Sabtu, 14/6/25 | 15:33 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI RENYAH

Rumah Makan Minang

Minggu, 19/6/22 | 15:29 WIB

Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)

 

Hal paling saya sukai dalam melakukan perjalan jauh menggunakan jalur darat adalah berhenti di rumah makan, selain menikmati pemandangan tentunya. Berhenti di rumah makan tidak hanya sekadar mengisi perut lapar, tapi juga rehat sejenak dari pegalnya berkendaraan. Entah itu naik angkutan umum atau kendaraan pribadi, baik pengemudi maupun penumpang, semuanya sama-sama melelahkan dan butuh rehat sejenak. Bagi pengemudi bila tidak rehat, tentu berpotensi mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.

Bagi saya, berhenti di rumah makan menjadi momen yang selalu ditunggu. Kiranya sulit untuk dilupakan mengenai kenangan satu itu. Seperti perjalanan dari Padang ke Jakarta atau sebaliknya, banyak kenangan mengenai pemberhentian di rumah makan. Bila perjalanan menggunakan angkutan umum, seperti bus AKAP (Antarkota Antarprovinsi) misalnya, pemberhentian di rumah makan sudah ditentukan lokasinya. Biasanya bus AKAP asal ranah Minangkabau akan berhenti di rumah makan Minang (rumah makan Padang). Bagi pembaca yang pernah melakukan perjalanan serupa, tentu paham nama rumah makan yang menjadi pemberhentian bus tersebut.

BACAJUGA

Satu Tikungan Lagi

Masih Tentang Busa dan Bilasan

Minggu, 08/6/25 | 17:51 WIB
Senyuman Kecil dan Mendengar: Hal Kecil yang Berdampak Besar

Cerita dari Balik Busa dan Bilasan

Minggu, 01/6/25 | 16:05 WIB

Namun, jika melakukan perjalanan dengan kendaraan pribadi, maka lain lagi ceritanya. Kita harus mencari sendiri tempat pemberhentian dari sekian banyaknya rumah makan sepanjang lintas Sumatera. Saya kira beraneka ragam jenis rumah makan dengan spesifikasi menu yang disediakan dan yang paling membekas di ingatan saya adalah pemberhentian di rumah makan Minang. Ada beberapa alasan kenapa saat itu keluarga yang ikut dalam rombongan perjalanan menyarankan untuk berhenti di rumah makan Minang.

Pertama, tentang cita rasa dan selera. Untuk hal ini saya dan rombongan keluarga sepakat bahwa tujuan utama berhenti di rumah makan Minang adalah cita rasa yang ditawarkan dari olahan masakannya. Randang, gulai babek, tambusu, dendeng lambok, menjadi menu olahan daging sapi yang menjadi incaran kami untuk berhenti. Bukan berati menu lainnya seperti gulai ayam, ikan bakar, talua dadar, dan lainnya tidak favorit, hanya saja ini soal selera. Sebagian besar dari kami memang menyukai masakan olahan daging sapi.

Kedua, jumlahnya yang banyak dan mudah dijumpai. Hal ini juga menjadi pertimbangan karena perjalanan yang ditempuh selama dua hari. Tentu pemberhentian di rumah makan tidak hanya dilakukan sekali saja, akan ada pemberhentian selanjutnya hingga sampai di kampung halaman. Dengan mudahnya ditemukan selama dalam perjalanan, tentu akan memudahkan kami untuk berhenti makan dan rehat. Tanpa adanya kekhawatiran akan sulitnya mencari tempat makan di pemberhentian selanjutnya.

Ketiga, faktor halal. Dalam perjalanan itu memang tidak ada perdebatan terhadap persoalan ini. Bagi kami pada saat itu, kalau sudah ada label rumah makan Minang, berarti sudah ada jaminan halalnya. Beberapa hari yang lalu, saya membaca opini dari Fadly Rahman, Dosen Sejarah dan Filologi Universitas Padjajaran di jawapos.com dengan judul “Rendang, Kelezatan, dan Kehalalan”. Ada pernyataan menarik mengenai faktor kehalalan rumah makan Minang dari opini tersebut, yaitu “penyematan nama ”Minang” di belakang kata restoran atau rumah makan bukanlah semata penekanan identitas kedaerahan, tapi lebih ditujukan untuk memberi jaminan halal atas hidangan yang disajikan bagi para konsumennya”.  Saya kira, alasan ini juga yang membuat banyak konsumen atau yang ingin berhenti di rumah makan Minang tidak khawatir dengan menu yang dihidangkan.

Namun begitu, hal yang tidak kalah menarik dan menyenangkannya dari perjalanan itu adalah pembicaraan di atas mobil. Macam-macam topiknya, dan berbagai pula orang yang menceritakannya. Yang jelas, ada satu pembicaraan yang hingga saat ini masih saja terngiang-ngiang di telinga, soal kehalalan. Untuk makanan saja ada usaha untuk berhenti di tempat yang menyediakan menu halal. Begitu pun seharusnya hubungan, juga harus disegerakan ke tahapan yang halal. Ah sudahlah.

Tags: #Salman Herbowo
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Puisi-puisi Elly Delfia

Berita Sesudah

Perubahan Makna Kata “healing” dalam Pariwisata

Berita Terkait

Satu Tikungan Lagi

Masih Tentang Busa dan Bilasan

Minggu, 08/6/25 | 17:51 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah)   Minggu lalu, di rubrik Renyah, saya menulis tentang pengalaman mencuci pakaian—aktivitas sederhana yang diam-diam...

Senyuman Kecil dan Mendengar: Hal Kecil yang Berdampak Besar

Cerita dari Balik Busa dan Bilasan

Minggu, 01/6/25 | 16:05 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah)   Ada satu kebiasaan yang tak pernah absen menemani masa-masa kuliah saya dulu, menumpuk cucian....

Senyuman Kecil dan Mendengar: Hal Kecil yang Berdampak Besar

Jam Tangan dan Seni Menjadi Siapa

Minggu, 25/5/25 | 13:50 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah) Seorang teman pernah berujar tentang urgensi dari jam tangan. Ia menjelaskan tentang benda kecil yang...

Senyuman Kecil dan Mendengar: Hal Kecil yang Berdampak Besar

Tertinggal Karena Lupa, Tertawa Karena Ingat

Minggu, 18/5/25 | 16:44 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah)   Lupa adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Dalam keseharian, kita sering kali dibuat repot...

Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Menyulam Nilai Lewat Cerita: Inyiak Bayeh dan Cerita-cerita Lainnya

Minggu, 11/5/25 | 17:14 WIB

Lastry Monika Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand/Kolumnis Rubrik Renyah   Dalam tiga minggu terakhir, saya selalu mengangkat tema seputar...

Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Talempong Batu: dari Batu ke Nada

Minggu, 04/5/25 | 18:02 WIB

Lastry Monika (Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand/Kolumnis Rubrik Renyah)   Bila saya membawa teman pulang kampung, ibu hampir selalu...

Berita Sesudah
Keberagaman Hayati dalam Ekolinguistik

Perubahan Makna Kata “healing” dalam Pariwisata

Discussion about this post

POPULER

  • Bubur Kirai Kuliner Khas Muaro Bungo Jambi dari Zaman Baheula

    Bubur Kirai Kuliner Khas Muaro Bungo Jambi dari Zaman Baheula

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara dan Ulasannya oleh Azwar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Maling Sawit dan Getah Karet Marak di Dharmasraya, Petani Menjerit

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puisi-puisi Elfa Edriwati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kata Penghubung dan, serta, dan Tanda Baca Koma (,)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keunikan Kata Penghubung Maka dan Sehingga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024