Legenda Ikan Larangan di Baso, dan lain-lain. Legenda pada dasarnya tidak hanya sebagai konten yang digunakan untuk branding pariwisata, tetapi juga dijadikan sebagai media mendidik yang digunakan oleh masyarakat untuk mengajarkan anak mereka. Dengan demikian, melekatkan cerita prosa rakyat pada sebuah tempat wisata akan mengkekalkan cerita tersebut agar tidak hilang karena perkembangan zaman.
Tidak hanya legenda, tetapi juga kepercayaan rakyat dapat dijadikan sebagai konten yang digunakan untuk branding wisata. Ketika berkunjung ke Yogyakarta, banyak orang yang akan mengunjungi Alun-Alun Kidul untuk melewati dua pohon beringin yang ada di tengah alun-alun tersebut. Ketika orang yang bisa melintasi kedua pohon tersebut dengan mata tertutup dianggap memiliki jiwa yang suci. Kemudian, ketika berkunjung ke Parangtritis kita akan dilarang untuk menggunakan baju hijau karena dipercaya akan dibawa oleh Nyai Roro Kidul ke kerajaannya sebab Nyai Roro Kidul dipercaya menyukai warna hijau. Namun, pada hakikatnya ketika berada di laut jika tenggelam akan sulit untuk dicari karena warna hijau dianggap memiliki saturasi warna yang hampir sama dengan laut. Pengunjung disarankan untuk memakai baju berwarna terang.
Tidak hanya di Yogyakarta, di Sumatera Barat, tepatnya di daerah Sungayang juga dikenal sebuah tempat wisata, yaitu Batu Angkek-angkek. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa ketika seseorang bisa mengangkat batu tersebut maka keinginannya akan terkabul. Memang pada kenyataanya tidak semua orang yang berkunjung dapat mengangkat batu tersebut. Kepercayaan rakyat ini, menjadi salah satu hal yang membuat masyarakat tertarik untuk berkunjung ke daerah tersebut karena ingin mencoba melakukannya.
Kemudian, terkait dengan tarian rakyat, misalnya ketika mengunjungi Pulau Samosir dan ada sebuah tempat wisata yang bernama Hutta Siallagan. Di sana, pengunjung akan diajak untuk melakukan Tarian Si Gale-gale dengan menggunakan ulos (kain khas Batak). Tarian Si Gale-gale merupakan tarian oleh sebuah patung yang digerakan untuk menghibur raja ketika kehilangan anaknya. Hal ini juga akan menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan.
Dari beberapa contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa folklor dapat menjadi salah satu konten yang digunakan untuk mem-branding sebuah tempat wisata. Hermawan Kartajaya, seorang Markplus Tourism, menyebutkan bahwa ada tiga strategi dasar untuk menentukan brand sebuah destinasi wisata, di antaranya adalah positioning, differentiation, dan branding. Positioning atau pemosisian adalah terkait dengan hal apa yang ingin ditanamkan dalam kepala masyarakat ketika akan berkunjung ke tempat wisata ini. Pemilihan pemosisian ini yang sekaligus akan membedakan atau differentiation antara satu tempat wisata dengan yang lainnya. Dengan demikian, akan terbentuk branding tempat wisata tersebut.
Discussion about this post