Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Kala itu tetangga sebelah rumah saya kehilangan motor. Motor tersebut biasanya ia parkir di teras rumah sepulang bekerja. Setelah dilihat CCTV, terlihatlah dua orang pemuda dengan begitu hati-hati meski bersusah payah membuka pagar rumah. Motor itu dicuri saat dini hari ketika seisi rumah tengah tidur lelap lagi nyenyak. Paginya, tetanggaku ini diomeli oleh saudara-saudaranya, barangkali oleh semua penghuni rumah. “Kamu sih, taruh motor sembarangan! Andai aja kamu masukin garasi, nggak bakal gini jadinya”. Kemudian Bapaknya juga ikut ngomel, “Maling mah kerjaannya begitu. Di mana ada kesempatan di situlah terbesit niatan! Sembrono kamu!”. Kira-kira begitu percakapan yang terdengar oleh saya.
Kisah lainnya, suatu hari tante saya bercerita perihal kemelut rumah tangga teman arisannya. Kabarnya, suami temannya ini ketahuan selingkuh dengan wanita yang lebih muda. Teman sekantor suaminya. Tante saya lalu bilang, “Mbak Anu nggak rawat diri, sih! Nggak bisa dandan, nggak suka pakai riasan. Tubuh yang dulunya semok, sekarang sudah gembrot. Panteslah suaminya kecantol wanita lain.” Duh, kasihan sekali teman tante saya itu. Lebih kasihan lagi tante saya. Cerita lainnya, sering saya jumpai berita pelecehan seksual di media, baik korbannya perempuan maupun laki-laki. Tak jarang, komentar yang kujumpai begini, “Mbaknya, sih! Pakai baju kok nanggung begitu”. Jika pernyataan serupa ini dibenarkan, saya mau bertanya, bagaimana dengan anak kecil yang jadi korbannya?
Ada stereotip yang aneh dari kejadian-kejadian di atas. Setidaknya menurut saya. Akan tetapi, kerap dibenarkan bahkan dilakukan dalam keseharian. Bagi saya, di sini terjadi kesalah-kaprahan yang cukup memprihatinkan. Pihak yang sepatutnya disalahkan seolah mendapat pembenaran, sedangkan yang menjadi korban ditambahkan beban kesalahan.
Kasus pertama, aksi si maling seakan mendapat tempat. Seolah-olah perbuatan dengan niat serta kesempatan yang ia dapatkan dimaklumi. Kemudian yang disalahkan ialah kesembronoan si korban. Kasus kedua, masih berdasar pemahaman ‘setidaknya menurut saya’ tadi, pernikahan salah satunya didasari prinsip saling setia dan saling melengkapi. Jika di tengah jalan ada pasangan yang melenceng, yang salah tetaplah si pelenceng. Tak ada istilah sebab-akibat dalam kasus yang diceritakan di atas. Artinya, kesalahan tidaklah terletak pada teman tante saya yang tidak merawat diri.
Kasus ketiga, korban pelecehan tidak hanya dari satu kalangan. Banyak di antara kita tahu hal itu, akan tetapi masih ada yang seolah-olah tidak mau tahu. Masalah berpakaian masih diperdebatkan. Padahal, pelecehan seksual tidak memandang pakaian seseorang. Belgia pernah mengadakan pameran dengan memajang sejumlah pakaian milik korban kekerasan seksual. Pameran yang sama juga pernah diadakan di Indonesia, tepatnya di Bandung pada tahun 2019. Pakaian-pakaian yang dipajang tampak biasa, seperti pakaian sekolah, baju anak-anak, piyama, celana dan baju panjang, pakaian berhijab, pakaian olahraga, gaun, dan pakaian biasa lainnya. Pameran itu salah satunya menunjukkan bahwa pelecehan seksual bukanlah dikarenakan pakaian korban.
Terkadang masih ada yang seolah-olah “mewajarkan” perbuatan pelaku itu. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, di mana ada kesempatan di situ ada niat. Padahal sudah jelas dia keliru dan moralnya terganggu. Bukankah pelaku yang memiliki niat akan selalu mencari bahkan menciptakan kesempatan? Sebetulnya, begitu banyak stereotip aneh yang seringkali dianggap wajar. Stereotip yang kalau dipikir ulang menimbulkan perntayaan ‘kok jadi begini ya? Padahal seharusnya begitu?
Discussion about this post