Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Kebangsawaan harus tetap dipertahankan sesuai tradisi yang diwarisi oleh orang tua-tua kita”
“Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi lakon yang baik. Dan hidup harus bertanggung jawab atas permintaan gemilangku sebagai Telaga” (Tarian Bumi: Oka Rusmini)
Saat ini, perempuan dianggap memiliki kebebasan atau kedudukan yang sama dengan laki-laki. Namun, pada hakikatnya ada beberapa hal yang membuat perempuan masih berada dalam sebuah ruang yang membuat dia tidak bisa bergerak, seperti layaknya kebebasan yang disampaikan. Salah satunya berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang lahir dengan tradisi dan budaya yang ada dari lingkungan. Masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kedua hal tersebut. Banyak narasi dalam tradisi ataupun budaya yang berkembang dalam masyarakat yang membuat perempuan harus terikat pada aturan-aturan tertentu. Dengan demikian, tercipta keterbatasan ruang gerak terhadap perempuan atau keterperangkapan perempuan untuk mengikuti narasi yang sudah terkonstruksi semenjak lama dalam kehidupan masyarakat. Hal itu dianggap sebagai narasi agung.
Salah satu budaya yang ada pada masyarakat Minangkabau misalnya, perempuan dianggap memiliki kebebasan lebih dari pada di daerah lain. Namun, dalam Kaba Cindua Mato, Bundo Kanduang tetap disebut dengan “Raja Perempuan” bukan “Ratu Perempuan”. Hal ini memberikan gambaran bahwa seorang perempuan ketika dijadikan sebagai pemimpin, tapi masih diberikan “tanda” kelaki-lakian dalam kepemimpinannya. Hal yang sama disampaikan oleh Simone de Beauvoir dalam bukunya yang berjudul Second Sex bahwa perempuan ketika mencapai keberhasilannya tidak bisa dilepaskan dari peran seorang laki-laki. (Beauvoir, 2016)
Hal yang berbeda terjadi dalam budaya dan tradisi yang ada pada masyarakat Bali. Perempuan memang berada pada kedudukan kedua setelah laki-laki. Selain itu, juga ada sistem kasta yang semakin membatasi keduanya, bahkan juga batasan antara sesama perempuan yang memiliki kasta yang berbeda. Hal ini yang coba diulik oleh Oka Rusmini dalam novelnya yang berjudul Tarian Bumi. Oka Rusmini adalah seorang penulis puisi, novel, cerita pendek, dan lain-lain. yang tinggal di Denpasar, Bali. Beberapa karya Oka Rusmini selain Tarian Bumi adalah Sagra, Kenanga, Tempurung, dan lain-lain. Oka Rusmini banyak mendapatkan penghargaan dalam kariernya sebagai seorang penulis, di antaranya dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Anugerah Sastra Tertular, Balai Bahasa Denpasar Provinsi Bali.
Novel karya Oka Rusmini ini menceritakan perbedaan kehidupan perempuan yang berasal dari kasta yang berbeda, tetapi karena pernikahan mereka berada dalam satu kehidupan. Seorang perempuan Sudra yang dinikahi oleh lelaki Brahmana yang bernama Luh Sekar. Pernikahan ini tentu tidak direstui oleh Ibu Ngurah Pidada karena tidak satu kasta. Hal ini, menyebabkan dominasi antara satu perempuan dengan perempuan lainnya. Hal tersebut, terlihat dari kutipan berikut,
“Kau tak pernah bisa memberi kebahagiaan pada anakku, Kenanga!”… Suara nenek terdengar getir dan amat menusuk. Ibu hanya bisa diam sambil menelan tangisnya”
“Perempuan senior itu tak habis-habisnya memaki Ibu. Kata-kata kasar dan sumpah serapah yang tidak jelas maknanya selalu meluncur teratur dari bibir tuanya yang selalu terlihat marah. Sebagai perempuan junior, Ibu hanya bisa menunduk. Ibu tak pernah melawan Nenek.” (Rusmini, 2017)
Dari dialog di atas terlihat bahwa konstruksi kasta tidak bisa dihancurkan begitu saja walaupun pada dasarnya kasta yang ia miliki sudah berubah karena status pernikahan yang dijalaninya, terutama dari orang yang memiliki kasta yang lebih tinggi dan lebih tua. Dengan demikian, tradisi dan budaya yang memang sudah ada di dalam masyarakat akan dianggap sebagai ruang agung yang tidak bisa digoyahkan oleh apa pun. Selain itu, keterbatasan kebebasan perempuan juga dikekang oleh perempuan lainnya. Padahal saat ini gerakan perempuan semakin bertebaran, bahkan belakangan di sosial media muncul hashtag “women support women”. Hal ini membuktikan bahwa perempuan secara kasat mata tidak lagi berada pada posisi marginal dan tidak lagi diopresi oleh berbagai tekanan. Namun, pada kenyataannya kebebasan atau kesetaraan yang dihadirkan masih bersifat imajinatif.
Tradisi lain yang dibahas dalam novel ini adalah terkait dengan perilaku perempuan bangsawan yang harus menjaga sikapnya, bahkan untuk tertawa saja ada aturanya. Seorang perempuan bangsawan harus menjaga gaya tertawanya. Hal ini tergambar dalam dialog berikut.
“Ibu memang tidak menyukai tawa keras, terlebih tawa seorang perempuan. Kata Ibu, perempuan bangsawan harus memiliki aturan agar dihargai” (Rusmini, 2017)
Dari kutipan di atas terlihat, untuk membahagiakan dirinya sendiri, perempuan masih didominasi oleh tradisi yang mengharuskan seorang perempuan untuk mengikuti tradisi tersebut agar tetap dihargai sebagaimana mestinya. Namun, perempuan akan mudah goyah dengan tradisi yang ia miliki sebelumnya dalam mengambil keputusan yang ia inginkan ketika ada laki-laki yang berada di belakangnya. Hal ini juga digambarkan dengan baik oleh Oka Rusmini pada permasalahan cinta Dayu Telaga dan Wayan Sasmitha. Ibu Wayan akhirnya menyetujui pernikahan mereka karena Wayan sudah mengambil keputusan. Simone de Beauvoir juga menyatakan dalam bukunya bahwa perempuan dalam mencapai sesuatu tidak terbebas dari peran laki-laki di belakangnya (Beauvoir, 2016).
Ketika Telaga memutuskan menikah dengan Wayan dapat diartikan bahwa ia sudah melawan tradisi dan budaya yang ada pada masyarakat Bali. Dengan demikian, dia akan semakin berada di posisi marginal. Jangankan dengan orang-orang yang ada di griyanya, tetapi bahkan oleh mertuanya sendiri yang berkasta Sudra. Begitu juga dengan iparnya Telaga yang berani menyentuh tubuh Telaga. Dengan alasan karena Telaga tidak lagi dari kasta Brahmana. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
“Kau tetap cantik, Dayu, dalam kondisi apa pun. Sekarang kecantikanmu makin sempurna. Tubuhmu lebih indah. Kau terlihat lebih kasar dan mengandung gairah. Dulu, aku sering menonton tubuhmu di panggung dan berharap bisa menyentuh tubuh porselen itu. Sekarang tubuhmu lain. Lebih hidup. Menjadi perempuan Sudra memang menarik. Kecantikanmu sebagai seorang perempuan makin lengkap” (Rusmini, 2017)
Dari penjabaran di atas, terlihat bahwa tradisi yang ada di masyarakat sudah menjadikan perempuan di posisi sebagaimana mestinya. Ketika perempuan melawan tradisi, mereka semakin terperangkap dengan “kebebasan imajinatif”. Perempuan diharuskan untuk memilih kebebasan berdasarkan hatinya, tetapi akan dikekang oleh tradisi yang ada atau mengikuti tradisi yang ada. Perempuan akan memiliki kebebasan yang sudah seharusnya dimiliki oleh perempuan pada kasta tersebut. Hal itu yang dijelaskan dalam novel Tarian Bumi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tradisi dan budaya yang ada dalam masyarakat dianggap sebagai hal yang terbaik dan menjadikan perempuan sebagaimana mestinya.
Discussion about this post