Jilbab
Cerpen: Ali Usman
Waktu itu aku baru kelas 2 SMU. Aku kenalan dengan seorang perempuan, namanya Ria. Anaknya supel dan humoris. Kalau ngomong sama dia, asyik banget dan selalu bikin ketawa. Ria tergolong cewek yang berpenampilan menarik. Dengan jilbabnya, dia kelihatan manis dan enak dipandang, tapi yang nggak aku suka sama dia itu pakaiannya yang serba ketat dan jilbab mininya. Aku senang memanggilnya “Ya” kesannya lebih akrab.
“Ya, kamu manis deh!” pujiku.
“Tentu, dong, siapa dulu Ria,” ungkap Ria dengan bangganya sambil memegang pinggir jilbab mini itu.
“Tapi ngomong-ngomong kamu kok mujiku sih, Ko? Padahal, selama ini kamu kan nggak pernah muji aku.”
“Ya iseng aja, kamu emang manis kok.”
Ria jadi tersipu malu dengan pujianku. Padahal, aku ingin mengkritiknya lantaran pakaiannya yang seronok. Mungkin dalam pikiran Ria, aku benar-benar memujinya karena kecantikkan wajahnya.
Habis shalat isya, di mushala dekat rumahku ada wirid pengajian. Judulnya “Aurat Perempuan” mendengar judul ceramah yang disampaikan oleh Ustadz Khalil, aku jadi teringat sama Ria. Karena aku berpikir, ini pasti ada kaitannya dengan pakaian perempuan.
“Kaum muslimin dan muslimah yang diridhoi Allah SWT, pada kesempatan ini saya akan menyampaikan ceramah wirid pengajian kita dengan judul “Aurat Perempuan”. Aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, sedangkan aurat laki-laki antara pusat sampai lutut. Pembicaraan kita khusus aurat perempuan yang erat kaitannya dengan pakaian kaum perempuan tersebut.” Itu sebagian kata Ustadz Khalil yang dapat aku ingat dengan jelas.
Di antara orang-orang yang mendengar ceramah itu, aku berpikir sendiri kenapa wanita sekarang tidak mau lagi atau masih belum sadar untuk menutup auratnya? Malahan mereka bangga memperlihatkan auratnya kepada orang banyak. Aku jadi ingin menyampaikan hal itu kepada Ria, mudah-mudahan dia tidak tersinggung dengan apa yang aku sampaikan. Di sekolah waktu istirahat, aku mencari Ria dan ingin menemuainya. Aku menemukannya sedang bersenda gurau dengan teman-temannya.
“Ya, bisa aku bicara sebentar”
“Ada apa sih, Ko, keliatannya serius banget,” jawab Ria di sela ketawanya.
“Pergilah tu Ya, Riko keliatannya perlu ngomong sama kamu,” ungkap salah seorang temannya.
“Ok, deh Kaka…,” jawab Ria sambil tersenyum.
Aku dan Ria pergi ke kantin sekolah. Rencanaku ingin membicarakan masalah pakaiannya, terutama jilbabnya di sana sambil makan, biar kesannya nggak serius banget. Harapanku biar nantinya Ria nggak tersinggung.
“Ada apa, Ko?” tiba-tiba Ria bertanya sambil mengunyah makanannya.
“Begini, Ya…”. Aku takut nanti Si Ria-nya tersinggung dan nggak mau lagi temenan sama aku.
“Begini gimana, Ko? Nggak usah basa-basi deh, to the poin aja”. Ria dengan kemampuan humornya membuat aku jadi ketawa. Dia nyantai aja dan terus melalap makanannya. Aku minum dan berusaha menenangkan diri.
“Begini, sebagai seorang sahabat, aku pingin mengingatkan kamu, Ya. Aku perhatikan kamu itu sudah kelewat batas dalam berpakaian dan…”
“Maksudmu gimana, Ko?” Ria langsung memotong pembicaraanku. Dia berhenti makan dan terus memperhatikanku.
“Maksudku, sejauh pengetahuanku seorang muslimah itu harus menutup auratnya, tidak seperti kamu. Kamu memakai jilbab, tapi kecil, seperti kata anak muda zaman sekarang jilbab gaul dan pakaian serba ketat. Percuma kan kamu pakai jilbab, sama aja kayak orang yang tidak memakai jilbab, malahan lebih dari itu. Saranku sebaiknya kamu tu pakaiannya agak longgar dan jilbabnya dilepas aja, tidak diikat ke belakang, kayak ini.” Aku menunjuk ke arah jilbabnya.
Ria hanya diam mendengar penjelasanku tentang pakaiannya, kelihatannya, dia mengerti dan paham apa yang aku sampaikan kepadanya.
“Ya, saranku ini boleh kamu terima boleh tidak, terserah kamu, baiknya gimana.”
“Oke deh, Ko. Jangan takut aku terima saranmu. Terima kasih ya sarannya dan makasih juga Ko makanannya,” kelihatannya Ria menerima saranku tapi…
Entahlah aku nggak ngerti dengan Ria. Namun, hatiku sudah agak senang karena apa yang aku sampaikan kepadanya tidak membuatnya marah.
Ria beranjak dari duduknya dan langsung pergi meninggalkanku dengan penuh tanda tanya di pikiranku.
“Berapa, Bu? Nasi goreng dua dan teh es dua”
“Sepuluh ribu, Ko”
“Ini, Bu” Seraya aku menyodorkan uang sepuluh ribuan.
“Makasih, Ko”. Aku mengangguk dan keluar dari kantin Sekolah itu.
Esok harinya aku tidak melihat Ria di sekolah. Aku cari dia ke lokalnya dia tidak ada. Aku tanya teman-teman dekatnya. Mereka bilang nggak tahu aku jadi berpikir dan merasa bersalah. Jangan-jangan Ria marah sama aku, mungkin juga dia tersinggung dengan ucapanku kemarin, tapi kelihatannya dia nggak marah.
“Riko! Ria di mana?” Tanya Rian yang menyadarkanku dari lamunan setahuku Rian adalah pacarnya Ria.
“Nggak tau, kemarin dia sehat-sehat aja. Apa mungkin sekarang sakit?”
“Udah tanya sama teman-temannya Ria?” ungkap Rian lagi kepadaku.
“Sudah, tapi mereka bilang nggak tau.”
“Mungkin dia sakit nggak, ya?”
“Entahlah lah, Yan. Kabarnya nggak jelas. Lebih baik kamu telepon aja deh ke rumahnya”
“Iya juga, ya.” Sambil mengangguk Rian tersenyum padaku.”
“Thank banget lo, Ko. Kamu memang teman yang paling baik sedunia.”
“Yo.” Kemudian Rian meninggalkanku. Mungkin dia langsung menelepon Ria. Mungkin juga dia langsung ke rumah Ria.
Entah kenapa, pikiranku malam itu jadi nggak enak. Membuat aku jadi susah tidur. Aku paksakan memejamkan mata, tapi sulit bagiku untuk tidur. Aku selalu dibayangi oleh wajah Ria.
“Jangan begitulah, Ya. Masa pikiranmu sempit sekali.”
“Biarlah, Ko. Lebih baik aku lepas jilbab ini, biar aku tidak menjadi gunjingan orang. Aku takut juga, Ko, lantaran karena aku, kesan jilbab menjadi buruk di mata masyarakat.”
“Itu hanya perasaan kamu aja, Ya. Orang-orang bukan menggunjingkanmu”
“Siapa bilang nggak, kamu sendiri mengata-ngataiku untuk memperbaiki pakaian dan jilbabku supaya agak longgar. Aku belum bisa, Ko, memakai jilbab dan pakaian yang begituan. Aku nggak bisa.”
Ria membuka jilbabnya di depan mataku dan membuang jilbabnya ke mukaku.
“Ria, jangan Ria, jangan…!”
“Ada apa, Ko? Kamu mimpi buruk, ya?” Ibu mengetuk pintu kamarku dan membukanya.
“Ya, Bu. Aku mimpi jelek,” ungkapku sambil berdiri dan meminum air yang ada di meja belajarku.
“Itu lho, Bu. Aku mimpi Ria melepas jilbabnya. Aku berusaha mencegahnya, tapi aku tidak berhasil,” jelasku pada ibu sambil menyeka karingat di keningku.
“Aku…”
“Sudahlah, Ko. Itu hanya mimpi. Tidak usah dipikirkan. Mimpi itu bunga tidur.”
“Aku pikir, Bu, mimpi itu akan terjadi kenyataan. Masalahnya baru-baru ini aku ngomong sama Ria tentang jilbabnya. Aku khawatir, Bu. Jangan-jangan, benar-benar terjadi seperti di dalam mimpiku”
“Mudah-mudahan tidak seperti itu, Ko. Mana mungkin sih seorang perempuan mau melepas jilbabnya hanya karena dikritik.”
“Mungkin saja, Bu. Ria kan anaknya gaul, Bu. Lagian aku perhatian pengetahuan agamanya minim. Jadi, imannya bisa goyah dan tidak teguh pendirian.”
“Menurut Ibu iya, Ko. Seorang perempuan yang memakai jilbab itu, pasti didasari oleh pengetahuan agama dan iman yang kuat. Ada sih perempuan sekarang Ibu lihat, memakai jilbabnya hanya karena mode dan jilbab itu dijadikan hanya untuk hiasan bukan untuk menutup auratnya lagi.”
“Itulah masalahnya, Bu. Ria itu seperti perempuan-perempuan sekarang yang menjadikan jilbab sebagai mode dan hiasan. Tidak untuk menutupi aurat, tapi hanya untuk membungkus auratnya.”
Di sekolah, aku menemui Ria, tidak seperti kemarin-kemarin malah sebaliknya. Dia telah membuka jilbabnya dan bergaya tambah menor lagi.
“Astaghfirullah! Ria. Kenapa kamu jadi begini?”
“Ndak usah dipikirin, Ko. Kapan lagi kita menikmati hidup di dunia sebentar ini. Kapan lagi?”
Ria lansung meninggalkanku dengan bergaya seperti model. Rupanya mimpiku benar-benar terjadi. Aku bertanya-tanya, masih banyakkah perempuan Islam seperti Ria? (*)
Biodata Penulis:
Ali Usman lahir di Padang, 25 Februari 1982. Ia memiliki satu istri dan empat orang mujahid dan mujahidah. Sehari-hari bertugas sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMP Perguruan Islam Ar Risalah (Islamic Boarding School) Kota Padang Sumatera Barat. Pernah beberapa kali terpilih sebagai kepala sekolah berprestasi tingkat Kota Padang dan Provinsi Sumatera Barat. Ali merupakan pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat.
Tentang Sastra dan Dakwah melalui Karya Sastra
Oleh : Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Sumbar dan Dosen UPN Veteran Jakarta)
Dalam buku Membaca Sastra Membaca Dunia yang diterbitkan penerbit Basabasi tahun 2016, saya mengulas tentang FLP dan sastra dakwah. Dalam tulisan itu secara garis besar saya menyampaikan bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia menerima kehadiran FLP dengan genre Sastra Islami yang diusungnya. Namun, persoalan memuat nilai-nilai dakwah di dalam karya sastra bukanlah persoalan yang mudah. Memberi karya sastra muatan nilai-nilai dakwah merupakan pekerjaan rumit. Saya mengibaratkan persoalan tersebut seperti memegangi pisau di matanya. Kalau tidak hati-hati, tangan bisa terluka. Kalau karya sastra yang dihasilkan itu baik, pembaca bisa saja menerima pesan-pesan dakwah yang disampaikan pengarangnya. Akan tetapi, jika karya sastra itu gagal sebagai karya yang baik, justru dakwah itu juga akan dinilai sebagai sesuatu yang tidak baik.
Pada Kreatika edisi minggu ini, redaksi menurunkan sebuah karya berjudul “Jilbab” karya Ali Usman. Ali Usman seorang guru di salah satu sekolah di Kota Padang. Ia merupakan alumni Universitas Negeri Padang (UNP). Cerpen “Jilbab” bercerita tentang seorang anak muda (mungkin siswa SMA) bernama Riko yang peduli pada teman perempuannya bernama Ria. Riko terusik dengan penampilan Ria yang “gaul” dengan jilbab mini yang dia gunakan dan pakaiannya yang terlihat seksi.
Singkat cerita, sebagai seorang sahabat Riko mengingatkan Ria agar tidak berpakaian ketat, Riko berusaha menyampaikannya dengan cara sebaik mungkin agar tidak menyinggung Ria. Akhirnya, sambil mengajak Ria makan di kantin, Riko menyampaikan nasihat pada Ria. Ria menerima nasihat itu dengan baik, tidak tersinggung dengan penilaian Riko terhadap dirinya. Beberapa hari Ria tidak sekolah. Riko merasa bersalah karena merasa apa yang disampaikannya pada Ria menyinggung temannya itu. Saking merasa bersalahnya, Riko sampai mimpi dimarahi Ria.
Ketika Ria datang lagi ke sekolah, Ria memberi kejutan dengan membuka kerudungnya dan berpakaian dengan semakin mini. Cerita berakhir begitu saja, dengan pertanyaan yang menyentuh disampaikan oleh Riko. Cerita ringan yang berakhir tidak bahagia ini mungkin menjadi gambaran ketika memberi karya sastra muatan dakwah. Seperti tokoh Ria dalam cerpen “Jilbab” ini, jangankan menerima ajakan untuk menggunakan jilbab yang syar’i, justru tokoh yang didakwahi Riko semakin membangkang dengan membuka jilbabnya. Penulis cerpen ini seolah-olah memberikan pesan kepada pembaca bahwa harus berhati-hati berdakwah melalui karya sastra. Kalau pesan dakwah itu tidak disampaikan dengan baik atau jika karya tersebut tidak bagus sebagai sebuah karya, justru pesan dakwahnya akan hilang, bahkan menjadi berdampak buruk pada pembaca.
Dampak buruk yang saya maksud adalah persepsi pembaca akan dipengaruhi oleh kualitas karya yang buruk itu. Seperti yang disampaikan penulis cerpen “Jilbab” dalam ceritanya, jangankan mengikuti ajakan dakwah, justru orang yang didakwahi menjadi semakin menjauhi nilai-nilai kebaikan. Image dakwah yang norak, menggurui, cerewet dan lain sebagainya akan melekat kalau pesan-pesan dakwah tidak dikemas dengan baik di dalam karya tersebut. Intinya, saya ingin menyampaikan boleh saja memberi muatan moral atau nilai-nilai pada karya sastra, tapi jangan sampai karena muatan yang dijejali penulisnya itu karya sastra jadi gagal sebagai karya yang baik. Kalau karya sastra gagal menjadi karya yang baik, tidak indah dibaca pembaca, bagaimana mungkin karya tersebut bisa menyampaikan pesan-pesan moralnya pada pembaca.
Kalau kita baca kembali catatan sejarah kehadiran Forum Lingkar Pena (FLP) pada dekade 1990-an, kehadiran komunitas sastra yang mengusung genre sastra Islami ini cukup berdampak baik terhadap dunia sastra Indonesia. Komunitas penulis ini menurut Helvy Tiana Rosa (HTR) memiliki tiga tujuan dalam menulis ini (2003:13), yaitu untuk menyebarkan pemikiran, untuk mengembangkan kemampuan, dan untuk menambah penghasilan. HTR yang sangat memahami bahwa berdakwah melalui tulisan adalah suatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang muslim dan menjadikan karya-karyanya penuh warna keislaman.
Pada tahun 1997 Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Muthmainnah, dan beberapa mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia mengadakan pertemuan di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia (Rosa, 2003: 42). Pertemuan ini menjadi cikal bakal lahirnya Forum Lingkar Pena (FLP) yang kemudian Koran Tempo menyebutnya sebagai “Pabrik Penulis Cerita” atau Taufik Ismail mengatakan “FLP hadiah Tuhan untuk Indonesia”. Dalam beberapa waktu saja FLP telah menjelma menjadi komunitas penulis terbesar di Indonesia dan memiliki cabang di 30 provinsi dan ada pada 100 kota di Indonesia serta 7 perwakilan luar negeri.
Karya-karya anggota FLP diterbitkan oleh penerbit baru dan kemudian meluas ke puluhan penerbit tidak terkenal sampai penerbit besar sekelas Mizan dan Gramedia hingga kini dalam usia lebih dari 20 tahun FLP, sudah ratusan judul karya mereka mewarnai khasanah karya sastra Indonesia. Kelahiran FLP (tepatnya 22 Februari 1997) berawal dari penolakan, pencekalan, pengebirian atas karya-karya mereka. Tidak ada yang mau menerbitkan karya seperti yang mereka hasilkan. Mereka merintis wadah sendiri, membesarkan sendiri sehingga mampu mewarnai Sastra Indonesia pada usia mereka yang masih muda.
Walaupun dari segi kualitas karya-karya penulis FLP masih harus diperbaiki, bahkan banyak orang mengatakan bahwa karya-karya mereka tidak bermutu. Di sisi lain, kita harus mengakui bahwa mereka ada di tengah-tengah sastra Indonesia. Karya-karya penulis FLP lahir menjadi bacaan rakyat Indonesia. Mereka mampu menempatkan diri sejajar dengan penulis-penulis Indonesia lainnya. Kita harus mengakui bahwa FLP mampu memposisikan diri dalam catatan sejarah kesusastraan Indonesia.
Setelah sekian tahun keberadaan FLP sebagai komunitas sastra di Indonesia, masyarakat Indonesia bisa melihat transformasi komunitas ini menjadi lebih baik. Komunitas ini tidak kaku sebagaimana awalnya mendefinisikan “sastra dakwah”. Mereka menulis karya-karya fiksi yang humanis. Perlahan tidak terkesan membebani karya sastra dengan muatan-muatan yang berat. Mereka sadar bahwa karya sastra yang baik menjadi syarat utama untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah itu. Pesan-pesan kebaikan tidak harus seperti menceramahi pembacanya.
Di sinilah kelemahan cerpen “Jilbab” karya Ali Usman yang dimuat minggu ini. Cerpen ini terlalu berat karena beban cerita dalam cerpen ini. Tokoh Riko tidak tepat menyampaikan pesan dakwah sehingga akhirnya orang yang ingin dinasihatinya justru salah dalam menerima pesan-pesan kebaikan yang disampaikan Riko. Saya membayangkan bagaimana seorang tokoh Riko yang begitu kharismatik tidak perlu menasihati Ria karena kerudung mininya. Saya membayangkan Riko yang berprestasi kemudian menjadi panutan atau idola anak muda seusianya. Walau Riko menjadi bintang sekolah, tapi dia tetap rendah hati, baik dalam pergaulan dan pastinya mengamalkan nilai-nilai Islam. Riko tidak perlu “cerewet” dalam berdakwah agar dakwah itu tidak terkesan murahan atau tidak terkesan ikut campur urusan pribadi orang lain.
Mengakhiri ulasan ini, saya mengutip pendapat Dr. Liau Yock Fang dalam bukunya Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik (1991) menyebutkan bahwa sastra Islam adalah sastra tentang orang Islam dan segala amal salehnya. Walaupun dalam buku itu Liau Yock Fang belum memasukkan cerpen Islami sebagai bagian dari sastra Islam, setidaknya pesan tersirat dari pernyataan tersebut dapat direnungi adalah sastra Islam itu terkait amal-amal baik orang Islam bukan terkait kegiatan orang-orang Islam yang menyebalkan. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post