Oleh: Dini Maulia, S.S., M.Hum.
(Dosen Jurusan Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Nama merupakan atribut yang dimiliki seseorang yang akan membedakan identitas diri dengan yang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nama didefinisikan pada beberapa hal, seperti (1) kata untuk menyebut atau memanggil orang (tempat, barang, binatang, dan sebagainya.); (2) gelar; sebutan; dan (3) kemasyhuran; kebaikan (keunggulan); kehormatan (2007: 773). Selain sebagai sebuah penanda identitas, sebuah nama akan memiliki makna tertentu.
Biasanya dalam melekatkan sebuah nama kepada anak, orang tua akan mempertimbangkan makna-makna kata yang akan digunakan selain nilai keindahan rangkaian kata yang membentuk nama tersebut. Pepatah mengatakan “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, orang mati meninggalkan nama”. Salah satu pepatah di Indonesia ini menyiratkan bahwa kepribadian baik atau buruk dari seseorang akan diingat oleh orang lain melalui nama. Tak heran bilamana beberapa nama dalam budaya tertentu dianggap tabu atau tidak berkenan. Hal itu biasanya karena sifat atau karakter yang pernah dibawa oleh seseorang yang memiliki nama tertentu pada masa lampau.
Apabila kita membahas fenomena pemberian nama seorang anak, kita tidak dapat melepaskan diri dari kebudayaan masyarakat yang melahirkan nama tersebut. Malinowski dalam Stefani (2016) menyatakan bahwa kajian penamaan tidak bisa hanya terikat pada bentuk saja, tetapi harus dijelaskan secara meluas terkait konteks lingkungan keberadaan nama tersebut. Budaya penamaan dikatakan dapat menggambarkan kondisi lingkungan kapan nama tersebut muncul. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bean (1980) bahwa sistem penamaan termasuk salah satu entitas budaya yang dapat menggambarkan pola pikir masyarakat yang menciptakan nama tersebut. Bagaimana masyarakat menciptakan nama akan membedakannya dengan komunitas masyarakat yang lain. Hal itu akan berbeda dari segi aspek geografis, masa, dan wadah sosial. Nama yang dimaksudkan oleh Bean mencakup nama tempat, nama kegiatan, ataupun nama diri.
Setiap proses penamaan juga memuat tradisi atau budaya yang unik bagi masyarakat tertentu. Misalnya saja, ritual Medak Api di Nusa Tenggara Timur. Ritual ini merupakan acara pemberian nama dalam suku Sasak di Lombok. Dalam budanya masyarakat Lombok, nama yang tidak cocok bagi seorang anak akan mengundang nasib buruk maka seorang anak harus diberikan nama yang memiliki arti yang baik. Masyarakat Sumatera Barat juga memiliki kepercayaan yang unik terkait nama. Anak-anak yang ketika kecil sering mendapat penyakit juga dianggap memiliki nama yang terlalu berat. Tak jarang nama anak-anak sering diganti agar terhindar dari penyakit yang berat.
Proses pemberian nama anak di Indonesia diatur dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 53 ayat 2 yang berbunyi “Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan”. Juga diatur dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bab III pasal 5 yang berbunyi “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”. Selain itu, juga terdapat hukum perdata yang mengatur cara pemberian dan perubahan nama yang terdapat dalam kitab undang-undang Hukum Perdata Bagian Kedua Pasal 5a hingga Pasal 12. Disebutkan pada pasal 5a bahwa “Anak sah dan juga anak tidak sah, namun diakui oleh bapaknya, memakai nama keturunan bapaknya; anak-anak tidak sah yang diakui oleh bapaknya, memakai nama keturunan ibunya”. Ini menunjukkan bahwa di Indonesia pemberian nama keluarga mengikuti garis keturunan bapak.
Sebagian daerah di Indonesia memiliki aturan yang khusus dalam pemberian nama klan atau dikenal dengan istilah marga yang diletakkan di belakang nama. Salah satunya dalam suku Batak. Setiap anak yang lahir secara otomatis mendapatkan marga bapaknya pada bagian belakang nama. Marga ini kemudian menjadi simbol kekerabatan dalam suku Batak. Tak heran dalam budaya Batak Mandailing, pernikahan semarga dilarang, kecuali telah melewati tujuh turunan. Hal ini dikarenakan mereka dianggap dalam keturunan yang sama (Batubara, 2018). Namun, tidak seperti suku Batak yang masih mempertahankan aturan adat tersebut. Budaya penamaan klan ini juga dilakukan suku Minangkabau dalam beberapa daerah di Sumatera Barat. Dalam suku Minangkabau, sangat jarang ditemui nama klan yang disematkan di belakang nama. Pemberian nama klan dalam suku Minangkabau juga tidak seperti suku Batak yang mengikuti garis keturunan bapak. Sistem kekerabatan matrilineal menyebabkan pemberian nama klan mengikuti garis keturunan ibu. Tentang klan ini dalam budaya Minangkabau dibagi atas dua kelarasan, yang kemudian membagi empat suku pokok dalam Minangkabau. Pertama, Kelarasan Koto Piliang. Ini terdiri dari suku Koto dan Piliang. Kedua, Kelarasan Bodhi Chaniago, yang terdiri dari suku Bodhi dan Chaniago. Suku-suku ini kemudian terpecah menjadi 96 suku kecil (Fatimah, 2011: 78).
Reniwati, dkk. (2013) mengatakan bahwa nama masyarakat Minangkabau banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta dan bahasa Arab. Kini peminjaman nama asing untuk anak sudah banyak dilakukan masyarat di Sumatera Barat sebagai bagian dari kontak budaya masyarakat dengan luar negri. Salah satunya negara Jepang yang telah menjadi destinasi dalam keberlanjutan jenjang pendidikan. Tak heran mengapa nama Jepang sudah mulai banyak dilekatkan dalam nama anak di daerah Sumatera Barat.
Berbeda dengan sistem penamaan di Indonesia, dalam budaya Jepang, nama anak diatur dengan kriteria cukup ketat. Nama dalam masyarakat Jepang ditulis dengan huruf Kanji. Secara umum nama orang Jepang terdiri dari dua bagian, yaitu 1) nama keluarga, yang terletak di bagian depan nama, dan 2) nama diri yang diletakkan di bagian belakang nama. Nama keluarga ini juga kemudian dibedakan menjadi dua jenis, yaitu nama klan dan nama garis keturunan. Nama klan terkait dengan hubungan kaisar kepada masyarakatnya. Nama klan ini dapat ditarik apabila terdapat tindakan pelanggaran yang dilakukan. Sementara itu, pemberian nama garis keturunan sifatnya turun menurun. Sejak zaman Edo, pemberian nama garis keturunan ini diatur secara ketat dan penggunaannya dibagi sesuai dengan kelas sosial (Collazo, 2017).
Orang Jepang juga akan mempertimbangkan urutan kelahiran anak dan memisahkan urutan tersebut antara laki-laki dan perempuan dalam penamaan. Urutan ini biasanya khusus diberikan dalam anak laki-laki atau yang disebut dengan istilah haikoumei 廃坑名 (Pradhana, 2020). Misalnya saja, pada nama Chounan merujuk pada anak pertama, kemudian Jinan sebagai anak kedua, Sannan unntuk anak ketiga. Dijelaskan oleh Chou (2015:76) bahwa masyarakat Jepang memilih unsur alam dalam penamaan terkait dengan asal daerah nama itu diciptakan. Dapat dilihat unsur alam yang digunakan dalam nama keluarga Jepang, seperti 木 ki yang artinya pohon, 山 yama artinya gunung, dan 川 kawa artinya sungai. Pemilihan unsur kata yang akan digunakan untuk nama anak menunjukkan ekspektasi orang tua Jepang terhadap anaknya (Pradhana, 2020).
Bentuk budaya penamaan Jepang ini kemudian digunakan oleh masyarakat di Sumatera Barat dengan menyematkan nama Jepang untuk anak mereka. Nama Jepang tersebut digunakan dengan beberapa kriteria berikut. Pertama, nama dengan unsur alam diadaptasi melalui nama Jepang. Bisa dilihat pada penggunaan kata hana berarti ‘bunga’, haruki berarti ‘pohon musim semi’, dan aozora berarti ‘langit biru’. Kedua, nama Jepang yang digunakan mencerminkan sifat yang diharapkan orang tua hadir pada diri anak mereka. Misalnya, pada penggunaan nama hikari berarti ‘bersinar’, aiko ‘anak yang dicintai’, dan hansamu berarti ‘gagah’. Ketiga, penggunaan nama Jepang kemudian diikuti dengan nama bapak. Cara ini tentunya tidak sesuai dengan budaya penamaan di Minangkabau yang lebih menggunakan nama klan dari pihak ibu, dan tidak melekatkan nama orang tua secara langsung. Tapi dengan menggunakan nama Jepang, penambahan nama bapak dilakukan bersamaan dengan pelekatan nama Jepang. Keempat, menggabungkan penggunaan nama Jepang dengan nama asing dari bahasa lain, seperti Inggris, Arab, dan lainnya. Masyarakat Minangkabau sejak dulu telah memilih kata dalam bahasa Arab untuk penamaan. Walaupun bahasa Jepang sudah ikut mempengaruhi dalam proses penamaan di Sumatera Barat, tetap saja nama dari Arab diikutsertakan menjadi pilihan nama. Misalnya, dapat dilihat pada nama Arazka Seiji, Kaori Zahra, dan Sa’id Yuudai. Terdapat penyandingan kata Arab dan Jepang dalam pemilihan nama.
Masyarakat yang memiliki kata Jepang sebagai nama untuk anak-anak mereka, sebelumnya telah mengetahui makna nama tersebut. Mereka juga memiliki alasan yang beragam ketika memilih kosakata Jepang dalam proses penamaan anak. Alasan tersebut biasanya selalu berkaitan dengan Jepang. Ada yang mengatakan kekaguman kepada Jepang, harapan ingin anak menjadi hebat seperti orang Jepang, hingga beralasan sebagai kenangan pernah bermukim di Jepang. Fenomena ini menunjukkan apa yang dikatakan oleh Watanabe (2013) sebagai pembentukan identitas sosiokultural. Melalui nama, masyarakat Minangkabau ingin membangun jaringan komunikasi yang menyampaikan bahwa negara Jepang telah memberikan pengaruh serta pengalaman baik bagi mereka sehingga pantas untuk diabadikan dalam sebuah nama. Pencampuran budaya penamaan ini menunjukkan karakter masyarakat Sumatera Barat dalam pepatah khas berbahasa Minangkabau yang berbunyi dima bumi dipijak, di situ langik dijunjuang. Masyarakat Minangkabau memiliki kemampuan menerima dan beradaptasi terhadap kehidupan sosial yang ada di sekitar mereka.
Discussion about this post