Oleh: Arina Isti’anah, S.Pd., M.Hum.
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma dan Mahasiswa Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada)
Jika diperhatikan rekomendasi tempat wisata di berbagai media sosial, kita sering kali menemukan kata “healing”. Kata itu merujuk pada destinasi wisata yang menawarkan keindahan dan ketenangan pikiran. Sebagai contoh, situs web pariwisata indonesia.travel secara eksplisit menawarkan berbagai lokasi yang cocok di Semarang, seperti Brown Canyon, Candi Gedong Songo, dan Rawa Pening untuk mengajak para turis lokal mengunjungi wisata alam yang disebut “menawan” dan “menenangkan pikiran”.
Kata “healing” saat ini dianggap sebagai bahasa gaul, yakni bahasa yang digunakan dalam pergaulan yang bersifat nonformal (Krisna, 2014; Azizah 2019). Walaupun pada awalnya digunakan di kalangan remaja, bahasa gaul ini pada akhirnya digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Hal tersebut juga tampak pada kata “healing” yang saat ini telah digunakan oleh berbagai kalangan, termasuk para penyedia layanan jasa pariwisata, blog pirbadi, dan media massa untuk menawarkan lokasi yang menarik bagi para pelancong. Penggunaan kata “healing” secara luas oleh berbagai kalangan bisa dikatakan sebagai bentuk reproduksi wacana.
Beberapa contoh reproduksi wacana “healing” dalam pariwisata ditemukan dalam judul berita berikut: “4 rekomendasi tempat healing terbaik di Semarang yang wajib dikunjungi” (Pikiran Rakyat), “3 tempat healing di Semarang untuk Hilangkan Penat” (Kumparan), 7 Tempat Wisata Healing untuk Tenangkan Pikiran agar Jiwa Lebih Sehat (orami.com), “6 Tempat Self Healing Hits di Jakarta yang Sayang jika Tak Dikunjungi” (glints.com), “5 Tempat Healing Di Bandung Paling Nyaman dan Recommended” (blog.eigeradventure.com), dan sebagainya.
Kata “healing” sudah dianggap berterima dalam komunikasi verbal dan tekstual walaupun dalam konteks nonformal. Penggunaan kata “healing” dalam media massa bertujuan untuk menarik minat pembaca dan membagikan perasaan solidaritas atau keakraban. Makna kata “healing” telah dianggap lazim dan umum diketahui oleh para pembaca. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa bahasa gaul tidak hanya ditandai oleh usia penggunanya namun juga relasi interpersonal antara penutur/penulis dan pendengar/ pembaca.
Beberapa kalangan mungkin mempertanyakan atau menganggap bahwa penggunaan kata “healing” dalam pariwisata salah kaprah atau tidak tepat. Namun, dalam linguistik perubahan makna leksikal seperti yang tampak pada kata “healing” bukanlah sesuatu yang salah dan memang sangat mungkin terjadi. Hal tersebut merupakan bukti bahwa bahasa terhubung dengan aspek-aspek dalam kehidupan nyata, termasuk perubahan sosial yang dialami penutur bahasa.
Sebelum kata “healing”, telah ada banyak istilah yang mengalami perubahan makna. Sebelum ada sosial media, seperti Instagram, kata “archieve” diasosiasikan dengan penyimpanan berkas saja. Saat ini, perluasan kata tersebut mengandung makna penyimpanan gambar, bukan hanya berkas-berkas. Hal serupa juga ditemukan pada kata “wall” di Facebook yang bukan berarti “dinding” pembatas rumah, melainkan dinding pada laman profil di Facebook. Hollmann (2007) menyebut perubahan makna leksikal dapat dikategorikan ke dalam ameliorasi (perubahan makna menjadi lebih positif), peyorasi (perubahan makna menjadi lebih negatif), generalisasi, perluasan, dan penyempitan.
Secara harfiah, kata “healing” berasal dari bahasa Inggris yang bermakna “penyembuhan dari sakit, baik melalui pengobatan, doa, atau kekuatan alam” (Longman Dictionary). Dalam media massa di Indonesia, kata “healing” memang telah digunakan dalam pemberitaan di media massa. Jika ditilik dari kumpulan data yang tersedia di Leipzig kurpus dengan membatasi sumber dari artikel berita tahun 2020, terdapat lebih dari 7 juta kata “healing” yang digunakan dalam artikel berita sepanjang tahun tersebut. Jika ditilik lebih lanjut, ternyata kata “healing” masih berada pada konsep makna penyembuhan yang berasosiasi dengan kata-kata lain, seperti “trauma”, “psikolog”, “banjir”, “bencana”, “pengungsian”, dan “anak-anak”. Tidak ada kaitan makna antara kata “healing” dengan wisata atau pelancong. Namun demikian, saat ini kata “healing” lazim digunakan untuk merujuk pada tempat wisata yang membuat orang-orang nyaman, tenang, dan bahagia. Konsep makna “healing” telah mengalami perluasan karena aktivitas yang melibatkan “healing” tersebut tidak selalu berangkat dari kondisi tubuh yang sakit.
Jika boleh dikaitkan dengan situasi saat ini, perluasan makna “healing” dapat kita kaitkan dengan kondisi pandemi COVID-19 yang mengharuskan jutaan orang tetap di rumah, berdampingan dengan kebosanan, ketakutan, bahkan kecemasan akibat pandemi COVID-19. Kondisi yang dianggap menghancurkan mental sebagian besar kalangan tak terbatas umur dan profesi. Keharusan untuk tetap tinggal di rumah membuat manusia tidak memiliki kebebasan dan berbagai keterbatasan. Hal tersebut secara psikologis menimbulkan trauma dan kesedihan. Jadi, kata “healing” yang digunakan saat ini masih terkait dengan makna dasarnya, yakni penyembuhan dari trauma seperti trauma akibat pandemi Covid-19. Namun demikian, penggunaan kata “healing” pada konteks pariwisata merupakan konteks baru seperti kata “healing” yang lazim digunakan saat ini.
Ulasan di atas menunjukkan bahwa bahasa selalu berkembang dan dipengaruhi oleh konteks. Jika dalam ranah teknologi kita menyerap banyak kosakata asing, pandemi COVID-19 ternyata juga mempengaruhi perluasan makna kosakata. Makna “healing” telah mengalami perluasan makna ketika berada pada konteks pariwisata sebagai sesuatu yang dianggap mampu menyembuhkan kepenatan, kecemasan, dan kebosanan. Perluasan makna bahasa tentunya akan selalu kita alami sebagai akibat dari perubahan kondisi sosial, ekonomi, politik, bahkan budaya.
Jadi, apakah teman-teman sudah menentukan tempat “healing” pekan ini? Jangan lupa untuk tetap menjaga prokes ya!
Discussion about this post