Kepada Yepeye
Aku melihat mata bertangga
menuju sebuah kolam pecah di rantau angin
di sana bunga-bunga merayap di bawah lumut
dan seekor buaya menggenggam telur ayam
Aku melihat perca-perca mata tangga
jatuh membedak ke lantai kayu
dihinggapi lalat hijau, dikerubungi semut merah
dan awan menggenang di sana
Aku melihat tangga mata
turun dari lereng bersaga—pembiasan
memulangkan yang tertinggal dalam pengulangan tahun
air membeku di lantai utama
Aku melihat mata bertangga pada cinta yang patah
tangga matanya ialah mata tangga yang tajam
tuan lain—rumah baginya
yang tersenyum dalam pagutan entah ke berapa
Kandang Pedati, 2021
Kepada Yepeye II
Jantungku berdetak sesak
pertanda resah berkepanjangan di ulu hati
setajam sembilu menyayat-nyayat
tak bisa kusebut lagi tentang damai sebelumnya kusimpan di tubuhmu
yang kian biru, dan menjadi tuba di detikku
Aku salah memberikan alamat kepadamu
tiada terkata oleh lidah
seolah mulutku telah dililit ular
dada tipis, telinga selembar kapuk
aku memberi tinggal pada rumah tuan lain
seperti gelombang pasang menghantamku berkali-kali
seperti dipiyuh angin kusut sepanjang jaga
harap tak menemu sua
tak berbalas genggaman
Menggenggam yang lain
pada sajak ini, aku melepas resah
melepas segala yang pilu
merawat sakit
sebagai ingatan kekecewaan
Kandang Pedati, 2021
Kepada Yepeya III
Selain sakit yang menyansam di tubuhku
ada rindu yang berpintalan di hati
bertuan, tak berbalas
Aku serupa dendang iba di sepanjang ingatan
namun kau telah mematahkan harap
sayap yang kukepakkan kepadamu
kau putus dengan sekali tebasan
pedang bermata dua
Potret itu menjadi duri di jantungku
menjadi remuk di lubuk terdalam
bagaikan aku kau bawa terbang setinggi aras
dan kau hempaskan ke dasar bumi
Kandang Pedati, 2021
Kepada Yepeye IV
Hidangan hari ini, bukan lagi perperangan
revolusi, dan perjuangan
namun mental sakit dari harap yang ditebas
seperti puisi ini tentang penanggalan habis
Telah aku pancang, telah aku beri batas
Cukup!
Pergilah!
Tuba yang kau selipkan di potret itu
menjelma demam lain di badan
obat jerih pelerai demam, sudah tamat
sekali berbuat, lantas esok kau akan mati
meski aku terus mengingat
dan seperti menelan batu cadas
mengoyak-ngoyak tubuhku
Aku menjadi bagian yang hilang di tiap halamanmu
menjadi kertas buram yang kau pakai sesekali
ketika dekapnya tak lagi menuankan dirimu
itulah kebodohan yang tak pernah kupintari darimu beberapa minggu ini!
Kandang Pedati, 2021
Kepada Yepeye V
Hanya sajak yang bisa kucumbui
dari tinggam yang kau tancapkan di tubuhku
mulutku seketika terkunci
Aku membatu, tiada menemu sandar
cintaku telah luruh dan hanyut ke muara
ingatan itu seperti bekas yang ingin aku tebus
tapi tiap-tiap tangan akan menggenggam
jiwaku kau kubur dengan kepolosan
sakit lain itu kujumpai kembali
saat aku telah mengenal diri
mengenal kesetiaan
O, renungan,
O, perigi mata,
Dihantam bulan purnama
tapi kau mengungkit ingatan itu
Aku tak ingin kembali ke sana
sebab kau bukanlah cinta yang dulu
pergilah,
biarkan aku di sini memelihara sakit lain
Kandang Pedati, 2021
Kepada Yepeya VI
Jika ingatan merasuk tajam ke kepala
maka bersiaplah untuk pergi
sebab ini bukanlah permainan ular tangga
sekali datang, sekali itu menjadi bisa
Aih, sungguh kepulangan yang benar-benar pulang
masih kucari di antara lekuk-lekuk hati yang kau karati
—bukan kau terlalu jenius terhadap kepolosan
antara kejujuran dan simbol pembatasan
sebab mulutku telah berhenti bergerak
dan hati serasa lerak
Lewat sajak ini, aku berpamit!
ruang kosong telah diisi, kosongkanlah kembali
terima dengan kasih kubelasungkawakan kepadamu
Kandang Pedati, 2021
Biodata Penulis:
Mhd. Irfan lahir di Pariaman, 26 September. Ia sedang menyelesaikan studi di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas. Ia juga aktif menulis esai, puisi, dan cerpen dan bergiat di Bengkel Seni Tradisional Minangkabau (BSTM), Labor Penulisan Kreatif (LPK), dan Lab. Pauh9. Tulisannya tersebar di berbagai media cetak dan elektronik.