Suara Hati untuk Hati
Wahai hati
Berhentilah bermuram durja
Redamlah gemuruh yang makin bergelora
Tak perlu kau mempertikaikan takdirnya
Karena kita hanyalah pelakon saja
Hati…
Bukan tentang sabar yang ingin kukabarkan
Tapi tentang Dia yang tak pernah abai
Pada takdirmu dan takdirku
“Kau arungi saja dengan cara terbaikmu
Tak perlu kau pilu bak tersayat sembilu”
Wahai hati….
Berdamailah dengan diri ini
Bangunlah, hadapi hari depan apa pun yang terjadi
Tak usah takut, ombak pertanda laut masih hidup
Pamulang, 10 Oktober 2020
Motor Tua Bapak
Malam gelap buta, Bapak mandi keringat mendorong motor bututnya
Gurat di wajah tuanya dialiri keringat yang penuh asin dunia
Bapak berhenti, menghela nafas, dan kemudian melanjutkan perjalanannya
Jalan berdebu, sepatu lokak yang telah menganga kini semakin memutih dipenuhi debu
Cahaya rembulan menuntun langkah Bapak, ia menyeka keringat bercampur air mata.
Diam-diam memandang lurus ke depan, takut jika bocah kecil yang mengiringi melihat air matanya
Konon kabarnya air mata Bapak di depan anak seperti belang harimau yang tak boleh terlihat
Di simpang empat, di depan tambal ban, Bapak menggetuk pintu satu kali
Berharap lelaki legam tukang tambal ban itu menjelma malaikat di malam ini
Tak lama, pelan-pelan Bapak memanggil tukang tambal ban
Lelaki itu keluar sambil merapikan kain sarungnya
Wajahnya sumringah
Bapak tersenyum, meraih tubuh kecil anaknya yang lelah menghela langkah
Sambil menempel ban, tukang tambal ban itu malah menangis
“Tuhan menjawab doa saya,
saya sudah tidak punya uang untuk membeli sarapan pagi anak-anak.”
“Bapak tersenyum, mengeluarkan uang upah menambal ban
Lelaki itu ragu-ragu, tidak punya uang kembalian untuk Bapak
Bapak bilang “ambil saja, untuk uang jajan anak-anak besok pagi.”
Pamulang, 10 Oktober 2020
Ingatan Tentang Bapak
Di kursi panjang bapak menyeka rambutku,
menggosok-gosok kepalaku dengan lembut
“Jangan takut menghadapi hidup,
jangan ragu menghadapi takdir.”
Aku hanya mampu mengangguk menyahuti kata-kata yang mengalir di bibir bapak,
perlahan aku merapatkan dudukku padanya,
serapat kutub utara magnet saat didekatkan dengan kutub selatan
Aku mendekap lengannya kuat, bukan karena ketakutan
Tapi dekapan kagum karena aku memiliki lelaki bertuah seperti bapak
Aku mencuri semangat Bapak
Terus bersemangat!
Tidak mudah menyerah dan tidak berputus asa!
Pamulang, 30 Oktober 2020
Biodata Penulis:
Fatma Hayati, M.Pd. Alumni Universitas Negeri Padang (UNP) dan Universitas Indraprasta PGRI. Ia baru belajar menulis dan beberapa karyanya telah dimuat dalam beberapa buku antologi di antaranya; Menuju Titik Puncak (2020), Sinar Keteladanan (2020), Haru Catatan Ramadhan (2020), Batas Keangkuhan (2020), dan Rahasia Jodoh (2020), dan Akhir Sebuah Penantian (2020).
Hakikat Puisi-Puisi yang Bercerita
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasehat Pengurus FLP Sumbar dan Dosen Prodi
Ilmu Komunikasi, UPN Veteran Jakarta)
Pada dasarnya, puisi adalah suara batin dari seorang penyair yang dia sampaikan kepada pembaca. Puisi sebagaimana lazimnya menyimpan berbagai makna baik yang tersurat maupun makna-makna yang tersirat. Puisi mengemukakan masalah hidup dan kehidupan. Ia mengisahan tentang jalannya peradaban.
Sulkifli dan Marwati (2016) dalam tulisan mereka berjudul “Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas VIII SMP Negeri Satu Atap 3 Langgikima Kabupaten Konawe Utara” yang dimuat dalam Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, mengungkapkan bahwa puisi adalah bahasa perasaan yang dapat memadukan suatu respon yang mendalam dalam beberapa kata. Puisi termasuk salah satu bentuk karya sastra. Kehadiran sebuah puisi merupakan pernyataan seorang penyair pernyataan itu berisi pengalaman batinnya sebagai hasil proses kreatif terhadap objek seni. Objek seni ini berupa masalah-masalah kehidupan dan alam sekitar ataupun segala kerahasiaan (misteri) dibalik alam realitas dan dunia metafisis.
Lebih jauh, Sulkifli dan Marwati (2016) menyampaikan bahwa puisi diciptakan dalam suasana perasaan intensif yang menuntut pengucapan jiwa yang spontan dan padat. Dalam puisi, seseorang berbicara dan mengungkapkan dirinya sendiri secara ekspresif. Puisi mendasarkan masalah atau berbagai hal yang menyentuh kesadaran anda sendiri. Tema yang kita tulis berangkat dari inspirasi diri sendiri yang khas, sekecil, dan sesederhana apa pun inspirasi itu.
Menurut Samuel Taylor Coleridge (dalam Suryaman dan Wiyatmi, 2013), puisi adalah kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat hubungannya, dan sebagainya. Pendapat lain disampaikan Carlyle yang menyatakan puisi adalah hasil pemikiran yang bersifat musikal.
Sementara itu, Wordsworth menyatakan bahwa puisi merupakan pernyataan perasaan imajinatif, yakni perasaan yang diangankan. Seiring dengan itu Dunton menyatakan bahwa puisi merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional dan berirama. Berdasarkan berbagai definisi tersebut, dapat dilihat beberapa unsur yang menjadi simpulan bahwa yakni puisi itu merupakan emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindra, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur (Pradopo, 2005).
Puisi secara umum memiliki struktur pesan dalam pemaknaannya. Ada hal-hal yang bisa dilihat pembaca untuk memaknainya. Agustinus Suyoto dalam tulisannya berjudul “Dasar-Dasar Analisis Puisi” yang dimuat dalam, Lembar komunikasi Bahasa dan Sastra Indonesia mengutip pendapat I.A. Richard bahwa ada beberapa pendapat tentang unsur-unsur pembentuk puisi. Dia membedakan dua hal penting yang membangun sebuah puisi yaitu hakikat puisi (the nature of poetry), dan metode puisi (the method of poetry). Hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok, yaitu: Sense, feling, tone, dan intention.
Tulisan ini akan membahas tentang hakikat puisi berdasarkan pendapat I.A. Richard di atas. Hakikat puisi ada empat. Pertama, sense atau tema adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan). Kedua, feling (rasa) adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan. Ketiga, tone (nada) adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif. Keempat, intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair.
Hakikat Puisi Suara Hati untuk Hati, Motor Tua Bapak, dan Ingatan Tentang Bapak
Kreatika minggu ini membahas tiga puisi karangan Fatma Hayati yang berjudul “Suara Hati untuk Hati,” “Motor Tua Bapak,” dan “Ingatan Tentang Bapak”. Ketiga puisi ini ditulis pada bulan Oktober 2020. Setelah membaca puisi ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ketiga puisi ini memiliki sense atau tema yang sama, yaitu bagaimana kenangan seorang anak terhadap orang tuanya. Sense atau tema adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan). Dalam puisi-puisi karya Fatma Hayati tersebut terlihat bahwa tema disampaikan penulis puisi dengan gamblang dalam puisi-puisinya. Artinya hanya dengan membaca atau melihat pada lapis pertama, pembaca sudah tahu tema puisi tersebut.
Hakikat kedua dari sebuah puisi adalah feling (rasa). Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan. Persoalan yang diangkat Fatma Hayati adalah persoalan yang netral, tidak kontroversial. Siapapun manusia yang memiliki Bapak tentu memiliki kenangan akan lelaki itu. Walaupun ada anak-anak yang tidak mendapat perlakuan baik dari Bapak, secara ideal Bapak akan memberi kesan baik kepada anak-anaknya. Begitulah tiga puisi yang ditulis Fatma Hayati ini, tema-tema baik tentang Bapak ini pada dasarnya adalah rasa yang sama dimiliki manusia.
Hakikat ketiga dalam puisi adalah tone (nada). Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, dan sugestif. Dalam puisi naratif ini, penulis seperti tidak berinteraksi dengan pembacanya. Ia menulis seolah untuk dirinya sendiri. Penulis hanya seperti bertutur tentang kisah-kisahnya dengan Bapak dan dengan segala ingatannya.
Sementara itu, hakikat puisi yang keempat adalah intention (tujuan). Intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair.
Dari pembacaan atas tiga puisi itu, tidak terlihat tujuan eksternal dari penulis puisi. Ketiga puisi seolah bertujuan untuk dirinya sendiri, mengingat Bapak sebagai manusia terbaik dalam hidupnya.
Apapun hakikat puisi yang sudah disampaikan di atas, tentu saja itu adalah pembacaan subjektif saja. Pada dasarnya, memaknai puisi adalah tugas dari pembaca. Pembaca puisi merdeka untuk menikmati puisi dengan caranya sendiri. Tidak terpenjara oleh penafsiran orang lain, apalagi penafsiran tulisan ini. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post