Oleh:
Ibnu Naufal dan Ferdinal
(Civitas Akademika Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
“Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial,” tulis Sapardi Djoko Damono, salah satu tokoh sastrawan Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang.
Dengan membaca buku-buku sastra, kita bisa mengetahui kehidupan-kehidupan sang tokoh yang bisa membuat diri kita kaya akan makna kehidupan dan kenyataan sosial di sekeliling kita, terlebih lagi untuk para anak-anak yang baru mengenal dunia di sekitarnya.
Anak-anak, yang suka permainan dan percobaan sering memanfaatkan imajinasi agar permainannya menjadi menarik. Untuk itu, para orangtua disarankan mengarahkan anak-anak ke imajinasi-imajinasi yang baik. Imajinasi yang diawali dengan membacakan atau mendongengkan bacaan karya sastra terlebih dahulu.
“Saat mendongeng, kerja otak aktif dan anak tidak cuma mendengar, tapi membuat imajinasi. Aktivitas otak pendongeng dan pendengar sama. Anak akan merasakan dan membayangkan apa yang diceritakan,” jelas dr. Herbowo Soetomenggolo, seorang spesialis saraf anak.
Di samping mendongengkan karya sastra ke anak, para orang tua juga bisa menceritakan kembali karya sastra anak yang telah dibaca dan diceritakan kembali ke anak tersebut dengan bahasa orang tua. Hal ini juga bisa melatih problem solving skill sang anak. “Saat mendengarkan cerita, dia akan menyelesaikan masalah ketika mendengarkan cerita. Habis ini akan begini, kemudian begitu. Belajar problem solving berhubungan juga dengan kepandaian anak,” tambah dr. Herbowo.
Saat memperkenalkan karya sastra ke anak-anak, orang tua terkadang mendapati tantangan yang bermacam-macam. Terkadang, kurang menariknya cerita dan gambar yang ada di suatu buku sastra membuat mereka mengantuk dan terlelap. Jika permasalahannya tidak berada pada anak-anak, persoalannya mungkin terletak pada para orang tua yang kebingungan dan ragu untuk memberikan buku bacaan sastra ke anak mereka karena minimnya pilihan buku yang ada di pasaran. Jika permasalahannya sudah seperti itu, kita bisa mencoba buku bacaan sastra anak yang ditulis oleh negara lain, Australia misalnya.
Walaupun menurut indeks kecakapan bahasa Inggris yang dikeluarkan oleh EF Education First edisi 2020 yang menyebutkan bahwa kecakapan berbahasa Inggris masyarakat Indonesia masih terbilang rendah, yaitu menempati urutan ke 74 dari 100 negara. Masyarakat Indonesia bisa memanfaatkan situs penerjemah maya seperti Google Translate atau Bing Translate untuk memahami karya sastra anak Australia. “Bahasa Inggris sangat penting untuk dikuasai karena sebagai bahasa pengantar global. Bahasa Inggris terus menyatukan manusia dari berbagai negara,” ujar Christopher McCormick, EF Executive Vice President for Academic Affairs.
Di Australia, terdapat salah satu penghargaan yang paling bergengsi dan berpengaruh untuk kategori anak-anak. The Children’s Book Council of Australia (CBCA) merupakan organisasi non-profit yang dijalankan oleh relawan untuk menarik minat pembaca kaum muda, terkhusus anak-anak berusia 0 – 18 tahun. Organisasi yang didirikan sewaktu Indonesia merdeka tersebut juga mengadakan acara tahunan yang bertujuan untuk mengapresiasi penulis dan ilustrator yang kurang begitu dikenal di sana.
Tahun lalu untuk kategori Older Readers, buku untuk anak usia 13 – 18 tahun, The End of the World is Bigger than Love karangan Davina Bell mendapatkan kursi sebagai pemenang yang bersanding dengan Aster’s Good, Right Things karangan Kate Gordon di kategori Younger Readers untuk anak usia 7 – 12 tahun, dan No! Never! karangan Libby Hathorn dan Lisa Hathorn-Jarman yang diilustratori oleh Mel Pearce sebagai juara satu di kategori Early Childhood untuk anak berusia 0 – 6 tahun.
Dengan mengenal salah satu organisasi penghargaan sastra anak di Australia, kita bisa membuka salah satu pintu menuju kesustraan Australia yang bisa membuat anak-anak Indonesia tidak hanya mengetahui kesusastraan negaranya sendiri, tetapi juga mamahami kesusastraan negara lain. Pengenalan budaya asing dan juga bahasa asing ke anak-anak sejak dini membuat mereka sedari dini bisa mempelajari bahasa Inggris dan juga membuat pikirannya menjadi terbuka. Karena, “Kemampuan bicara dan bahasa anak ini erat hubungannya dengan IQ,” jelas dr. Herbowo. Juga, bisa melatih para orang tua untuk bisa berbahasa Inggris yang berguna di zaman global seperti saat ini.
Terlebih untuk mahasiswa yang mengambil jurusan Sastra Inggris, banyak yang mengeluh akan kesulitannya untuk memahami maksud dari apa yang disampaikan oleh buku bahasa Inggris karena tidak dibiasakannya membaca bahasa asing sedari dini. “Saya sangat tertarik dengan buku bacaan Sastra Inggris. Hanya saja, karena saya belum pernah membaca bacaan seperti ini (bacaan bahasa Inggris), saya menjadi kesulitan untuk memahami maksud dari buku-buku tersebut,” ungkap Ardhika Nurhandi, salah satu mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas angkatan 2020.