Amarah
Api mengepul dalam amarah
Mata sinis menatap dendam
Tangan terkepal dengan darah
Melihat bedebah di gelap malam
Suara ketenangan hati tertutup
Bekas luka pun terbuka
Janji yang ingin diraup
Memunculkan malapetaka
Kesabaran sudah menipis
Bantuan malaikat sudah ditapis
Melihat tekanan yang ingin digubris
Akan kuhantam sampai habis
Darah tertempel di mulut
Kelegaan yang tercampur salut
Walaupun habis bergelut
Neraka pun nyawa telah tertaut
Tuhanku
Ketika awan menaburkan air
Matahari menutup tahtanya
Bintang-bintang melontarkan dzikir
Manusia yang bersujud di hadapan-Nya
Matahari naik turun dari tahta
Diganti permaisurinya di gelap malam
Langit yang bermacam warna
Lalu awan yang suka bersemayam
Oh….
Indahnya ciptaan-Nya
Diatur penuh makna
Sangat sempurna
Terima kasih Tuhan Yang Maha Esa
Sujud syukur kami hanya untuk-Mu
Hukum dan tatanan-Mu berlaku
Engkaulah tempat mengadu
Wahai Tuhanku
Keberadaan Manusia
Bumi yang bergumam
Melihat dari ranah para pohon
Di baliknya manusia bersemayam
Ketakutan sambil memohon
Itulah insan yang bersujud
Kemurnian tertulis di dahi
Mereka tak akan bertekuk lutut
Kecuali di depan Ilahi
Lalu ada yang berbeda
Melantangkan suara yang membara
Berani menantang dunia
Walau risiko akan mengujinya
Merekalah yang akan menggulingkan
Mereka jugalah yang akan ditaklukkan
Ambisi yang tak tenang
Tak peduli walau Rabbi tak senang
Biodata Penulis:
William Joui R. atau dikenal dengan Revan Al Farros merupakan seorang pelajar yang sedang melanjutkan studinya di Kelas IX Najran SMP Perguruan Islam Ar Risalah yang menuliskan karya-karyanya dalam bentuk puisi dan membagikannya ke para pecinta puisi di Indonesia.
Bersahaja Tanpa Bercanggih-canggih
Oleh: Ragdi F. Daye
(penulis buku kumpulan puisi Esok yang Selalu Kemarin)
Itulah insan yang bersujud
Kemurnian tertulis di dahi
Mereka tak akan bertekuk lutut
Kecuali di depan Ilahi
Pradopo (2009) mengatakan bahwa penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya melalui kata-kata yang dipilih untuk mewakili gagasan yang disampaikan atau menggunakan diksi. Diksi adalah pemilihan kata-kata yang memiliki kedudukan sangat penting dalam puisi. Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah karya sastra (Nurgiyantoro, 2010:272). Bahasa dalam seni sastra tersebut dapat disamakan dengan cat warna. Sebagai salah satu unsur terpenting, maka bahasa sastra. Menggunakan bahasa untuk menyampaikan gagasan dan imajinasi dalam proses penciptaan karya sastra sangat diperlukan oleh setiap pengarang. Hal ini menyiratkan bahwa karya sastra merupakan peristiwa bahasa.
Dengan demikian, unsur bahasa merupakan sarana yang penting dan diperhitungkan dalam penyelidikan suatu karya sastra karena bahasa berfungsi untuk memperjelas makna. Sebagai karya yang bersifat fiktif, karya sastra bisa menjadi media curahan hati yang efektif bagi pengarangnya dalam bentuk tulisan menjadi puisi, cerpen, novel, maupun naskah drama. Karya sastra yang ditulis pengarang tersebut kemudian dibaca dan dipahami oleh pembaca sehingga pembaca dapat mengerti maksud dan pesan yang disampaikan oleh pengarang melalui karyanya tersebut.
Azhari (2014) mengungkapkan bahwa proses kontemplasi yang dilakukan penyair dapat membentuk ciri-ciri terhadap tema yang diambilnya. Perenungan yang dimaksud adalah proses batiniah yang dilakukan oleh penyair sebelum menciptakan sebuah karya. Proses merenung sering memunculkan ide-ide yang tak terduga dan dari hal tersebutlah muncul makna-makna yang lebih dalam dari setiap diksi yang dipakai oleh penyair dalam puisinya. Setiap makna selalu memiliki tanda-tanda yang dapat dihubungkan untuk membentuk suatu makna baru yang mencakup keseluruhan isi karya puisi tersebut. Setiap penyair biasanya mempunyai waktu-waktu tertentu yang digunakan sebagai titik kontemplasinya untuk menaruh tanda-tanda di setiap makna puisinya.
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilkan tiga buah puisi karya William Joui R yang berjudul “Amarah”, “Tuhanku”, dan “Keberadaan Manusia”. Puisi siswa kelas IX SMP ini mengikuti gaya penulisan puisi klasik yang terikat pada bunyi akhir larik.
Puisi pertama, “Amarah”, dengan penataan bunyi akhir-akhir baris yang sangat terjaga mengungkapkan suasana emosi yang panas seperti ‘api mengepul’. Kata-kata yang bernuansa gundah sambung menyambung hingga akhir puisi: ‘amarah’, ‘sinis’, ‘dendam’, ‘bedebah’, ‘luka’, ‘malapetaka’, dan ‘neraka’. Gambaran kegundahan ini menunjukkan klimaksnya pada bait ketiga ‘Kesabaran sudah menipis/ Bantuan malaikat sudah ditapis/ Melihat tekanan yang ingin digubris/ Akan kuhantam sampai habis’. Banyak orang mengatakan, ‘bukan kesabaran namanya jika ada batas’. Sebaliknya, sebagian yang lain berkata, ‘jangan buat kesabaranku habis’. Batas antara kesabaran dan amarah memang sangat tipis. Ketika diserang nafsu amarah, kita dianjurkan untuk segera duduk apabila sedang berdiri dan menarik napas panjang agar tetap dapat berpikir dan bertindak bijaksana.
Apabila dibawakan ke bentuk ekspresi prosa, bait terakhir memberi penyelesaian atas kegundahan yang digambarkan bait-bait sebelumnya. Penyelesaian yang berakhir dengan ‘kelegaan’. Namun benarkah itu kelegaan yang sebenarnya? Menurut Al Quran (Surat Yusuf: 53), kata kejahatan selalu diwarnai atau diawali dari sikap amarah. Sementara kata amarah mesti dicegah dengan cara rahim. Di antara sifat-sifat kebajikan; keberanian, kesetiaan, kejujuran dan kesabaran, posisi rahim atau kemurahan hati menempati kedudukan yang sangat tinggi. Meski kemudian, Al Qur’an membedakan sifat kemurahan hati yang berpangkal kepada sikap atau nafsu amarah yang bermotif tertentu. Al Qur’an telah menggarisbawahi sifat amarah sejatinya diperlukan, namun tidak selamanya mesti dipusatkan secara fisik. Sifat ini terkadang memerlukan usaha dari dalam ketika menghadapi tantangan. Oleh karena itu, nilai sabar menjadi penyeimbang setelah fase kemurahan hati.
Puisi kedua, “Tuhanku”, sangat bersahaja menggambarkan pengabdian manusia kepada Tuhan yang telah mencipatakan alam semesta beserta segala isinya. Tak mau bercanggih-canggih, William menyampaikan secara apa adanya penyerahan diri seorang manusia, seorah hamba: ‘Sujud syukur kami hanya untuk-Mu/ Hukum dan tatanan-Mu berlaku/ Engkaulah tempat mengadu/ Wahai Tuhanku’. Tidak banyak gaya. Di acara-acara bincang kajian hidup menuju ketenangan rohaniah sering disampaikan bahwa kunci kenyamanan hidup adalah penyerahan diri kepada Tuhan. Sujud. Syukur. Tawakal.
Kecenderungan tema yang diusung William dapat dilihat dari puisi pertama dan kedua yang dekat dengan kehidupan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kesadaran sebagai makhluk ciptaan tersebut diwujudkan dengan perilaku yang peduli pada keselamatan lingkungan. Tema ini muncul pada puisi ketiga yang dapat dikaitkan dengan fungsi kehadiran manusia di muka bumi. Manusia yang diciptakan Tuhan dari tanah diberi tugas sebagai wakil yang menjaga dan melestarikan alam di samping memanfaatkannya untuk kehidupan. Tugas tersebut memang cukup berat membuat banyak manusia yang tidak mampu menjalankannya. Godaan nafsu yang melenakan menutup mata dan melupakan amanat yang diemban. William menuliskan perihal rintangan berat ini dengan larik-larik ‘Mereka jugalah yang akan ditaklukkan/ Ambisi yang tak tenang/ Tak peduli walau Rabbi tak senang’. Perbuatan yang membangkang pada perintah Tuhan tentunya akan memicu Sang Pencipta berang. Manusia yang sebelum terlahir ke dunia telah melakukan perjanjian dengan Tuhan tahu risiko yang menunggu setiap pelanggaran, namun banyak juga yang takluk oleh ambisi duniawi.
Puisi-puisi William yang dimuat Kreatika edisi kali ini bisa dinikmati dalam momen perenungan. Untuk terus menghasilkan karya-karya yang lebih kuat dan indah, William perlu terus berlatih memilih kata-kata yang imajinatif serta memasukkan emosi yang memberi getaran lebih terhadap elemen-elemen puisi.
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post