Cerpen: Desti Marlina
Pagi ini matahari terlihat malu-malu. Enggan menampakkan cahaya indahnya namun langit juga tidak memberikan pertanda akan turunnya hujan. Dari persimpangan jalan itu, tampak seorang gadis berjalan menuju kampus. Jarak tempat tinggalnya tak jauh, hanya berkisar lima menit jalan kaki. Gea, nama panggilan yang disematkan oleh teman-teman kampusnya. Ini tahun kedua Gea berstatus sebagai mahasiswa dan tentu telah banyak proses yang di alaminya hingga berada di titik ini.
Gea telah menjelma menjadi gadis anggun dengan jilbab besar yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Jika pulang ke kampung, tak jarang teman-temannya memanggil dengan sebutan ukhti sambil tertawa. Namun, Gea tak ambil pusing akan hal remeh-temeh seperti itu. Sekarang, fokus utamanya adalah ia ingin terus mendalami ilmu agama dan tentunya menjadi seorang aktivis kampus yang sudah lama ia cita-citakan.
“Assalamualaikum.” Ucap Gea ketika sampai di ruang kelas. “Waalaikumsalam,” jawab dua orang temannya. Kelas masih telihat sepi, hanya ada lima orang termasuk dirinya, sedangkan sisanya sibuk menyalin tugas dari Pak Joko. Hari ini jadwal Gea cukup padat, mulai dari kuliah, rapat organisasi, serta liqo. Ketika di kampus, mahasiswa memang banyak menghabiskan waktu dari pagi hingga sore dan tak jarang hari libur pun mereka masih disibukkan dengan kegiatan kampus.
Di kampus, Gea dikenal sebagai seorang muslimah yang baik. Memiliki sifat ramah, membuatnya mempunyai banyak teman. Namun, banyak orang yang tidak mengetahui masa lalunya. “Ge, jangan lupa nanti malam kita nongkrong ya,” ucap Rani pada Gea. “Nanti aku jemput ya?” timpal salah seorang laki-laki bertubuh tinggi. “Cieee, uhuyyy.” Balas semua temannya. Gea hanya tersenyum malu, lalu menghidupkan motor dan mereka pulang menuju rumah masing-masing.
“Bu, nanti malam Gea mau keluar, nanti Randi yang jemput,” ucap Gea selesai makan malam. Ibunya hanya diam, sementara adiknya sibuk mengerjakan tugas sekolah. “Boleh ya, Bu?” tanya Gea kembali. “Ge, kamu sekarang udah SMA, bukan bocah ingusan lagi. Seharusnya sekarang kamu udah mulai memikirkan masa depan. Rajin-rajin sekolah biar bisa kuliah di kampus negeri. Satu lagi, kurangi nongkrong sama teman-temanmu itu. Apa kamu tidak mau membahagiakan Bapak sama Ibu?”
Gea hanya diam, lalu pergi menemui Randi yang datang beberapa menit yang lalu. Belum sempat Ibunya memberikan izin, ia sudah pergi begitu saja. Terjebak dalam pergaulan anak muda membuat Gea menjadi anak yang membangkang pada orang tuanya. Masa SMA ia habiskan dengan hal duniawi, pacaran, keluar malam, dan tidak menutup aurat menjadi hal yang menyenangkan. Hampir tiga tahun lamanya, Gea terjebak dalam kemaksiatan.
Pada suatu malam, Ayahnya jatuh sakit. Meski membangkang pada orang tua, Gea tetaplah menyayangi mereka. Gea sangat ketakutan, ia menangis sejadi-jadinya. Ketika itu, ujian kelulusan tengah berlangsung. Ia benar-benar terpuruk. Ia sama sekali tak bisa berkonsentrasi saat mengerjakan ujian, kondisi Bapaknya selalu melintas dalam pikiran. Harta keluarga habis untuk membiayai pengobatan sang Bapak. Teman-temannya satu per satu juga mulai menghilang, termasuk Randi yang sudah dua tahun ini menjadi kekasihnya.
Ini adalah titik terberat dalam hidup Gea, sebelumnya perjalanan hidup yang dialaminya tak lepas dari tawa dan bahagia. Sekarang, pipinya selalu basah oleh air mata. Menyesali semua perbuatan yang pernah ia lakukan. Hal pertama yang Gea lakukan adalah meminta maaf kepada kedua orang tuanya. “Pak, maafin Gea ya. Selama ini Gea selalu memntingkan ego dan durhaka sama Bapak dan Ibu. Gea janji akan jadi orang yang lebih baik dan akan mencari beasiswa sesuai keinginan Bapak sama Ibu.” Ucap Gea sambil memeluk Bapaknya yang terlihat masih lemah.
“Alhamdulillah, Nak. Ini yang Bapak tunggu selama ini. Bapak ingin kamu menjadi orang sukses dan mampu menjaga kehormatanmu sebagai seorang wanita.” Pesan Bapak pada anak gadis sulungya. Bapaknya termasuk orang yang tak suka banyak biacara, tidak seperti Ibu yang selalu mengomel setiap hari. Ya, memang begitulah sosok Bapak, lebih sering diam, dan tampak acuh pada anak-anaknya. Namun, tak mengurangi tingkat sayang seorang Bapak.
Setelah itu, Gea pergi ke sekolah untuk menemui wali kelasnya. Ia menceritakan keinginannya untuk bisa melanjutkan kuliah dengan bantuan beasiswa. “Maaf Gea, bukan Ibu tidak ingin membantu, namun kuota pendaftarannya sudah penuh. Coba saja kamu datang lebih awal, pasti Ibu bisa bantu.” Tanpa bertanya apapun lagi, Gea pergi meninggalkan ruangan majelis guru. “Ya Tuhan, ketika aku ingin meninggalkan masa kelam, kenapa rasanya ujian tak bosan-bosan menghampiri.” Teriak Gea sambil membawa motor dengan kecepatan tinggi.
“Ge! Hati-hati, kurangi kecepatan motornya!” Teriak Ayu yang berusaha menyamakan kecepatan motornya dengan Gea. Mendengar hal itu, Gea menepi ke pinggir jalan. Suara yang tak asing ditelinganya. “Ay! Kamu kapan pulang? Aku rindu.” Sambil memeluk Ayu dan menangis dalam dekapan Ayu. Ayu tak lain adalah sahabat dekat Gea sejak kanak-kanak. Setelah lulus sekolah dasar, orang tuanya mengirim Ayu ke pondok di luar kota. Sehingga, mereka sangat jarang bertemu. “Kita cari tempat makan aja yuk, Ge?” Ajak Ayu menenangkan Gea.
Mereka pun pergi sambil beriringan menuju tempat makan. “Aku dengar Bapak kamu sakit ya, Ge?” Tanya Ayu memulai percakapan. “Iya, Ay. Tapi sekarang uda mulai membaik. Kamu kapan pulang, Ay’?” Tanya Gea penasaran. “Udah tiga hari, Ge. Maaf ya, aku belum sempat kerumah, eh tahu-tahunya kita jumpa di jalan. Kamu ada masalah apa, Ge? Aku liat kamu sedang banyak pikiran,” ucap Ayu sambil memperbaiki posisi duduknya.
“Aku ingin kuliah, Ay. Namun, jika tidak dapat beasiswa sepertinya Bapak tidak akan sanggup membiayai kuliah, dan adek-adekku juga masih sekolah. Aku juga tak ingin membebankan Bapak perihal ini,” tegas Gea sambil meneteskan air mata. Gea sekarang terlihat amat rapuh. “Hmmmm, gini, Ge. Allah menguji hambanya sesuai dengan kemampuan dari hamba itu sendiri. Jadi, jika sekarang kamu sedang mengalami banyak ujian, itu tandanya Allah sayang sama kamu. Allah tahu kamu mampu menghadapinya, Ge.” Sambil menepuk bahu Gea.
Ayu memang sosok sahabat terbaik buat Gea. Memiliki ilmu agama yang bagus, tutur kata yang indah, dan Ayu telah menjadi muslimah yang hampir sempurna. Gea tampak tenang berada di dekat Ayu. Semua keluh-kesah Gea telah disampaikannya pada Ayu. “Ay, aku ingin meminta kamu membantuku.” Tegas Gea pada Ayu. “Apa itu, Ge? Insya Allah aku akan membantu semampuku.” Sambil memperbaiki jilbab yang tertiup oleh angin.
“Aku ingin menjadi sepertimu, Ay. Menjadi muslimah yang taat perintah Allah dan meninggalkan maksiat.” Mendengar niat mulia dari Gea, Ayu memeluknya dengan erat dan larut dalam air mata bahagia. Cahaya siang perlahan mulai redup, mendatangkan senja pada alam semesta. Selepas puas bercerita, mereka pulang bersama datangnya malam. Suara Jangkrik terdengar begitu meresahkan dan gerimis perlahan membasahi atap rumah warga.
“Selamat malam, Gea. Ini Ibu Dewi, setelah Ibu berkonsultasi dengan Kepala Sekolah, kami memutuskan bahwa kamu boleh mendaftarkan diri sebagai calon penerima beasiswa melalui sekolah karena ada yang mengundurkan diri. Besok pagi temui ibu di sekolah.” Kira-kira begitulah pesan singkat dari Ibu Dewi yang membuat Gea menangis haru. Setidaknya masih ada kesempatan bagi Gea untuk melanjutkan kuliah dengan bantuan beasiswa.
Perlahan ujian yang dialaminya dilalui dengan baik. Kondisi kesehatan Bapaknya juga sudah mulai membaik. “Pak, besok Gea mau ke sekolah. Kata Bu Dewi, Gea masih punya kesempatan buat daftar program beasiswa. Doakan lancar ya, Pak, Bu,” ucap Gea selesai shalat Maghrib. Harapannya untuk kuliah, mulai terbuka lebar.
“Pasti Bapak doakan,” sambil menepuk bahu anak sulungnya.
“Ini beberapa persyaratannya, silahkan kamu lengkapi sampai besok ya,” ucap Bu Dewi memulai percakapan. “Baik, Bu.” Balas Gea dengan tersenyum. Sehingga lesung pipinya terlihat. “Kamu mau ambil jurusan apa, Gea?” Tanya Bu Dewi. Gea hanya diam. Ia masih belum menemukan kampus dan jurusan yang sesuai dengan kemampuannya. “Masih belum tahu, Nanti Gea pikirkan lagi, Bu.”
Malamnya, siap shalat Maghrib, Gea pergi ke rumah Ayu. Saat ini, hanya Ayu tempat Gea berdiskusi. “Kira-kira jurusan apa yang bagus ya, Ay?” Tanya Gea pada Ayu. “Hmmm, menurutku untuk kategori Soshum, aku menyarankan komunikasi ataupun ekonomi, Ge, tapi itu tergantung minat dan kemampuan kamu, Ge,” jawab Ayu sambil merapikan bukunya. Mendengar jawaban Ayu, Gea terdiam sambil memikirkan jurusan yang diinginkannya.
Bagi calon mahasiswa, memilih jurusan adalah hal yang membingungkan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Apalagi jika kuliah di kampus negeri. Peminatnya cukup banyak, sedangkan kuota yang disediakan hanya sedikit. Ayu sendiri telah memilih Al-Azhar sebagai tempat melanjutkan pendidikan. Hal tersebut juga membuat Gea berat berpisah dengan sahabatnya. “Selama enam tahun kemaren kita berpisah jauh, Ay dan sekarang kamu ingin meninggalkan aku kembali. Bukan satu atau dua pulau yang menjadi pemisahnya, tapi benua, Ay.”
“Raga kita boleh saja berpisah, Ge, tapi hati kita akan tetap selalu bersama,” jawaban singkat Ayu berhasil membuat Gea menangis tersedu-sedu. Ayu akan tetap menjadi sahabat terbaik dalam hidupnya. Setelah perbincangan mereka malam itu, esok lusa Ayu berangkat meninggalkan rumah, orang tua, Negara, serta sahabat terbaiknya. Gea pun sempat mengantar Ayu menuju bandara.
Pekan ini sudah pekan kedua Ayu di Kairo. Dari Ayu, Gea banyak berubah, bahkan sekarang ia sudah tak malu menggunakan jilbab yang berukuran besar. Jilbab yang ia pakai, berhasil menutup dada serta bentuk tubuhnya. Kecantikannya pun semakin terlihat. “Masya Allah, anak Bapak anggun sekali.” Kalimat singkat Bapak yang berhasil membuat Gea tersenyum malu. Sembari menunggu tes kelulusan, Gea mencari kesibukkan dengan menulis.
Menulis memang menjadi hobi baru setelah ia memutuskan untuk hijrah. Namun, terlepas dari itu, sejak kecil ia memang suka puisi dan cerita fiksi. Puisi karya Chairil Anwar selalu menjadi objek utamanya. Kemudian, kumpulan cerpen karya W.S Rendra. “Gea!” Panggil Ibu dari dapur. Mendengar hal itu, Gea lalu bangkit dari dan berjalan menuju dapur.
“Ini bekal untuk Bapak. Tolong kau antar ke kebun ya! Ibu mau ke rumah Etek Linda.” Gea pun langsung menuruti perintah ibunya. Jarak rumah ke kebun cukup jauh. Ia harus menggunakan motor agar sampai tepat waktu. Baru separuh perjalanan, gerimis datang tanpa diterka. Seketika membasahi jilbab dan pakaiannya. Gea pun memutuskan untuk mencari tempat berteduh.
“Maaf, saya boleh pinjam gawainya?” Tanya seorang pemuda yang berteduh di tempat yang sama. Seketika Gea terkejut. Sebelum berhenti, ia tak menyadari bahwa ada orang selain dirinya. “Maaf, saya tidak ada membawa gawai, Pak.”
“Haaaahhh, Bapak?” Jawab pemuda berbaju abu-abu. Gea lalu menoreh pada sosok pemuda yang berbicara di sampingnya. “Saya masih muda kok, belum Bapak-Bapak dan juga belum Istri.” Jawabnya sambil tersenyum. Pemuda itu cukup tampan. Tutur katanya juga sopan dan sepertinya usia mereka tidak terlalu jauh. Hujan hampir reda dan Gea memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
“Namaku Hasan. Salam kenal ya,” teriak pemuda itu ketika Gea hendak menyalakan motornya. Gea tak menjawab apa pun, lalu melaju dengan kendaraannya.
Tanggal 20 Maret 2019. Momen yang paling bersejarah bagi Gea. Ia diterima di salah satu perguruan tinggi terbaik di Sumatera. Selain itu, ia juga berhasil mendapatkan beasiswa penuh. Tangis haru keluarga pecah seketika. Setelah beberapa bulan dari hari kelulusan, Gea dengan bangga diantar oleh Bapak dan Ibunya menuju kampus impian. “Nak, di sini baik-baik ya. Belajar yang rajin, jangan tinggalkan shalat, berteman dengan orang-orang baik, dan jangan keluyuran di tempat orang.” Pesan seorang Bapak pada anak sulungnya.
“Gea janji akan kuliah dengan baik, Pak. Bapak dan Ibu baik-baik di kampung. Kalau ada apa-apa hubungi Ge ya, Pak. Gea sayang sama kalian.” Bapak pun langsung memeluk erat putri sulungya. Kemudian, ibunya dan disusul oleh dua orang adiknya. Setelah orang tuanya pulang, Gea langsung pergi menuju kamarnya. Asrama sekarang menjadi rumah baru bagi Gea.
Asrama telah berhasil mendidik Gea menjadi muslimah yang semakin baik. banyak kegiatan-kegiatan kemuslimahan yang dilaksanakan. Selain itu, di kampus juga banyak sekali ragam kegiatan kemuslimahan yang ada di setiap fakultas. “Gea, besok sore datang ke masjid ya! Ada kajian di setiap pekannya.”Ajak Kak Nisa selepas mentoring. “Insya Allah, Kak.”
Sejak hijrah, Gea tumbuh dan bergaul di lingkungan yang cukup baik. Ia tak mau masuk ke lembah yang sama beberapa tahun lalu. Mempelajari ilmu agama tak bosan-bosannya Gea lakukan. Selesai pulang kuliah, Gea pun langsung menuju masjid. Baru beberapa detik ia sampai di parkiran Masjid, tampak seorang pemuda yang tak asing bagi dirinya. Pemuda itu seketika juga menoreh ke arah yang sama.
Dua pasang mata saling berhadapan. Berusaha menjawab tanya yang sudah terlintas dalam pikiran. “Laki-laki itu? Apa dia laki-laki yang sama ketika? Ah sudahlah.” Gea pun cepat menundukkan pandangannya dan berjalan masuk ke dalam masjid. Ia takut tak mampu mengendalikan perasaannya. Hasan, laki-laki yang sudah mulai mengagumi Gea sejak pertemuan pertama. Ternyata, Hasan senior Gea di kampus.
Cinta dalam diam. Satu kalimat yang telah dialami Gea dan Hasan. Sama-sama mengagumi namun ingin memiliki ketika sudah memantaskan diri. Tidak menjalin hubungan apa pun sebelum akad diucapkan. Mereka juga sama-sama masih kuliah, menyelesaikan kuliah dengan baik adalah tujuan utama mereka. Sekarang, melangitkan doa adalah hal yang mereka lakukan.
Discussion about this post