Mantra
Kupersembahkan sajen ini
berisi sekuntum rindu dengan
serangkai kata mengasap bersama kemenyan
kuselipkan melati yang membau biru
dengan patahan hati yang mengabu
anyir nan kuat mengusik relung hatimu
setetes nadiku rupanya telah menyatu
melebur dengan pinta penuh penyerahan
mantra ini terus kurapalkan
biar sampai ke
dasar
lalu melambung
mencabut atmamu
Jambi, 08 Juni 20
Sesajen
selamat menikmati,
sepiring cinta bertabur kasih dan sayang
sepiring lagi kata yang belum sempat terucapkan
di pinggirnya secarik rindu yang sempat tertulis,
ditemani seduhan kopi para penyair di kala gerimis
jangan lupa sepuntung pemanis
sebagai pembakar banyaknya tangis
kalau belum tahu rasanya cinta,
ciciplah
akan terasa kenyal di dalam mulut
lalu mekar sampainya di perut
hirup juga sepiring kata yang masih hangat itu,
aromanya sungguh memabukkan,
terasa melayang di ambang halu
Jambi, 08 Juni 20
Sekotak Kenangan
di antara segiempat berpintu
tersimpan rapi tepat di sudut itu
setumpuk rindu menyanyi sendu
iramanya lirih menarik luka-luka terdahulu
mengenangnya satu demi satu
sekelebat sembilu menyayat haru
tumbuh lagi satu harap bahwa semua belum berlalu
satu lagi di antara nan usang
ditimbun debu sepanjang zaman
lidah kelu kaku membisu
tiada daya mengulang waktu
Jambi, 07 Juni 20
Biodata:
Rina Anjarwati merupakan salah satu manusia di sumpeknya raya nan fana ini. Ia suka merangkai kata sambil menelan coklat hingga keracunan. Jangan cari aku di UPGRISBA, jangan pula cari aku di Wattpad. Coba lihat ke belakang, barangkali kau melewatkan aku dalam sekelebat pandang.
Sindiran yang Halus
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
hirup juga sepiring kata yang masih hangat itu,
aromanya sungguh memabukkan,
terasa melayang di ambang halu.
Tak ada salahnya jika puisi digunakan untuk menyampaikan kritik tentang suatu hal atau perilaku seseorang. Puisi memang alat untuk menyampaikan pikiran, pengalaman, atau perasaan meski dikemas dengan bahasa yang estetis. Puisi adalah suara jujur tentang kehidupan yang dijalani anak manusia. Di dalamnya terkandung jiwa zaman melalui aneka diksi, metafora, ataupun tanda yang digunakan penyair untuk menyembunyikan maksud sekaligus mengomunikasikannya.
Bagi penyair pelopor Angkatan ’45, Chairil Anwar, puisi adalah bentuk patriotisme untuk memperjuangkan kemerdekaan bersenjatakan kata-kata. Puisi memang tidak bisa menembak mati musuh layaknya sepucuk bedil, namun puisi dapat menggerakkan jiwa-jiwa manusia terjajah untuk bangkit menghadapi para penjajah merebut kembali hak yang dirampas. Pada kemudian hari, Chairil memang membelokkan visi kepenyairannya dengan lebih mememekikkan keinginan merdeka yang mengarah pada ideologi individualis, tetapi tetap saja kecenderungan itu dapat ditautkan ke kondisi masyarakat negeri yang baru merdeka dengan euforia yang kadang picik dan terkesan egoistis.
Gaya Chairil yang berbelok soliter, misalnya pada kutipan “Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang” (“Aku”) atau “Bukan maksudku berbagi nasib-nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing” (“Pemberian Tahu”), memang terbaca seperti meninggalkan semangat patriotik yang sebelumnya diusung (dalam Prasetyo, 2021). Namun, jika diteliti, distorsi tersebut bisa diartikan sebagai bentuk kritik atas perubahan kondisi sosial sebuah negara yang baru lahir. Setelah perjuangan untuk tujuan bersama di masa yang genting, pada waktu tenang orang-orang akan berfokus pada kebutuhan yang lebih pribadi. Perang telah usai, saatnya menata kehidupan masing-masing. Saat itulah, jiwa penyair Chairil dirundung sepi, seperti halnya jiwa-jiwa anak bangsa lainnya yang terseret ke dalam kehidupan yang mengarah pada sifat individualistis kaum urban perkotaan.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah pusi karya Rina Anjarwati. Ketiga puisi tersebut berjudul “Mantra”, “Sesajen”, dan Sekotak Kenangan.” Puisi-puisi bertitimangsa Jambi. Rina terlihat telah menguasai apa yang hendak dia tulis. Ketiga puisi berpusat pada relasi ‘aku’ dan ‘kamu’ lirik yang dikonkretisasi ke dalam peristiwa simbolik merapal mantra dan memakan hidangan. Puisi “Mantra” menceritakan peristiwa yang tampak sebagai upaya mengguna-gunai seseorang dengan ritual sihir agar menuruti apa yang diinginkan si pemberi guna-guna: ‘Kupersembahkan sajen ini/ berisi sekuntum rindu dengan-/ serangkai kata mengasap bersama kemenyan// kuselipkan melati yang membau biru-/ dengan patahan hati yang mengabu/ anyir nan kuat mengusik relung hatimu/ setetes nadiku rupanya telah menyatu/ melebur dengan pinta penuh penyerahan.’ Lepas dari aspek supranatural yang menjadi subkultur masyarakat Timur, mantra di dalam puisi ini dapat juga diartikan sebagai usaha-usaha penaklukan yang real, seperti perbuatan memberi perhatian, kata-kata menyenangkan yang dapat menimbulkan kesan mendalam, atau kisah tragedi di masa lalu yang dapat memantik rasa simpati dari ‘kamu’ lirik sehingga memberikan perhatian sesuai dengan harapan (pinta) ‘aku’ lirik. Seperti umpan untuk mendapatkan balasan cinta.
Kejutannya muncul di bait ketiga, ‘mantra ini terus kurapalkan/ biar sampai ke dasar/ lalu melambung/ mencabut atmamu.’ Tujuan upaya ‘aku’ lirik melakukan tindakan-tindakan merebut perhatian ‘kamu’ tak hanya untuk menaklukkan supaya menuruti harapan, tetapi lebih dari itu ada motif ingin menguasai dan menghancurkan. Puisi ini dengan halus menggambarkan bagaimana relasi dua orang yang tampak terbentuk dari maksud baik saling mengisi dan melengkapi punya sisi buruk karena dapat menyimpan ambisi untuk menguasai secara negatif hingga sampai kepada kondisi penghancuran. Ini dapat dilihat pada relasi toksik yang terjadi dalam relasi percintaan.
Puisi kedua “Sesajen” melanjutkan kritik fenomena interaksi antarpribadi pada puisi pertama. Jika puisi pertama menggunakan ‘mantra’ sebagai alat penaklukan, puisi kedua ini menggunakan imaji makanan. Peristiwa makan dengan melibatkan perlengkapan piring, serta diksi-diksi perjamuan seperti ‘secarik kopi’, ‘pemanis’, ‘pembakar’, ‘kenyal’, ‘mulut’, ‘perut’, ‘hirup’, dan ‘aroma’. Rangkaian imaji-imaji menikmati sajian yang dihidangkan ini lagi-lagi ditutup dengan akhir yang mengejutkan: ‘aromanya sungguh memabukkan,/ terasa melayang di ambang halu.’ Ternyata semuanya hanya khayalan belaka, hanya halusinasi. Penikmatan sajian yang dihidangkan tersebut bermuara pada sesuatu yang sia-sia, hampa, tak bermakna.
Puisi ketiga menjadi momen penyadaran atas iktikad jahat dan fatamorgana harapan, ‘setumpuk rindu menyanyi sendu/ iramanya lirih menarik luka-luka terdahulu// mengenangnya satu demi satu/ sekelebat sembilu menyayat haru/ tumbuh lagi satu harap bahwa semua belum berlalu// satu lagi di antara nan usang/ ditimbun debu sepanjang zaman/ lidah kelu kaku membisu/ tiada daya mengulang waktu’. Relasi semu terdahulu memang menggugah rindu, namun apa yang telah terjadi tidak bisa dikembalikan ke keadaan semula.
Puisi adalah media untuk mengungkapkan pesan secara tersirat, pesan ajakan, harapan, penolakan, atau kritik yang bahasa yang diperhalus. Itulah sebabnya mengapa disebutkan bahwa jantung bahasa adalah puisi.[]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.