Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya”
“Matilah engkau mati, kau akan lahir berkali-kali”
(Laut Bercerita: Leila S. Chudori)
Masyarakat Indonesia tidak asing lagi ketika mendengar kata-kata penjajah karena pada dasarnya Indonesia pernah dijajah Belanda selama kurang lebih 350 tahun dan Jepang selama 3.5 tahun. Kekerasan atau paksaan-paksaan yang diberikan pada masyarakat Indonesia bukanlah menjadi sesuatu yang asing lagi. Jika pada zaman Belanda terjadi sistem tanam paksa yang dikenal dengan nama Cultuurstelsel, sedangkan pada zaman Jepang dinamakan Romusha. Sistem tanam paksa adalah sistem yang mengharuskan rakyat melaksanakan proyek penanaman tanaman ekspor di bawah paksaan pemerintah kolonial sejak tahun 1830.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berbagai permasalahan masih tetap berlangsung. Hal ini berkaitan dengan kata-kata Soekarno dalam pidatonya, yaitu “perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, sedangkan perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. Kata-kata ini terbukti dengan adanya berbagai permasalahan internal yang terjadi pada masyarakat Indonesia sehingga terbentuk beberapa gerakan, di antaranya Perjuangan rakyat semesta (Permesta) yang dideklarasikan oleh pasukan militer Negara Indonesia Timur yang dibentuk pada tanggal 2 Maret 1957. Kemudian, pada tanggal 15 Februari 1958, Ahmad Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Gerakan ini hadir karena munculnya kekecewaan terhadap sistem pemerintah pusat.
Permasalahan lain yang juga hadir di antara berbagai konflik internal yang terjadi di Indonesia dan sampai saat ini masih sering dibicarakan adalah peristiwa G30S dan 1998. Peristiwa ini masih menyimpan banyak teka-teki yang tak kunjung selesai hingga saat ini. Perihal pemberontakan. Kemudian, orang-orang yang diasingkan, hilang, dan kembali dengan cerita yang tidak ramah didengar telinga dan terlalu tajam untuk dirasakan.
Leila Salikha Chudori, seorang wartawan yang juga menulis karya sastra. Ia menjadi salah satu penulis yang mengangkat peristiwa 1965 dan 1998. Peristiwa 1998 yang dilihatnya secara langsung dituliskan dalam sebuah novel yang berjudul Laut Bercerita. Pada novel ini, peristiwa bersejarah ini diceritakan dengan alur yang begitu apik dan terasa begitu nyata.
Pada novel ini, diceritakan bagaimana Laut dan teman-temannya berkegiatan di sebuah rumah di Seyagen, Yogyakarta yang tergabung dalam kelompok Winatra dan Wirasena. Mereka selalu berdiskusi terkait perkembangan politik Indonesia dan mempelajari berbagai tulisan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan juga karya sastra. Sampai pada akhirnya, mereka akan mengkritik pemerintah dengan berbagai tulisan yang diterbitkan di media massa dan juga gerakan-gerakan perjuangan lainnya. Salah satu aksi yang mereka susun adalah untuk membela petani Jagung di Balangguan yang tanahnya diambil secara paksa oleh pemerintah.
Dalam novel Laut Bercerita juga membahas beberapa anggota Winatra dan Wirasena yang menghilang setelah beberapa aksi yang mereka lakukan. Kemudian, sampai pada akhirnya Laut dan teman-temanya ditangkap oleh intel lalu mereka disiksa dengan cara yang sangat tidak manusiawi, misalnya disetrum, diinjak, ditelentangkan di atas batangan es, dipukul, dan lain-lain. Mereka dipaksa untuk menjawab siapa dalang dibalik aktivitas yang mereka lakukan. Winatra dan Wiresana dianggap menjadi organisasi yang berbahaya bagi pemerintah pada saat itu. Pada akhirnya, hanya beberapa orang dari mereka yang dipulangkan setelah penyiksaan itu dan beberapa mahasiswa lainnya hilang dan bahkan sampai saat ini masih belum diketahui keberadaannya. Proses pencarian terus dilakukan, tetapi tidak kunjung menemukan titik terang. Sampai pada saat semua peristiwa tersebut hilang ditutup zaman dan cerita lainnya.
Segala bentuk perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan kelompok agama disebut juga dengan genosida. Dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menjelaskan tentang kejahatan genosida meliputi beberapa hal, diantaranya pembunuhan anggota kelompok; hal-hal yang dapat mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang sifatnya berat terhadap anggota kelompok; hal-hal yang menciptakan kondisi kehidupan suatu kelompok yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik menyeluruh atau sebagian; tindakan yang bersifat paksaan dengan tujuan mencegah kelahiran di dalam suatu kelompok; pemindahan secara paksa anak dari satu kelompok tertentu ke kelompok lainnya.
Beberapa hal yang disebutkan di atas ditemukan di dalam novel Laut Bercerita. Penyiksaan yang dilakukan pada Alex, Laut, Naratama, serta anggota Wiratna dan Wirasena lainnya dilakukan untuk kepentingan politik pada saat itu. Mereka melakukan penyiksaan agar keingtahuannya terhadap siapa dalang dari kelompok tersebut dapat diketahui. Hal ini dapat terlihat pada dialog Laut berikut ini,
“Tulang-tulangku terasa retak karena diinjak, ditonjok, dan digebuk beberapa orang sekaligus” (Chudori, 2017:50)
Siksaan yang dilakukan secara fisik tentu akan berdampak pada kesehatan mental orang yang mengalami siksaan ataupun orang yang berada di sekelilingnya. Hal ini yang disebut dengan genocide effect.
Kejahatan genosida tidak hanya berhenti pada orang yang dihilangkan atau disiksa, tetapi lebih besar dari pada hal itu. Dalam novel digambarkan terjadi trauma psikologis pada beberapa tokoh akibat penyiksaan yang dilakukan, misalnya pada tokoh Alex yang juga mengalami penyiksaan dan beberapa temannya anggota Wiratna dan Wirasena yang mengalami siksaan dan hilang. Alex tidak bisa mengontrol emosinya dan tersiksa dengan ingatannya perihal peristiwa penangkapan yang ia dan teman-temannya alami.
Trauma psikologis tidak hanya menyiksa orang yang secara langsung terlibat dalam kejahatan genosida yang terjadi, tetapi juga orang-orang yang memiliki kedekatan dengan korban. Dalam novel Laut Bercerita ada beberapa tokoh yang juga mengalami trauma psikologis, terutama kekasih dari Laut yang bernama Anjani. Anjani adalah perempuan yang sangat pintar membuat sketsa gambar dan ketika Laut menghilang dia hanya menghabiskan waktunya untuk itu agar semua ingatannya tentang Laut menjadi kabur.
Selain trauma psikologis, juga terjadi penyangkalan (denial) yang menjadi genocide effect dalam novel Laut Bercerita. Penolakan itu tidak hanya tergambar pada tokoh, Anjani, kekasih Laut, tetapi juga pada Bapak dan Ibunya Laut. Hal ini terlihat dari sikap yang ditampilkan oleh Bapak dan Ibu ketika hari Minggu mereka tetap menyiapkan piring untuk Laut sepeti kebiasaan mereka pada setiap hari Minggu. Kemudian, Bapak juga akan melarang keras ketika ada orang yang ingin mengacak-acak kamar Laut. Penyangkalan yang dilakukan Bapak dan Ibu tersebut dapat terlihat pada dialog yang disampaikan oleh Anjani berikut,
“Ibu dan Bapak biasanya akan bergantian datang ke acara pertemuan ini karena khawatir, ‘kalau kita semua pergi, nanti Mas Laut datang, rumah kosong’…” (Chudori, 2017:316)
Denial merupakan bagian dari mekanisme pertahanan yang dilakukan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang menyedihkan.
Novel Laut Bercerita menjadi media identifikasi intergenerational jika dikaitkan dengan teori Postmemory. Pada novel ini pembaca mengidentifikasi memori ataupun trauma yang ada pada zamannya. Sebagai generasi muda bersikap apatis terhadap berbagai peristiwa sejarah yang terjadi pada negaranya bukanlah sebuah pilihan. Banyak hal yang seharusnya dipertanyakan karena banyak cerita yang akhirnya tenggelam akibat ketidakpedulian.
Discussion about this post