Dosa Jariah
Cerpen: Sakura Alvino
Aku tidak tahu, bagaimana aku harus menyikapi kenyataan ini. Ibu yang begitu aku hormati, telah merampas rasa hormat itu. Aku yang sangat mencintainya, tapi setelah mendengar kenyataan ini, aku lebih memilih pergi dan tak peduli. Aku kecewa. Teramat sangat. Ketika tahu, bahwa perjalanan pernikahanku yang sudah menginjak lima tahun adalah pernikahan yang tidak sah.
Aku terpukul, tentu sangat berat jika mengatakan hal pahit ini pada lelaki yang kupanggil suami, yang nyatanya bukan suami sahku. Penyatuan cinta yang telah kami lakukan hingga melahirkan buah hati-yang kuanggap sebagai ibadah-justru adalah sebuah perzinaan.
Aku sesak, tenggorokanku terasa tercekik. Dalam bayanganku, ibu-yang kemerut wajahnya sudah banyak muncul-menikamku dari belakang sebab dosa yang ia lakukan juga harus kutanggung akibatnya. Oh Tuhan, kenapa harus aku?
***
Airin, putri kecil kami mengidap sakit leukemia sejak umurnya genap dua tahun. Dan tahun ini genap satu tahun Airin harus kemoterapi rutin di rumah sakit besar di kotaku. Semenjak Airin selesai kemoterapi kemarin, aku merawatnya dengan perasaan sedih. Menyayangkan nasab yang tak berikatan dengan ayahnya. Otakku otomatis berpikir betapa sulitnya nanti aku menjelaskan perihal nama setelah kata binti di namanya adalah namaku.
Sesak di koridor dua hari lalu, ketika ibu menceritakan rahasia besar yang disimpannya selama ini, masih utuh terasa di rongga dada ini. Aku memeluk airin yang tertidur pulas, mendoakan nasibnya yang begitu malang. Tuhan, sudikah Engkau mengampuni dosa kami yang tak pernah kami lakukan?
Sejak kepulangan Airin pula, aku memilih menjaga jarak dengan Da Khalid. Aku pun juga menjaga hijabku serta perangai romantis kami, bahkan aku memilih tak lagi melayaninya sebagaimana istri melayani suami tercintanya. Sungguh berat, sedangkan aku masih belum mampu untuk menjelaskan pada lelaki yang kusayangi itu, tapi di saat hujan semakin deras berjatuhan di halaman rumah kami. Mataku yang sulit terpejam, panas akibat melelehkan tangis dan isak diam-diam. Pundakku di tepuk pelan oleh Da Khalid.
“Sejak Airin pulang dari rumah sakit, kamu jauh berubah, Dik. Ada apa?”
Aku masih diam. Bingung memulai dari mana.
“Masalah nggak baik di simpan sendiri. Aku ada untuk teman berbagimu. Lagi pula, kamu biasanya juga selalu cerita tentang semua masalahmu.” Isakku pecah. Ingin kumulai bicara, tapi lidahku kelu tak mampu mengeluarkan seucap kata.
“Apa masalahnya begitu berat?” lirih suamiku bertanya sambil merangkul pinggangku yang sangat sulit kusembunyikan di balik selimut.
Bahuku semakin berguncang. Derai air mata menganak sungai. Aku tak lagi mampu menahan segala pedih dan kenyataan. Maka malam itu aku menceritakan semuanya. Aku memilih duduk di tepi ranjang, menatap wajah teduhnya yang sendu. Menahan tanganku agar tak berkhianat untuk menggenggap tangannya walau sekedar berbagi perih. Aku tak ingin menambah dosa lagi. Aku menarik napas begitu dalam. Aku menelan air mata dan isak tangis.
“Kemarin, waktu Airin di rawat, ibu bilang bahwa mungkin Airin sering bolak-balik rumah sakit untuk cuci darah adalah akibat dari dosa yang dulu pernah ibu lakukan.”
Da Khalid menatapku dalam penuh ketidakmengertian. Aku tahu, ada tanya yang begitu banyak berkerumun di benakknya.
“Dulu, sewaktu ayah merantau mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kami, ibu merasa kesepian. Dalam kesepian itu, hadir laki-laki dalam kehidupan ibu, dia adalah pamanku. Rupanya paman sudah menaruh hati pada ibu sejak lama. Mereka saling jatuh cinta. Perasaan cinta itu mereka jalani diam-diam tanpa diketahui oleh ayah. Lalu, dalam hubungan terlarang itu, ibu hamil. Awalnya ibu ragu apakah janin itu anak dari ayah atau dari paman, tapi hati ibu selalu berkata bahwa itu adalah janin dari paman. Ibu tetap melahirkan anak itu. Anak perempuan. Ibu membesarkannya penuh kasih sayang, ayah pun juga menyayangi anak itu, tapi anak itu mirip dengan paman, bukan mirip ayah. Ayah tetap menyayangi anak perempuan itu dan tidak menaruh curiga hingga akhir hayat ayah, ibu menyimpan rahasia ini rapat-rapat dari Ayah.
Lalu ibu mendapatkan teguran saat pergi pengajian minggu lalu, ustad tersebut memberi kajian tentang anak hasil zina. Anak hasil zina nasabnya jatuh pada ibunya, lalu jika ia menikah, ia dinikahkan oleh wali hakim, bukan oleh bapak biologisnya.”
Aku terisak. Da Khalid memelukku penuh kebingungan. Kali ini aku tak ingin menolak pelukan itu, aku membutuhkannya. Aku yakin, ia ingin bertanya siapa anak itu dan kenapa aku semakin terisak. Atau mungkin otaknya sudah menerka bahwa anak itu adalah aku namun ia masih butuh kepastian.
“Tapi kenyataannya, anak itu dinikahkan oleh ayah. Dan..” aku tidak sanggup lagi untuk melanjutkan.
“Bolehkah Uda tahu, siapa anak perempuan itu, Dik?” Da Khalid tak sanggup lagi membendung tanya di hatinya
Aku mengangguk. Butuh waktu beberapa saat untukku mengumpulkan tenaga dan perasaan untuk mengatakannya. Aku belum siap melihat respon lelaki di hadapanku, tapi pertanyaan itu harus segera aku jawab. Lirih aku berkata,
“Anak perempuan itu adalah aku.”
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Aku sangat takut melihat reaksi suamiku. Bahuku berguncang menahan tangis sekaligus sesak yang semakin mencekik. Beberapa detik tanpa reaksi yang berarti, aku membuka wajahku. Wajah teduh itu tertunduk, air matanya sudah membanjiri wajahnya. Aku ingin sekali memeluknya, tapi tubuhku membeku.
Kulihat sekali lagi, ia mengusap wajahnya dan beranjak ke arah lemari pakaian kami. Aku takut ia akan meninggalkanku dan pergi jauh. Meninggalkan putri kami yang masih belia. Aku menutup mata, memeriksa perih yang sayatannya semakin dalam. Aku semakin membeku ketika Da Khalid membuka pintu lemari yang terkunci. Hatiku menerka ia akan mengeluarkan koper dan mengepak pakaiannya, tapi aku keliru. Kulihat ia meraih hijabku.
“Pakai ini. Besok kita coba selesaikan. Malam ini aku tidur di luar saja. Kamu istirahat.” Da Khalid menyerahkan khimar merah jambu kepadaku. Wajahnya sangat sedih. Tentu ia sangat terpukul. Dalam kemendungan hatinya, Da Khalid memilih untuk tidur di sofa ruang tamu.
Hatiku semakin sakit. Berkali-kali hati ini merutuki ibu. Merutuki dosa mereka di masa lalu. Merutuki nasibku yang terlahir dari hubungan gelap mereka. Kenapa baru sekarang ibu mengaku?
***
Aku tahu masalah ini bukanlah masalah yang mudah. Di usia pernikahan yang kata orang sudah melewati ujian terberat pernikahan, rasanya ini ujian paling berat yang pernah aku alami. Pikiranku buntu, hatiku hanya mengeluh tentang perceraian. Perceraian? Aku lupa bahwa pernikahan kami tidak sah.
Lalu di malam berikutnya, malam di saat Da Khalid memilih tidur di rumah orang tuanya, aku menyembah sujud pada Penciptaku. Pencipta yang memilihkan rahim ibu sebagai naungan pertamaku. Pencipta yang memilihkan ibu sebagai malaikat pelindungku meskipun sekarang malaikat itu justru menjadi penghancur hidupku.
Dalam gelisah itu aku mengadukan segala sedih, perih dan kecewa. Mengadukan nasib putri tercintaku. Mengadukan hubunganku dengan sang suami yang begitu kuhormati. Aku memasrahkan pada-Nya untuk solusi terbaik kami.
***
Di saat sepekan sudah kulewati dengan sangat berat, Da Khalid pulang dengan binar wajah yang lebih ceria. Adakah solusi yang dibawanya pulang? Tapi seketika binar itu redup saat pandangannya beralih pada Airin, ia memeluk Airin dengan sangat erat.
“Aku sudah menemukan solusinya, Dik.” Ucap Da Khalid yang duduk di hadapan kami.
“Apa, Da? Aku tidak ingin jika kita berpisah.” Ucapku sendu
“Kita harus mengulang akad nikah kita lagi di hadapan wali hakim. Aku sudah mengurusnya kemarin. Dan jadwalnya bisa segera dilakukan. Kapan kamu mau?”
“Segera, Da. Jika boleh, hari ini juga tidak apa-apa.” Aku ingin segera mengakhiri dosa jariah ini.
Hari itu juga kami berangkat ke Kantor Urusan Agama. Mengulang akad nikah di depan wali hakim. Setelah prosedur administrasi selesai, akad pun digaungkan. Sahutan “Sah” menggema di ruangan itu. Aku kembali mencium punggung tangannya seperti lima tahun lalu. Lelaki di hadapanku memelukku haru. Aku lega. Putri kami yang belum mengerti apa pun, ikut tersenyum riang melihat kami berpelukan. Cukup sudah tangisnya memanggil ayahnya setiap malam. Cukup sudah ia mengigaukan nama ayah setiap tidurnya, tapi melihat wajah polos putri kecil kami, aku masih tersandung satu masalah. Bagaimana nasab Airin? Apakah ia nanti akan menikah seperti aku hari ini? Aku hanya takut ia malu dan tidak ingin menikah.
Saat malam semakin larut, Da Khalid membangunkanku untuk bermunajat pada Illahi. Lalu kami menanti subuh bersama di pojok kamar.
“Dik, aku tahu kamu masih memikirkan satu hal lagi. Aku pun begitu.” Aku tersenyum hambar.
“Untuk Airin, tentang nasabnya, biar aku saja yang menjelaskan padanya nanti ketika ia sudah dewasa. Kamu cukup mengasuh dan mendidiknya menjadi perempuan yang sholehah.”
Aku mengangguk. Derai air mataku membanjiri mukena putih mahar pemberian Da Khalid lima tahun lalu. [ ]
Biodata Penulis
Sakura Alvino adalah nama pena dari Fitri Afriani. Ia dilahirkan di Kota Bengkulu, 9 April 1992 ; umur 28 tahun. Ia merupakan alumni Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatera Barat, NRA : 051/D/003/005. Sakura Alvino senang menulis sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Karya pertamanya berupa cerpen dan puisi terbit di Koran sekolah P’Mail yang merupakan binaan dari Koran Singgalang. Karyanya yang lain juga terbit dalam antologi Satu Miliar cinta (2015) dan Melukis Waktu (2019). Sakura saat ini berdomisili di Kota Bukittinggi. Ia dapat dihubungi via email afrianifitri92@gmail.com atau via whatsapp dan telegram di 082388518514.
Perihal Konflik dalam Karya Sastra
Oleh: Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta
dan Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumbar)
Jiwa sebuah karya sastra adalah muatan konflik dalam cerita karya tersebut. Menurut saya, karya sastra harus memuat konflik, baik sebuah konflik ataupun beberapa konflik dalam cerita itu. Satu atau beberapa konflik dalam cerita tentu tergantung dari jenis karya sastranya. Jika karya sastra berupa cerita pendek yang jumlah halamannya terbatas, tentu sebaiknya konfliknya tidak perlu banyak (walau tidak ada yang mengharamkan konflik dalam cerpen dibuat banyak). Sementara itu, kalau karya sastra berupa cerita panjang seperti novel yang memiliki ruang cukup panjang bisa memuat konflik-konflik ganda atau bahkan banyak konflik dalam cerita itu. Hal ini masuk akal karena novel memiliki ruang yang cukup luas untuk mengeksplorasi konflik tersebut.
Mega Dessy Ratnasari dalam penelitiannya tahun 2017 di Universitas Diponegoro dengan judul “Konflik Antartokoh dalam Cerpen Hakim Sarmin Karya Agus Noor (Sebuah Kajian Sosiologi Sastra) menyampaikan bahwa Cerpen “Sarmin” yang menjadi objek penelitiannya menunjukkan adanya ketimpangan antara perempuan dan laki-laki. Menurut Mega, cerpen tersebut bersifat realistis, berisikan pikiran, perasaan, dan kedudukan perempuan dalam mempertanyakan realitas yang terjadi di sekelilingnya. Mega lebih jauh memaparkan bahwa cerpen cocok untuk media refleksi diri bagi masyarakat Indonesia yang bergerak menuju perubahan dalam rangka pencarian identitas diri. Membaca penelitian Mega (2017) tersebut, bagi saya hal penting yang ia sampaikan adalah betapa konflik dalam karya sastra (dalam hal ini cerpen) menjadi bagian penting dalam cerita.
Salah satu fungsi konflik atau konsekuensi konflik utama adalah menimbulkan perubahan struktur sosial khususnya dengan struktur otoritas. Perubahan sistem sosial ini menyebabkan perubahan-perubahan lain di dalam masyarakat dan munculnya kelas dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan adanya asumsi bahwa bentuk konflik terjadi karena adanya kelompok berkuasa (domination) dan yang dikuasai (submission) maka jelas ada dua sistem kelas sosial yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan. Fakta kehidupan sosial ini membawa Dahrendrof (dalam Ritzer, 2012) pada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor penentu konflik sosial sistematis.
Penjelasan Dahrendrof tentang konflik tersebut tentu baru sebagian kecil saja bicara tentang konflik. Pada dasarnya konflik tidak hanya tentang kelas masyarakat yang mendominasi dan yang terdominasi. Di dalam karya sastra, konflik tentu saja bisa di dalam tokoh itu sendiri, antara tokoh dengan lingkungannya dan bahkan antara tokoh dengan penulis ceritanya. Artinya konflik bisa dilihat dari berbagai dimensi, tergantung dari bagaimana memandang konflik itu sendiri.
Dalam kajian karya sastra, melihat konflik yang muncul dalam cerita sebagai cerminan masyarakatnya bisa dilihat dengan Teori Sosiologi Sastra. Teori ini merupakan pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 2003). Wellek dan Warren (dalam Semi, 1989) mengatakan bahwa “sosiologi sastra yakni mempermasalahkan suatu karya sastra yang menjadi pokok, alas tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan serta amanat yang hendak disampaikan”. Berdasar penjelasan sederhana di atas, sangat jelas bahwa konflik dalam cerita atau karya sastra bisa mencerminkan konflik sosial masyarakatnya.
Pada Kreatika edisi ini, redaksi menurunkan sebuah cerita yang ditulis Sakura Alvino berjudul “Dosa Jariah”. Membaca cerpen ini, saya pada awalnya tidak tertarik karena dari judulnya saja sudah mencerminkan kengerian sebuah kisah. Dosa jariah atau mungkin bisa diterjemahkan sebagai perbuatan maksiat yang dosanya akan terus mengalir walaupun seseorang sudah meninggal.
Cerpen “Dosa Jariah” ini memang berkisah tentang perbuatan maksiat dalam keluarga. Perselingkuhan. Singkat cerita, cerpen ini menceritakan bagaimana seorang anak perempuan muda baru mengetahui bahwa dia adalah anak yang lahir dari perbuatan zina ibunya karena satu dan lain hal. Si ibu tetap melahirkan anak tersebut. Ia dan suami sahnya merawat anak itu dengan kasih sayang dan kemudian hingga sampai pada masanya menikahkan putri mereka tersebut secara hukum Islam. Pada suatu hari anak yang dinikahkan tersebut juga memiliki anak namun mengalami sakit (penulis menjelaskan bahwa anaknya sakit leukemia sejak usia dua tahun) yang dianggap oleh ibunya mengalami sakit karena dosa jariah yang dilakukannya dulu. Dari sini akhirnya si ibu bercerita pada anaknya yang juga sudah menjadi ibu bahwa sebenarnya anaknya itu lahir dari hasil perselingkuhan.
Persoalan lain yang muncul dalam cerita ini adalah bagaimana konflik batin seorang anak yang dianggap lahir dari hasil perselingkuhan, kemudian menganggap pernikahannya tidak sah karena seharusnya yang menikahkannya adalah ayah biologisnya. Konflik batin pengarang ini lahir dari pemahaman penulis yang tidak sempurna dalam memahami tentang dosa jariah yang dijadikannya judul cerita ini. Dosa dalam kepercayaan Islam tidak diwariskan dari seorang ibu atau ayah kepada anak-anaknya. Islam tidak mengenal dosa turunan yang akibatnya bisa menimpa orang lain.
Tapi hal inilah yang banyak berkembang dalam masyarakat kita bahwa dosa-dosa yang dilakukan orang tua bisa berakibat pada anak-anaknya. Contoh kepercayaan yang berkembang adalah kalau anak yang merupakan hasil perzinahan dalam hubungan sedarah (incest) akan menghasilkan keturunan yang cacat pada generasi selanjutnya. Sakura dalam cerpen “Dosa Jariah” ini secara umum bicara tentang mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Walaupun secara ilmiah bisa dijelaskan bahwa anak yang lahir dari hubungan sedarah berpeluang lahir dalam keadaan cacat mental dan sebagai macamnya, namun hal yang perlu disepakati adalah bahwa hal tersebut menimbulkan masalah dalam kehidupan selanjutnya.
Masalah-masalah selanjutnya inilah yang “dikuliti” oleh Sakura dalam cerpennya ini. Contohnya konflik yang muncul karena berasal dari pemahaman seseorang atas agamanya. Agama Islam menekankan bahwa pernikahan seorang anak perempuan menjadi sah kalau yang menikahkannya adalah ayah kandungnya atau ayah biologisnya. Tapi dalam cerita ini, tokoh “Aku” dalam cerpen ini baru menyadari bahwa dia dinikahkan oleh seseorang yang bukan ayah kandungnya setelah 5 tahun penikahannya.
Keyakinan yang berangkat dari ajaran agama bahwa pernikahan itu tidak sah menimbulkan konflik yang mendalam diri tokoh “Aku” tersebut. Di dalam cerita, Sakura menceritakan dampak dari konflik batin yang dialami tokoh utama itu mengakibatkan ia tidak mau berhubungan suami istri dengan suaminya. Padahal, suaminya menikahinya secara sah (walaupun mereka tidak tahu bahwa wali nikah mereka tidak sah dalam pandangan Islam).
“Aku tidak tahu, bagaimana aku harus menyikapi kenyataan ini. Ibu yang begitu aku hormati, telah merampas rasa hormat itu. Aku yang sangat mencintainya, tapi setelah mendengar kenyataan ini, aku lebih memilih pergi dan tak peduli. Aku kecewa. Teramat sangat. Ketika tahu, bahwa perjalanan pernikahanku yang sudah menginjak lima tahun adalah pernikahan yang tidak sah.” (Sakura Alvino, 2022).
Pada pembuka cerita ini statemen pengarang sangat jelas. Ia meneror pembacanya dengan konflik batin yang mendalam yang disajikan di awal ceritanya. Bagaimana ia begitu terpukul atas dosa yang dilakukan ibunya (perselingkuhan) yang mengakibatkan ia bermasalah dengan pernikahannya karena perzinahan ibunya itu membuat tidak jelas nasab keturunannya.
Lebih jauh konflik batin yang diderita tokoh aku tersebut membuat dia merasa berdosa ketika harus menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai istri kepada suaminya. Hal ini sebagaimana kutipan berikut ini:
“…Sejak kepulangan Airin pula, aku memilih menjaga jarak dengan Da Khalid. Aku pun juga menjaga hijabku serta perangai romantis kami. Bahkan aku memilih tak lagi melayaninya sebagaimana istri melayani suami tercintanya. Sungguh berat, sedangkan aku masih belum mampu untuk menjelaskan pada lelaki yang kusayangi itu…” (Sakura Alvino, 2022).
Membaca cerita dari paragraf ke paragraf selanjutnya saya juga merasa diteror oleh konflik-konflik yang dihadirkan penulis. Salah satu pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya sebelum menyelesaikan membaca cerpen ini adalah, apakah tokoh “Aku” yang pada dasarnya tidak bersalah karena perselingkuhan ibunya ini akan mengalami masalah dalam rumah tangganya? Dalam kehidupan nyata bisa saja masalah baru terus bermunculan ketika aib besar itu dibicarakan, tapi dalam cerita ini tokoh “Aku” beruntung karena memiliki suami yang baik.
Melalui suaminya, tokoh “Aku” menemukan jalan keluar dari masalah yang menjadi konflik besar dalam dirinya. Suami tokoh “Aku” tersebut setelah sementara waktu menjaga jarak antara mereka (demi menjaga agar tidak terus dalam perbuatan dosa karena menganggap pernikahan mereka tidak sah) akhirnya menawarkan solusi lain. Mereka mengulang akad nikah mereka. Solusi ini tentu penuh risiko karena jika orang lain mengetahui hal ini tentu akan membuat masalah baru. Selain itu, jika mereka harus dinikahkan kembali oleh ayah biologis tokoh “Aku” tentu hal ini juga menjadi masalah baru, tapi ternyata suami tokoh “Aku” dalam cerita ini memberikan solusi lain yaitu menikah dengan wali hakim.
Ending yang mengembirakan memang, tapi pada bagian akhir cerpen ini menurut saya, penulis membuat pertanyaan dalam pikiran pembaca yang juga meneror pembaca. Walaupun ragu, ada dua tafsiran dari bagian akhir cerpen ini:
Saat malam semakin larut, Da Khalid membangunkanku untuk bermunajat pada Illahi. Lalu kami menanti subuh bersama di pojok kamar.
“Dik, aku tahu kamu masih memikirkan satu hal lagi. Aku pun begitu.” Aku tersenyum hambar.
“Untuk Airin, tentang nasabnya, biar aku saja yang menjelaskan padanya nanti ketika ia sudah dewasa. Kamu cukup mengasuh dan mendidiknya menjadi perempuan yang sholeha.”
Aku mengangguk. Derai air mataku membanjiri mukena putih mahar pemberian Da Khalid lima tahun lalu.” (Sakura Alvino, 2022).
Saya menangkap masih ada permasalahan yang disimpan oleh pengarang dalam bagian akhir ini. Contohnya apakah dia meragukan nasab Airin yang mungkin dianggap sebagai anak yang lahir dari hubungan tidak sah (karena lima tahun mereka menjadi suami istri dianggap tidak sah) atau persepsi lain dari membaca bagian akhir cerita itu adalah apakah mungkin Airin juga lahir dari perselingkuhan? (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post