Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Setelah diingat-ingat lagi, ternyata saya pernah menjadi seorang pick me girl. Ketika itu, saat membagikan sebuah gambar dua orang perempuan tengah mencuci muka. Perempuan pertama tengah mengaplikasikan rangkaian skincare. Perempuan kedua hanya mencuci wajah dengan air dari keran di kamar mandi. Lalu saya menunjuk perempuan kedua dan menyertakan takarir, “Aku banget!”.
Melalui unggahan itu, saya tengah mencoba menunjukkan bahwa saya berbeda dengan perempuan lain. Saat itu, saya menilai perempuan yang memakai skincare adalah perempuan rempong yang ingin terlihat cantik. Padahal, itu amatlah wajar. Setiap orang mungkin menginginkannya. Perbedaannya, saya menjatuhkan perempuan lain untuk menunjukkan eksistensi saya. Belakangan, saya justru ikutan memakai beragam skincare. Nyatanya, itu bukanlah sebuah kerempongan, tetapi sebuah upaya untuk merawat kulit agar sehat. Dan tentu saja, terlihat glow up adalah keinginan yang wajar.
Pick me girl lain yang pernah saya lakoni ialah perkara make up. Ketika mengobrol dengan beberapa orang kawan, saya pernah berujar bahwa saya hanya memakai bedak bayi. Ketika itu, perempuan seusia saya mulai memoles wajah mereka dengan make up, tetapi di hadapan kawan-kawan itu saya justru mengaku tidak kenal make up. Padahal, sewaktu kecil pernah memakainya, bahkan dibelikan ibu make up khusus karena sering memakai punyanya diam-diam.
Perkara perempuan hijrah, saya juga pernah berlaku seperti dua hal di atas. Kalau tidak keliru, ketika menginjak semester dua di perkuliahan, saya mengubah penampilan. Ke kampus, saya mulai memakai rok, baju lengan panjang, dan kerudung dua lapis. Ketika itu, saya merasa lebih baik dari kawan-kawan, sepertinya saya juga melontarkan kata-kata yang merendahkan kawan-kawan. Keistiqomahan berhijrah hanya berlangsung selama satu semester. Semester berikutnya penampilan saya berubah seperti biasa. Di saat ini, muncul sikap pick me girl yang lain.
Saya merasa menjadi seorang kutu buku hanya karena membaca lebih banyak buku dari kawan-kawan perempuan lainnya. Padahal, belum tentu benar dan bisa saja dipastikan salah. Hanya karena kawan-kawan membawa tas salempang kecil ke dalam kelas, sedangkan saya membawa tas dengan beberapa buku, saya kira mereka tidak ada yang berniat belajar serius. Hal begini pun pernah saya lontarkan kepada saudara. Kira-kira saya berkata begini, “Kamu punya teman perempuan yang kalau ada kelas cuma bawa tas kecil nggak sih? Isinya kadang juga cuma hape, lipstik, dan tisu. Aku kok malah bawa tas yang isinya buku-buku semua, ya?” Aduh! Untuk kelakuan pick me girl ini, saya mohon maaf!
Tidak berhenti sampai di sini, mungkin saja tidak ada henti-hentinya tanpa saya sadari. Ketika kuliah, saya bergabung dengan organisasi mahasiswa pencinta alam. Perempuan-perempuan yang bergabung biasanya mereka yang tomboi dan minim kesan feminin. Saya pun mulai menilai perempuan lain (yang memakai skincare, make up, ke kelas bawa tas kecil) sebagai perempuan menye-menye, lemah, dan tidak peduli dengan isi kepala. Pick me girl ini, sungguh keterlaluan.
Akan tetapi, juga perlu diketahui pick me girl tidak hanya dilakoni perempuan, lelaki juga demikian. Fenomena itu bisa dilakoni oleh siapa pun. Bila diingat-ingat, saya juga pernah berjumpa pick me boy, yaitu membuat dirinya terlihat berbeda sembari menjatuhkan orang lain. Mungkin pula, tulisan ini juga bagian dari sikap pick me girl saya. Lebih baik disudahi saja.
Discussion about this post