Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Ketika tidak punya smartphone, seseorang dianggap nggak keren. Ketika tidak memiliki akun media sosial bisa saja dianggap nggak gaul. Ketika tidak ikut atau tidak pandai bermain video game atau game online, bahkan bisa dianggap ketinggalan. Kalimat-kalimat itu mungkin saja pernah terbaca dan terdengar sebagai guyonan atau ejekan. Dan tidak sedikit pula terjadi pelanggaran hukum dan norma dari penggunaan media sosial. Oleh sebab itu, diperlukan perilaku bijak dalam bermedia sosial.
Perkembangan teknologi informasi begitu cepat dan pesat. Komputer, smartphone, laptop, dan gadget lainnya seakan sudah menjadi suatu keharusan untuk dimiliki. Keberadaan benda-benda canggih itu dapat mengakses berbagai macam informasi, pengetahuan, dan persoalan. Mulai dari suatu hal yang mendatangkan kebaikan, hingga yang akan menimbulkan kemudaratan. Pada umumnya, generasi muda lebih mendominasi dalam penggunaan perangkat komunikasi dan informasi. Hal itu dapat saja disebabkan dengan kebutuhan dunia mereka yang harus mengetahui informasi secara cepat, baik itu sebagai penunjang kebutuhan dunia pendidikan, maupun sebagai gaya hidup.
Setahun atau dua tahun yang lalu, saya memutuskan untuk menghapus beberapa akun media sosial. Hal itu dilakukan karena satu dan lain hal. Salah satu alasannya, ketika itu saya merasa menggunakan media sosial begitu “menakutkan”. Seseorang dapat saja diproses secara hukum ketika status, cuitan, dan takarir yang ia tulis menyinggung seseorang. Nyatanya, beberapa teman juga merasakan hal yang sama. Namun, alasan lain mereka untuk berhenti sementara menggunakan media sosial ialah disebabkan oleh persoalan psikologis.
Hal-hal yang ditampilkan di media sosial seringkali adalah sebuah ilusi. Namun, kita sebagai pengguna media sosial tidak mudah untuk memilih ‘masa bodoh’ saja dengan kenyataan tersebut. Alhasil, sulit pula untuk menghindari membanding-bandingkan diri dengan apa yang dilihat. Di sinilah muncul rasa insecure dan melihat diri sendiri tidak lebih ‘pantas’ dibandingkan orang lain.
Ketika menghapus sebagian akun media sosial, nyatanya saya juga tidak serta-merta merasa lebih tenang seperti yang diperkirakan sebelumnya. Salah satu dampaknya, saya sering ketinggalan informasi atau hal-hal yang tengah hangat dibicarakan. Pernah suatu kali di tongkrongan, saya tidak paham tentang topik obrolan teman-teman. Alhasil, saya pun menjadi bahan tertawaan. Namun, sebetulnya hal itu tidak terlalu menjadi persoalan yang krusial.
Persoalan sebetulnya ialah ketika media sosial menjadi jalur penyebar informasi yang cepat untuk beberapa keperluan, seperti pekerjaan dan informasi suatu produk. Benar, akhirnya saya membuat kembali akun media sosial untuk keperluan yang krusial tersebut. Media sosial dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mempelajari suatu produk yang akan dimiliki. Saya jadi kepikiran kalau media sosial ini sebenarnya mengekang sehingga pengguna perlu bijak dalam menggunakannya.
Discussion about this post