Senin
Sebuah meja hitam berkaki empat
meredup dalam sebotol teh pucuk harum
dan piring kaca sumbing di sebelah getar jam tangan
segalon air menetes ke kaki anak semut
Smartphone dengan nada pagi berkicau di daun telinga
kepulangan pertama tidak berketahuan
anak-anak meminta jatuhkan mainan dari pesawat kertas yang diterbangkan
kembalilah demi sepatu kusam tanpa kaos kaki
Kini lacinya bukan lagi Doraemon movie Jepang
bermain ia dalam saku gunung Pasaman
cerita angin lereng dan orang sedeng di keranda mulut hutan
menjadi liang utama dari kesaksian cerita duka sang pejuang
Sudahkah mereka berpusat kepala
di antara urat-uratnya yang berpintal-pintal
pagi menipis dalam sebuah ember kamar mandi
hidung menebal, rabu berkarat tembaga
Kandang Pedati, 2021
Selasa
Aku dan sepanjang lorong tak bertangga ini
penghuni dalam engsel pintu kamar yang tanggal
gembok-gembok titanium bersegel
“Dilarang masuk ke kamar ini!”
Seperti kaki yang gatal
oleh jamur-jamur urban
detak jantung terdengar serupa ritme kain panjang
dua ekor kucing bersiaga setiap saat
Tak juga mereka akan datang pada perjamuan hari-hari
berikutnya suara tinggal gambar samar
senantiasa terkembang dalam gigil ingatan
kealpaan dini menjelma diangan bara yang meredup
Sepanjang lorong ini
arwah-arwah bergentayangan
kalimat-kalimat gelap tak berpinggan
menancap ke ceruk bumi pedati
Kandang Pedati, 2021
Rabu
di kartu hati aku menaruh hidup
terminal token mengamen tiap sebentar
“beri aku setoken pulsa”
kabel sepanjang tiga halaman kamus lengkap
ialah karet yang meregang dalam mesin cuci
tirai dua jendela dengan lima nama yang terbilang
telah usai dalam perang panjang
meratap iba kepada ibukota
mata bajak tak laku di sana
kuda patah kaki, kini berlemah bingkai
berpejam mata, berpekak telinga, berbisu mulut
pada sebelanga nila bertuba susu
Kandang Pedati, 2021
Kamis
Yang terdengar darinya hanyalah sendawa siang
gema di antara lantai basah dan dinding durian
saat papan teriplek berjejer memberi jalur alternatif
kau meninggalkan biji terakhir di saku celana pemotret itu
Tangkapan gambarnya—air terjun lenggo geni
menukik ke jantung tanah
batu-batu pijakan bersenandung lemas
aku di puncak kadal dewa air
Kemudian seorang anak perempuan masuk ke dalam jam melar
tukang bikin rumah mengutuk kecoa dan tikus malam
sementara nyamuk tak memakai masker
berkeliling membawa rindu kematian
Aku berdiri di atas sajadah
tanpa lampu ajaib zaman kuno
mengukur angin, mendepa pandangan
saat ini aladin sedang berada di dua tahun pengurungan
Kandang Pedati, 2021
Jumat
Aku tak menyuruhmu pergi meninggalkan cinta
karena bukan sepi berkepanjangan
bukan kabar petang yang saling dinanti
tapi ialah tubuh waktu
Sementara Tuhan di dunia ini
di mana-mana
jejak masa silam telentang di dada sakit
aku menjelma si bisu tak bertangan
Pergilah dari lembah tua ini
seraya menunggu darah bulan menetes di telaga
kita akan saksikan sengilu luka bermata-mata
sebelum serigala datang membawa bulu domba
Kandang Pedati, 2021
Biodata:
Mhd. Irfan lahir di Pariaman, 26 September. Sedang menyelesaikan studi di Jurusan Sastra Indonesia Unand. Menulis puisi dan cerpen. Pernah dimuat di beberapa media cetak dan daring. Bergiat di Bengkel Seni Tradisional Minangkabau (BSTM), Labor Penulisan Kreatif (LPK), dan Lab. Pauh9.
Discussion about this post