Cerpen: Uda Agus
Sabtu sore yang cerah.
Hari yang indah. Tapi tidak untukku. Bagiku, tidak ada lagi yang namanya hari indah. Kian hari, aku merasa semakin buruk saja.
Dulu, anak-anak selalu datang menemaniku. Kami bermain bersama. Mereka sangat senang bermain denganku, apalagi jika siangnya matahari bersinar terik. Maka di sore hari, aku akan menjadi sasaran mereka sebagai tempat bermain.
Tidak hanya itu, ikan-ikan juga senang tinggal bersamaku. Walaupun banyak pemancing yang datang, sama sekali tidak membuat mereka takut. Tapi semua tinggal kenangan.
Akhir-akhir ini, sudah jarang anak-anak yang datang untuk bermain. Tadi sebenarnya ada serombongan anak yang datang, kalau aku tidak salah hitung ada enam orang. Empat diantaranya sudah kukenal, mereka dulu memang sangat sering datang.
“Airnya kotor!” itu kata Andi begitu mereka sampai di dekatku. Andi adalah pemimpin anak-anak itu. Dia juga dulu yang pertama kali mengajak kawan-kawannya bermain ke sini. Rumah Andi tidak jauh dari sini. Dari obrolan mereka terdahulu, aku tahu kalau Andi anak pintar, sering juara di kelas.
“Kau bilang di sini bersih, beda dengan yang di ujung sana,” teman Andi berkata, kecewa.
“Aku kan sering mandi di sini, biasanya tidak seperti ini,” Andi membela diri.
“Jadi, sekarang bagaimana? Kita cari tempat yang lain saja, yuk!” Kemal angkat bicara.
“Mau dicari ke mana lagi, bukankah kita sudah menyusuri sepanjang banda ini?” teman Andi yang tadi protes, bicara lagi.
Lalu tanpa ada yang mengomando, mereka pergi meninggalkanku. Mungkin pulang ke rumah masing-masing, menyegarkan diri di kamar mandi rumah mereka, yang selalu menyediakan air ledeng yang bersih dan segar.
Aku menunduk lesu. Mungkin tak lama lagi aku benar-benar akan sendirian. Tidak ada lagi yang akan bermain denganku, bahkan ikan-ikan yang dulu juga setia menemaniku sekarang tidak lagi kulihat.
“Mana yang lainnya? Mengapa kau hanya sendiri?” tanyaku beberapa hari lalu pada seekor ikan kecil yang kebetulan datang.
“Mereka sudah pindah, tidak lagi betah di sini,”jawabnya.
“Aku juga mau pindah, mau pamit padamu. Terima kasih selama ini telah baik pada kami.”
“Pindah? Kenapa? Itu berarti aku akan kesepian?” tanyaku memelas.
“Apakah pertanyaan itu perlu kujawab?” ikan kecil itu balik bertanya.
Aku menunduk. Pertanyaan bodoh, kataku dalam hati. Apalagi yang mereka harapkan di sini? Air di sini sangat keruh dan kotor. Bahkan sebuah tempat di bawah jembatan yang menjadi tempat favorit ikan-ikan itu untuk berkumpul, kini telah dipenuhi gunungan sampah. Aku masih ingat saat si Belang -ikan besar berwarna merah, hitam dan putih- bertelur tempo hari. Ratusan anak-anaknya yang lucu meninggal karena air yang sangat kotor dan keruh.
***
Minggu siang yang indah.
Matahari menatapku sambil tersenyum. Hari ini sinarnya begitu bersahabat. Tidak begitu terik.
“Sepertinya kau kelihatan senang hari ini. Sinarmu hangatnya menyejukkan. Ada apa gerangan?” kutegur matahari.
“Benar Banda, aku sangat senang hari ini. Baru tadi pagi kusadari, sebentar lagi aku akan berlibur.”
“Maksudmu?” aku heran. “Kau mau berlibur? Apa aku tidak salah dengar? Aku lihat sekarang PLN sering mati di kota ini, tapi kalau kau yang mati, mungkin dunia akan kiamat.”
Matahari semakin melebarkan senyumnya.
“Musim kemarau sebentar lagi berakhir, berganti dengan musim hujan, itu berarti aku akan jarang muncul.” Matahari menjawab keraguanku. “Sebentar lagi peranmu akan sangat diperlukan warga kota.” Matahari kembali melanjutkan.
Aku menanggapi dengan menunduk. Apakah aku masih bisa berfungsi?
“Kenapa Banda? Kau terlihat sedih.” Matahari seperti membaca pikiranku.
“Tidakkah kau lihat keadaanku sekarang? Dengan kondisi seperti ini, aku tidak akan kuat menampung curahan hujan. Begitu banyak sampah yang menghambat laju arusku.”
“Aku turut prihatin, Banda. Tapi semoga saja itu tidak berarti apa-apa. Aku berharap semua bisa kau kendalikan.” Usai berkata begitu matahari menghilang. Segerombolan awan hitam tebal tanpa permisi telah menghalanginya dari pandanganku.
***
Minggu malam yang basah.
Malam semakin larut. Awan hitam tebal yang datang sore tadi akhirnya menjelma hujan. Hujan yang sangat lebat, seperti ada yang mencurahkan dari langit, tapi itu sudah berhenti sekitar setengah jam yang lalu. Berbeda dengan keadaanku sekarang, aku masih berlari, tak bisa berhenti.
“Sudah Banda, hentikan larimu!” sebuah suara tiba-tiba terdengar begitu dekat di telingaku. Aku kenal, suara angin, sahabatku.
“Tapi bagaimana mungkin? Ini bukan kehendakku. Ini terjadi begitu saja.” Aku terus menderu, menghantam yang menghadang, mengalir deras di jalur yang sebenarnya bukan jalurku. Ingin sebenarnya aku berhenti atau setidaknya memperlambat laju lariku, tapi aku tak mampu, tak kuasa. Sementara itu angin berusaha menjajari langkahku.
“Banda, Kau lihat gubuk di depan sana?” angin menunjuk ke depan. Kualihkan pandangan ke arah tunjuknya, beberapa puluh meter di depan sana ada sebuah gubuk dengan penerangan seadanya, tanpa listrik.
“Kenapa?” tanyaku.
“Di situ ada bayi usia dua bulan, kau harus menahan lajumu, setidaknya berlarilah ke arah lain.”
Aku terkejut mendengar perkataan angin. Sekuat tenaga aku berusaha menahan lajuku, tapi sungguh sulit. Aku berusaha memutar haluan, setidaknya jangan sampai gubuk itu terbawa arusku.
Tapi aku tidak berdaya untuk berhenti. Kupejamkan mata sebelum menghantam gubuk itu. Gubuk itu langsung ambruk, terseret arusku yang deras.
“Bapak, anak kita Pak!” terdengar teriakan seorang wanita. Sepasang suami istri yang tengah tertidur pulas menjerit kaget, tak kuasa menahan bayinya yang sudah kubawa lari.
Kulihat sepasang suami istri tadi saling berpegang tangan sambil memeluk sebatang pohon besar. Mereka saling menahan satu sama lain agar tidak ikut hanyut. Keduanya menangis menyaksikan buah hati mereka yang sama sekali tidak menangis dalam gendonganku. Aku tahu, bayi dua bulan itu tinggal jasad saja. Sesaat sebelum aku menghantam gubuk itu tadi, Izrail telah lebih dulu menjemput ruhnya.
Kini suasana kota di sekitar tempat yang kulalui hiruk-pikuk. Malam yang tadi sunyi telah berubah. Jeritan, tangisan, dan usaha-usaha menyelamatkan harta benda mereka yang tersisa. Ada juga beberapa orang yang berusaha menyelamatkan harta benda orang lain. Kesempatan dalam kesempitan. Semua karena aku telah membanjiri kota mereka. Aku yang biasanya ramah, teman anak-anak bermain, kini telah memporak-porandakan kota.
***
Senin pagi yang porak poranda.
Matahari sudah memancarkan sinar emasnya. Aku yakin dia tidak tahu peristiwa semalam.
Di hadapanku, kini tampak jelas hasil kerjaku. Aia Pacah, Lubuk Buaya, Kalawi, dan sebagian besar tempat di kota Padang tenggelam. Banyak rumah rusak. Beberapa nyawa melayang. Bayi dua bulan yang tadi malam kubawa berlari hanyalah satu dari sekian korban, bahkan sebagian, ada yang belum ditemukan.
Sekolah diliburkan. Beberapa isak tangis masih terdengar. Termasuk aku.
“Banda, kau menangis?” sebuah suara menyapaku, ramah. Aku berusaha menghapus air yang tiba-tiba membasahi kelopak mataku. Angin sudah berdiri di sampingku.
“Angin, lihatlah hasil kerjaku, begitu sempurna.” Aku menunjuk berkeliling.
“Akulah penyebabnya. Akulah yang membuat orang kehilangan harta. Akulah yang telah menyebabkan beberapa nyawa melayang.”
“Sudahlah Banda, ini diluar kendalimu. Ini terjadi karena mereka yang menginginkannya. Mereka yang meminta. Mereka yang berbuat. Mereka juga yang harus bertanggung jawab.”
“Kau bicara apa, angin?”
“Ini adalah ujian Tuhan buat mereka. Mereka menganggapmu sebagai tempat pembuangan sampah paling mudah. Tidak hanya sampah keluarga, tapi juga dari pabrik-pabrik. Semua jenis sampah. Jadi, jikalau mereka ingin menutup jalanmu, salahkah jika kau berjalan di jalur mereka? Tidak Banda. Hapus air matamu.” Angin mencoba memberikan pembelaan padaku. “Ini juga cobaan karena mereka sudah lupa akan tugas mereka. Mana Adat Basandi Syara’ dan Syara’ Basandi Kitabullah yang selalu mereka dengung-dengungkan? Banyak dari mereka yang lalai dengan agama. Semuanya berburu mengejar kepentingan dunia. Perampokan, pencurian, pemerkosaan, bahkan korupsi sudah menjadi tradisi. Mengejar jabatan dengan uang sogokan, dengan ijazah palsu, menghalalkan segala cara, dan menginjak yang miskin.”
Wow… tidak kusangka, angin bisa berkata seperti itu. Tapi angin benar, selama ini aku sudah dialihfungsikan dari sungai yang mengalir jernih menjadi tempat pembuangan sampah. Selama ini warga kota sudah banyak yang lupa akan tugas dan tanggung jawabnya. Yang hak dan yang batil bercampur aduk. Halal dan haram sudah sangat susah untuk dibedakan.
“Seharusnya kau bangga, Banda?” angin berkata lagi.
Aku mengerutkan kening. Bangga? Dengan apa yang telah kuperbuat?
“Maksudmu?” tanyaku.
“Allah memilih dirimu untuk memberi mereka pelajaran. Tidakkah itu suatu hal yang membanggakan?”
Wajahku merona merah. Aku adalah yang terpilih? Benarkah itu?
“Sekarang kita hanya bisa berdoa, semoga mereka sadar, semoga mereka bisa mengambil pelajaran dari peristiwa ini.” Angin kembali melanjutkan.
Oh ya, namaku Banda Bakali. Aku melintas tepat di tengah-tengah Kota Padang yang terletak di tepi Samudera Hindia. Pemerintah Kota membangunku sudah bertahun-tahun yang lalu. Tujuan utama pembangunanku adalah untuk menampung air yang berlebih. Jika gelombang pasang, maka air laut yang melimpah akan masuk ke Banda Bakali, atau jika hujan turun deras, Banda Bakali juga akan menampungnya. Sekali lagi kukatakan, tujuan pembangunanku adalah untuk menampung air, dan bukan menampung sampah.
***
Keterangan:
Banda : Parit
Bakali : Digali
Banda Bakali : Parit yang digali / sungai buatan.
Banda Bakali adalah proyek pengendalian banjir yang terbentang di sepanjang kota Padang. Satu-satunya tujuan pembangunan Banda Bakali adalah untuk mengantisipasi terjadinya banjir, disamping keindahan kota tentunya.
Biodata Penulis:
Uda Agus menekuni dunia literasi secara otodidak. Tulisan pertamanya dimuat di majalah Annida (Juli, 2001). Buku perdananya berjudul Ngebet Nikah diterbitkan DAR! Mizan (2004). Beberapa kali meraih juara lomba menulis cerpen, di antaranya: Juara 1 Lomba Menulis Cerita Pendek FLP Sumatera Utara (2003), Juara 1 LMCPI Annida-Online (2010), Juara I Lomba Menulis Cerpen STAIN Purwokerto (2011). Tahun 2013 diundang sebagai emerging writer dalam Ubud Writers and Readers Fetival. Sejak tahun 2011, ia konsisten menggelar lomba menulis cerpen hingga saat ini. Uda Agus dapat dihubungi melalui email: uda_agus27@yahoo.com atau di nomor HP 085274244342.
Ekologi dan Sastra dalam Kajian Ekokritisisme
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Sumbar dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi,
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta)
Tulisan ini merupakan tulisan kedua yang saya tulis terkait dengan ekologi sastra di Kreatika, Scientia. Walaupun begitu, pembicaraan tentang ekologi sastra memang tidak pernah selesai. Hal ini karena persoalan lingkungan memang kerap kali menjadi topik pembahasan di dalam karya sastra.
William Rueckert (1978) dalam esainya “Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism”, mengemukakan bahwa ekokritisme adalah kajian hubungan antara manusia dan nonmanusia, sejarah manusia, dan budaya yang terkait dengan analisis kritis manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu, ecocriticism adalah studi yang menyelidiki bagaimana manusia menyajikan serta mendeskripsikan keterkaitan atau sinergisasi manusia dan lingkungannya dalam ekspresi hasil budaya.
Sejak beberapa tahun belakangan ini, Forum Lingkar Pena (FLP) mengusung sastra hijau atau sastra lingkungan sebagai genre kepenulisan mereka. Setidaknya hal tersebut sudah terlihat sejak tahun 2008 ketika FLP mengangkat tema “Sastra Hijau” sebagai tema dalam memperingati ulang tahun FLP waktu itu. Hal ini sesuatu yang menarik karena barangkali sebagian orang melihat ada pergeseran tema karya sastra FLP dari sastra dakwah menjadi sastra lingkungan.
Saya justru melihatnya bukan pergeseran, tetapi hanya pendalaman interpretasi FLP terhadap dakwah itu sendiri. Ketika mengangkat tema-tema sastra hijau atau sastra lingkungan, artinya FLP semakin menyadari bahwa dakwah bukan hanya terkait dengan menyampaikan ayat-ayat kebenaran saja, tetapi dakwah juga tentang kepedulian pada semesta.
Jika dilihat dari kajian sastra, apa yang dilakukan FLP tersebut dapat dilihat dalam paradigma ekologi sastra. Asyifa dan Putri (2018) dalam tulisan mereka berjudul “Kajian Ekologi Sastra (Ekokritik) Dalam Antologi Puisi “Merupa Tanah Di Ujung Timur Jawa,” menuliskan paradigma ekologi terhadap kajian sastra merupakan bentuk penerapan pendekatan ekologi dalam memandang sebuah karya sastra. Dalam pandangan ekologi, eksistensi organisme dipengaruhi oleh lingkungannya atau ada hubungan timbal balik dan saling keterkaitan antara organisme dengan lingkungannya. Perjumpaan konsep ekologi dan karya sastra tersebut melahirkan suatu bentuk konsep ekokritik. Ekokritik merupakan kajian hubungan antara sastra dan lingkungan fisik.
Sementara itu, Ande Wina Widianti (2017) dalam tulisannya berjudul “Kajian Ekologi Sastra Dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2014 “Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon,” dituliskan bahwa sudah sejak lama alam menjadi bagian representasi dari banyak karya sastra. Alam seringkali tidak sekadar menjadi latar sebuah cerita-cerita fiksional dalam karya sastra, tetapi juga dapat menjadi tema utama dalam sebuah karya sastra.
Adanya keterkaitan alam dengan karya sastra memunculkan sebuah konsep tentang permasalahan ekologi dalam sastra di antara para kritikus sastra. Istilah ekokritik (ecocriticism) digunakan sebagai istilah mengenai konsep kritik sastra yang berhubungan dengan alam serta lingkungan. Harsono (2016) menyebut istilah ekokritik berasal dari bahasa Inggris, ecocriticism yang merupakan bentukan dari kata ecology dan kata critic. Ekologi dapat diartikan sebagai kajian ilmiah tentang pola hubungan-hubungan, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan manusia satu sama lain, dan terhadap lingkungannya. Kritik dapat diartikan sebagai bentuk dan ekspresi penilaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu.
Kreatika edisi ini menayangkan cerpen berjudul “Banda Bakali” karya Uda Agus salah seorang pegiat sastra dan Anggota FLP Wilayah Sumatera Barat. Dari judulnya, sudah terlihat bahwa Uda Agus mencoba mengangkat kisah tentang sebuah sungai buatan yang ada di Kota Padang, Sumatera Barat. Masyarakat Kota Padang tentu sudah tidak asing dengan Banda Bakali ini, sungai buatan yang sengaja dibuat untuk mengurangi dampak banjir di Kota Padang. Penulis membuka ceritanya dengan menyampaikan kontradiksi atas situasi Banda Bakali sebagai berikut ini:
“Hari yang indah. Tapi tidak untukku. Bagiku, tidak ada lagi yang namanya hari indah. Kian hari, aku merasa semakin buruk saja. Dulu, anak-anak selalu datang menemaniku. Kami bermain bersama. Mereka sangat senang bermain denganku, apalagi jika siangnya matahari bersinar terik. Maka di sore hari, aku akan menjadi sasaran mereka sebagai tempat bermain. Tidak hanya itu, ikan-ikan juga senang tinggal bersamaku. Walaupun banyak pemancing yang datang, sama sekali tidak membuat mereka takut. Tapi semua tinggal kenangan.” (Uda Agus, 2022).
Dalam cerita pendek berjudul “Banda Bakali” ini, Uda Agus mencoba mengambil sudut pandang perubahan alam dari sebuah sungai. Cerpen ini mengangkat Banda Bakali sebagai tokoh utamanya dimana ia bernostalgia bahwa dulu, Banda Bakali itu adalah tempat yang nyaman untuk anak-anak bermain. Banda Bakali merupakan “rumah” yang nyaman untuk berbagai jenis ikan serta Banda Bakali adalah tempat yang nyaman untuk melepas lelah bagi warga kota.
Akan tetapi, sekarang Banda Bakali terlihat resah karena sungai itu tidak lagi indah karena masyarakat menjadikan sungai itu tempat membuang sampah. Cerita ini terlihat klise karena penulis terlihat buru-buru menggarap ide cerita yang menarik ini dengan
ending yang menyedihkan. Cerita yang dibuat dalam pola sebab akibat ini sudah dapat ditebak bahwa perbuatan masyarakat yang membuang sampah ke Banda Bakali membuat Banda Bakali tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai tempat penetralisasi banjir di Kota Padang sehingga ketika hujan besar. Banda Bakali meluap dan membuat daerah-daerah di sekitarnya kebanjiran.
Uda Agus melalui cerpen “Banda Bakali” menggunakan diksi-diksi yang lekat dengan lingkungan. Pemilihan diksi seperti sungai, air, sampah, dan kata-kata lain memperlihatkan bahwa Uda Agus menggunakan alam untuk menggambarkan latar ataupun isi yang ada dalam karya sastra itu sendiri. Dalam cerpen ini, terlihat bagaimana alam menjadi jembatan pengarang untuk menyampaikan suasana, citraan, latar, ataupun tema besar yang ada dalam karya sastra.
Cerpen Banda Bakali ini cukup menarik karena mengajak pembacanya untuk peduli dengan lingkungan. Cerita-cerita dengan tema lingkungan seperti Banda Bakali memang kadang terlihat seperti menggurui masyarakat untuk peduli pada lingkungannya. Perbuatan merusak lingkungan seperti membuang sampah sembarangan dan akhirnya menumpuk di sungai akan berdampak pada masyarakat juga. Hal ini sebagaimana kutipan berikut ini:
“Oh ya, namaku Banda Bakali. Aku melintas tepat di tengah-tengah Kota Padang yang terletak di tepi Samudera Hindia. Pemerintah Kota membangunku sudah bertahun-tahun yang lalu. Tujuan utama pembangunanku adalah untuk menampung air yang berlebih. Jika gelombang pasang, maka air laut yang melimpah akan masuk ke Banda Bakali, atau jika hujan turun deras, maka Banda Bakali juga akan menampungnya. Sekali lagi kukatakan, tujuan pembangunanku adalah untuk menampung air, dan bukan sampah.” (Uda Agus, 2022).
Penulis cerpen menekankan akan fungsi Banda Bakali untuk menampung air, bukan untuk tempat sampah. Hal ini semakin menegaskan bahwa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan untuk kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Apa pun kesan yang muncul dari membaca cerpen “Banda Bakali”, yang pasti hadirnya cerpen dengan tema-tema lingkungan semakin memperkaya khasanah sastra Indonesia. Tema-tema lingkungan jika dieksplorasi di dalam karya sastra tentu tidak akan ada habis-habisnya. Hal ini disebabkan oleh lingkungan yang semakin diamati oleh penulis karya sastra tentu akan semakin banyak memberi inspirasi untuk berkarya. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post