Menuju Kutub
Kusebut kau bumi, Kasihku.
Mengenal ombak lautmu yang pasang dan surut
Ketika bercengkerama dengan para nelayan
Untuk membaca pesan dari bongkahan awan sehabis senja
Aku berteman dengan mereka
Ketika kami sama-sama memandang laut lepas, menafsirkanmu
Bagi mereka, kau keberkahan
Namun bagiku, kau tempat bersemayam
Kusebut kau bumi, Cintaku
Menapaki telaga dan hutan lindungmu dalam tahun-tahun perjalananku
Kupahami semua berulang dalam lingkup kosmos
Pagi, siang, sore, malam, begitu selalu
Kita bergerak pada putaran siklus yang sama
tetapi dalam fase yang berbeda
Termasuk jatuh cinta!
Begitu caraku memahami rotasimu
Kusebut kau bumi, Sayangku.
Meski kutumbuh di bawah sinar matahari yang berdiri tegak di atas kepala
Aku berusaha mengenal tiap teluk dan selatmu
Dalam perjalananku menghitung tahun
Suatu ketika, kau berkata, “Semuanya tak berulang,
Sebab kita bertemu di garis tengah.
Kau berakar di equator. Kau tak tahu ujung dan pangkalku
Kau tak sampai pada titik diameterku mengecil”
Kueja terus pesanmu di tanahku yang gersang
Kusebut kau bumi, Jiwaku
Bagaimana jika aku tak ingin ke sana?
Sebab kutakut semua membeku
Dalam perjalanan hitungan tahun
Yang ternyata aku tak tahu
Apakah itu akhir atau permulaan
(Busan, April 2022)
Kita dan Semesta
Kau barangkali lupa bahwa semua berulang
Bangun, bergerak, kemudian tidur
Lahir, tumbuh, kemudian mati
Pagi, siang, kemudian malam
Apa yang kau resahkah dengan rotasi, hai Terkasih?
Pagi mencintaimu, siang mencintamu, kemudian malam mencintaimu
Seharusnya!
Kemudian kau menulisnya, “Semua perulangan punya skala
Dalam skala kecil, mungkin. Tetapi dalam skala besar,
aku meragukan hatimu. Kau hanya bicara hari, bukan tahun!”
Dalam teori diri kreatif, ini tak berlaku, katamu lagi
aku buka kembali lembaran yang kau garisbawahi
Kau salah menafsir referensi, pikirku
Teori muncul karena gejala, dan gejala di setiap sudut bumi berbeda.
Kau tertawa. Bagaimana akan berbeda jika makrokosmos yang kita perdebatkan
berada pada titik kesimpulan: semua berulang
Awal Masehi selalu Januari dan bulan itu terus berulang pada hitungannya
termasuk hari lahirmu. Sebab itu kau berulang tahun
Kita terus berputar pada poros masing-masing
Lalu apa yang kau khawatirkan?
Manusia akan mengucapkan selamat pagi pada malam hari?
Atau dengan ajaib salju sampai di jendela rumah kita?
Atau semua dongeng negeri kita berubah seperti snow white?
Kau kembali tertawa, dan beralih pergi
Kau menulis, “aku tidak peduli dengan segala perubahan semesta
kecuali hatimu”
(Busan, April 2022)
Hutan Abu-Abu
Pada pagi yang merah, kita berangkat menuju hutan
Konon katanya, di sana ada pagi berwarna abu-abu,
Disampaikan para pengembara sekembali menangkap warna
Serupa apa pagi abu-abu? Tanyanya pada daun
Seperti rok sekolah (memangnya di sana ada sekolah?)
batu di pinggir sungai, atau seperti bibir perempuan pemalu itu?
Siapa yang berkata bahwa dia pemalu?
Bukankah memang begitu tiap ucapan yang keluar dari mulutnya?
Bukankah dia memang bisa menciptakan kata apa pun?
Termasuk mengisahkan pagi di hutan itu, selalu sewarna dengan bibirnya?
Bukankah itu yang kerap ia ceritakan kepada setiap pengembara?
Ah, pengembara yang malang!
celakanya, setiap pengembara percaya pada kisahnya
Seperti Syahrazad
Ia memukau mereka dengan cantik
Mengaggumi warna bibir abu-abu
dan meyakini bahwa warna itu yang paling mempesona di muka bumi
Tidak lagi merah atau merah muda. Sebab itulah
pagi yang merah di kota kami akan kalah pamor dengan kisah pagi abu-abu di hutan itu
Mereka menjual kisahnya di balik jualan tomat segar
makanan burung, dan karpet berbulu
Ajaib! Si penjualnya adalah kerabat kita sendiri
Kerabat yang kita kenal begitu pengasih
yang membiarkan banyak susu segar dilahap kucing hingga mereka rugi dagang
Mengapa mereka bisa terjebak?
Karena mereka percaya pada bibir abu-abu!
Karena itu kita mesti menuju hutan, memandikan perempuan pemalu
dan menunjukkan padanya bahwa merah adalah takdir untuk pagi!
(Busan, April 2022)
Biodata Penulis:
Reno Wulan Sari merupakan Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Bukunya telah terbit dalam bentuk kumpulan cerpen yang berjudul Catatan Pertama. Selain menulis puisi, cerpen, dan artikel, ia juga merupakan sutradara teater yang tertarik pada ilmu geografi, dunia cosmos, dan segala hal tentang alam semesta.
Discussion about this post