Pulanglah, Bujang
Cerpen: Hasbunallah Haris
Aku pulang ke Batipuh sekitar dua hari yang lalu, langsung kutemui pria tua berjenggot lebat di rumah gonjong itu sesuai yang diamanatkan sahabat karibku, Harfan. Sebelum kematiannya di Bukit Alang Lawik, tak tega aku melihat air muka orang tua itu ketika beruluk salam padanya. Mata tua keriputnya yang sendu menatapku kosong, lurus menembus pundakku ke jalan setapak di belakang sana. Pastilah dia sedang menantikan anaknya pulang. Biasanya di mana ada Harfan, di sana pula ada aku. Kami bagaikan orang kembar namun apa daya diri yang layu ini yang tak mampu mencegah datangnya maut menjemput sahabatku lebih dahulu.
“Naiklah, Buyuang,” ujarnya dengan suara gemetar. Langkah-langkah kakinya yang bungkuk dan kurus itu menjejak papan-papan rumah dengan bunyi yang memprihatinkan. Aku duduk di kursi rotan di ambang jendela, masih dengan pakaian dinasku dan senapan sub stenggan yang kusandarkan ke tiang rumah.
“Ah, tidak usah membuatkan air, Datuk,” kataku ketika orang tua itu berdiri lagi ke meja di seberang ruangan untuk menuangkan air panas dari termos yang sama tua dengan dirinya. “Saya hanya mampir sebentar saja, hendak mengajak Datuk ke Bukittinggi,” lanjutku.
Datuk Parmato Sati, ayah dari sahabatku, berpaling dan tiba-tiba kulihat rahangnya mengeras. “Tentu,” sahutnya sedikit kasar. “Waang tidak sabar lagi hendak menunjukkan makam anakku itu, kan?”
Aku tak menduga Datuk akan berkata demikian, cepat-cepat kukuasai diriku dan tiba-tiba saja kursi rotan yang sedang kududuki memanas. Aku berusaha menghiburnya karena dia sudah tahu anaknya telah pergi untuk selamanya.
“Bukan begitu, Datuk, saya datang lebih cepat karena ada beberapa hal yang perlu Datuk ketahui tentang Harfan. Sebelum kematiannya, dia sempat berwasiat agar ayahnya datang ke pemakaman dengan membawa karih peninggalan ibunya, serta membacakan doa di pusara itu,” lanjutku. Datuk mendengarkan sambil berdiri.
“Waang sudah memesan bendi, kalau begitu?”
Aku pun mengangguk. “Kapan pun Datuk siap, kita akan segera berangkat.”
“Apa kondisi sudah aman sekarang?” tanya Datuk lagi.
Aku hendak menjawab ‘iya’ namun mulutku tergantung begitu saja. Kuutarakan bahwa tak akan ada yang berani menyakiti orang Minang selama dia berpihak kepada Kolonel Ahmad Husain di masa sekarang. Datuk mengangguk lesu. Beberapa kali dia menghempaskan napas berat sambil melantunkan shalawat dan zikir. Dia berjalan ke kursi rotan di hadapanku dan duduk di sana sambil merenung.
“Di mana ang habis perang?” kata Datuk setelah diam yang cukup lama.
“Di mana anakku meninggal dimamah timah panas kalera itu?”
“Di ngalau, Datuk, di Bukit Alang Lawik, kami terkepung dua hari dua malam di sana.”
“Dan waang selamat?”
“Saya terjun ke Batang Agam, Datuk. Orang-orang menyelamatkan saya yang sudah mengapung di sungai.”
Datuk kembali menghempaskan napas beratnya. Diambilnya bungkusan kecil dari laci meja dan dikeluarkannya beberapa helai daun tembakau kering, diraciknya perlahan, dan disulutnya dengan korek api berbentuk kepala singa berwarna hitam. Asap membubung ke udara dan aroma tembakau seketika memenuhi langit-langit rumah gonjong itu.
“Anakku itu,” ujar Datuk mulai bercerita. “Sudah terbiasa menjadi orang susah, aku sudah sangat lama memperingatkannya akan kematian dan dia sama sekali tak gentar. Dia berjuang untuk tanah kelahirannya dalam dunia yang makin gila ini dan sekarang dia benar-benar pergi.” Datuk lalu menatapku dengan tajam, mendecapkan bibirnya yang sudah menghitam.
“Waang pesanlah bendi, kita bertolak ke Bukittinggi sekarang juga.”
Aku segera bangkit dari duduk, lalu membungkuk sebentar sebelum kemudian turun ke jalan untuk memanggil bendi yang tadi kusuruh menanti. Kubawa bendi itu ke halaman bersama kusirnya yang berumur sekitar lima puluh tahun, lalu aku kembali naik ke rumah gonjong untuk menjemput Datuk.
“Ayo, Buyuang,” ucap Datuk menyelipkan karih di pinggangnya dan menyandang tas kecil yang terbuat dari kulit harimau.
Siang itu kami bertolak ke Bukittinggi. Aku yang duduk di samping datuk hanya mampu terdiam sambil mengenang masa-masa kecil kami di sini. Kami seringkali berebut mengambil buah kemunting, berburu kuini dan durian bila musim, lalu setelah puas makan-makanan yang ranum-ranum itu kami akan menceburkan diri ke Danau Singkarak, mencari pensi dan lokan. Pernah satu kali, Harfan memarahiku karena tak memberitahunya bahwa aku sedang sakit. Dia datang ke rumahku sambil membawakan jambu monyet yang merah-merah berserta ceramahnya yang panjang lebar. Aku diam mendengarkan dan sahabatku itu terlalu berlebihan mencemaskanku.
Sore ketika sebuah peluru menelusup ke dada kiri Harfan, aku berdiri hanya beberapa depa darinya. Segera kubuang senjata di tanganku dan menghambur memeluknya. Darah bercucuran dari dadanya yang berpakaian dinas itu, sedangkan dia terbatuk beberapa kali sebelum kemudian mencoba tersenyum. Batuknya menyemburkan darah.
Kupeluk Harfan dengan erat, kututupi dadanya dengan tanganku untuk menghambat darah keluar namun dia menggeleng dengan lesu.
“Sudah takdirku,” lirih Harfan dengan tersengal-sengal. “Sudah takdirku aku akan pergi lebih dulu. Tolong sampaikan pada … ayahku … bawakan karih ibuku, lalu doakan aku.”
Tanganku gemetar memeluknya dan tak tahu apa yang harus kulakukan saat itu karena rentetan senjata memekakkan telinga. Aku makin menunduk untuk memeluknya dan berharap sebuah peluru akan turut bersarang di tubuhku dan kami bisa pergi bersama. Namun, ternyata tidak. Harfan mengangkat tangannya dan menunjuk Batang Agam dan mengisyaratkan bahwa pasukan kami sedang terdesak dan menyuruhku untuk mundur.
“Pulang, Bujang, sampaikan pada ayahku,” lirihnya lagi dengan mata yang hampir tertutup. “Aku bukan kawan yang baik ….”
Aku menggeleng dengan cucuran air mata. “Waang tidak akan aden tinggalkan di sini. Kita akan pulang bersama.”
Tatapan Harfan memohon, sekali lagi dia mengisyaratkan Batang Agam dengan telunjuknya yang tanpa tenaga, menyuruhku pergi.
“Pulang, Bujang, pulanglah waang.”
Tak lama kemudian terdengar deru pesawat dan bom yang dijatuhkan, aku mendongak dan melihat burung besi itu bersimaharaja di atas sana dan menjatuhkan bom ke arah kerumunan di bawah.
“Pulanglah,” lirih Harfan untuk yang terakhir kali sebelum tanganya terjatuh dan terkulai. Aku mengepalkan tangan dan meraih musser di sisi Harfan, kutembakkan ke burung besi di atas sana hingga pelurunya habis. Burung besi itu meliuk-liuk dan tak lama kemudian sayapnya terbakar. Sempat kulihat beberapa orang terjun dari sana sebelum benar-benar jatuh dan menciptakan ledakan yang sangat kuat. Aku berlari ke Batang Agam dan tanpa pikir panjang menceburkan diri.
Roda bendi terjatuh ke dalam lubang dan mengangetkanku, Datuk yang duduk di sampingku masih merenung, sedangkan kusir bendi yang bernama Durah itu diam sambil sesekali melecut kudanya.
Tepat di tikungan tiga menjelang masuk ke Sungai Pua, selusin tentara berdiri di sana merintang jalan. Mereka menghentikan kuda dan mengacungkan senjata. Kulihat mereka menatapku dengan tajam, apalagi ke senjataku yang tersampir di pinggang.
“Kamu gerombolan?” teriak salah seorang tentara itu menghardikku. “Turun kamu!”
Aku mengikuti mau mereka. Kutinggalkan Datuk seorang diri dan dengan cepat tentara itu melucuti senjataku.
“Jalan,” katanya lagi pada kusir bendi. “Orang ini gerombolan, dia akan kami bawa.”
Datuk hendak protes. Tangannya menggenggam tangkai karih. Aku buru-buru mengangkat tangan. “Tak apa, Datuk, makamnya di Kamang, Datuk pasti tahu daerah itu.” Lalu aku berbalik dan dibawa tentara itu naik ke auto dan memborgol tanganku.
Kelebat bayangan saat-saat terakhir bersama Harfan berkeliaran di pelupuk mataku, seiring dengan deru auto yang kembali ke arah Padang Panjang. Entah ke mana mereka hendak membawaku, tapi yang pasti, wasiat sahabatku telah sampai. Boleh jadi tentara ini juga akan menghukum matiku. Dunia benar-benar tak beradab.
“Pulanglah, Bujang.” Kalimat Harfan makin bergema di telingaku.
Biodata Penulis
Hasbunallah Haris, biasa dipanggil Haris. Domisili di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Lahir tanggal 29 Maret 2001, sekarang sedang menempuh pendidikan di UIN Imam Bonjol Padang jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Telah menerbitkan Novel berjudul Secangkir Kopi Panas. Dapat dihubungi pad no telpon 0822-8385-5009 atau di Facebook: Hasbunallah Haris, Instagram : @hasbunallah_haris dan di surel : hasbunallah.haris14@gmail.com.
Kisah Sejarah Tanpa Latar Sejarah
Oleh: Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Anggota Dewan Penasihat Pengurus FLP Sumatera Barat dan
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta.)
Muhammad Wahyu Widodo dan Sri Wahyuningtyas dalam tulisan mereka berjudul “Kandungan Nilai Historis dalam Novel Glonggong Karya Junaedi Setiyono: Kajian Sosiologi Sastra” yang dimuat dalam Jurnal CARAKA, Volume 3, Nomor 2, Edisi Juni 2017 menyebutkan bahwa nilai historis merupakan nilai kesejarahan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat secara utuh. Sejarah adalah produk dari masyarakat dan kebudayaan pada masa lampau.
Lebih jauh Widodo dan Wahyuningtyas (2017) menyampaikan bahwa nilai-nilai historis bersifat memberikan pelajaran bagi para pembaca tentang peristiwa pada masa-masa tertentu yang telah terjadi agar dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan masa kini dan pada masa yang akan datang. Dengan memuat nilai historis, maka dapat mengajarkan penikmat karya sastra dalam memahami nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah dari sisi kesejarahan untuk menjalani kehidupan sosial bermasyarakat.
Sudah banyak penulis atau sastrawan menuliskan peristiwa sejarah dalam karya sastra baik dalam bentuk cerpen, novel, atau puisi. Sebutlah beberapa penulis terkenal seperti Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, AA. Navis dan sederet nama lain, menjadikan peristiwa sejarah sebagai bagian dari proses penceritaan dalam karya mereka.
Cerpen “Pulanglah, Bujang” karya Hasbunallah Haris yang ditayangkan dalam rubrik Kreatika minggu ini bercerita tentang seorang tokoh utama “Aku” yang menceritakan perjuangannya pada masa-masa “bergolak” di Sumatera Barat. Ia adalah salah seorang pengikut Kolonel Ahmad Husein yang sama-sama berjuang di hutan-hutan Bukit Barisan melawan tentara pusat.
Pada sebuah pertempuran, dia dan sahabat masa kecilnya, Harfan, terperangkap di daerah Batang Agam. Sayangnya, Harfan teman seperjuangannya itu meninggal dalam konfrontasi itu setelah peluru pasukan tentara pusat menembus dadanya. Sementara itu, tokoh “Aku” dalam cerita itu nyaris tertembak, tapi Harfan menyuruhnya melompat ke Batang Agam. Dengan setengah mati tokoh utama cerpen itu akhirnya bisa selamat setelah diselamatkan penduduk.
Kemudian tokoh utama “Aku” itu pergi ke Batipuh, kampung halamannya dan juga kampung halaman Harfan. Niatnya menyampaikan pesan kepada Ayah Harfan, Datuak Parmato Sati bahwa Harfan berwasiat jika nanti ia meninggal, ia meminta Ayahnya membawakan keris pemberian ibunya dan mendoakannya. Tokoh “Aku” dalam cerita itu berhasil menyampaikan wasiat sahabatnya itu, tapi dia gagal mengantarkan Datuk Parmato Sati ke Kamang karena terlebih dahulu di cegat tentara pusat di jalan menuju Bukittinggi dari Batipuh, Padang Panjang.
Cerpen “Pulanglah, Bujang” karya Hasbunallah Haris ini merupakan kisah sejarah tentang pergolakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Satu-satunya penanda bahwa cerpen ini tentang sejarah PRRI adalah narasi penulis yang menyebutkan nama Kolonel Ahmad Husein pimpinan PRRI pada tahun 1958.
“Aku hendak menjawab ‘iya’ namun mulutku tergantung begitu saja, kuutarakan bahwa tak akan ada yang berani menyakiti orang Minang selama dia berpihak kepada Kolonel Ahmad Husain di masa sekarang.” (Haris, 2021).
Selain nama Kolonel Ahmad Husein, pembaca tidak menemukan tanda-tanda bahwa cerita ini dengan latar belakang kejadian sejarah pada tahun 1958 di Sumatera Barat. Menyebutkan alat transportasi bendi dari Batipuh ke Kamang, Kabupaten Agam tidak menjelaskan bahwa ini adalah peristiwa sejarah.
Kegagalan pertama penulis dalam menulis cerita sejarah menurut saya adalah ketika gagal membawa pembacanya pada latar peristiwa sejarah yang diceritakan. Dalam cerpen ini terlihat peristiwa sejarah sekadar tempelan, padahal cerita ini berpotensi menjadi lebih menarik jika mampu membawa pembaca pada peristiwa PRRI 1958 itu.
Saya membayangkan cerita ini akan semakin menarik jika penulis berhasil mendeskripsikan bagaimana Batipuh pada masa 1958 itu. Ketakutan-ketakutan rakyat karena serangan tentara pusat atau bagaimana pengkhianat-pengkhianat yang melabeli rumah “orang dalam” pengikut Ahmad Husein dengan cat berwarna merah. Dengan tanda yang sudah dibubuhkan itu, tentara pusat dengan gampang mencari orang-orang yang terlibat. Selain itu tentu banyak peristiwa yang bisa menunjukkan kejadian sejarah pada masa 1958 ini, kuncinya adalah sejauh mana penulis melakukan riset untuk karyanya ini.
Kegagalan kedua menurut saya yang tahu persis di mana daerah Kamang, Kabupaten Agam dan daerah Batipuh, Tanah Datar itu adalah sebagai pembaca saya tidak bisa membayangkan berapa lama perjalanan dengan bendi dari Batipuh ke Kamang pada masa 1958 – 1959. Pada masa tersebut tentu saja jalan masih tidak sebaik saat ini. Saat ini pun, pembaca yang tahu persis bagaimana jalan di Batipuh menuju Bukittinggi, tentu akan bertanya-tanya betapa susahnya perjuangan kuda menarik bendi saat itu, melalui jalan mendaki dan menurun, apalagi harus ke Kamang yang letaknya lebih kurang 10 Kilometer dari pusat kota Bukittinggi.
Sebenarnya penulis sudah berusaha untuk meyakinkan pembaca bahwa peristiwa sejarah saat itu memang hanya memiliki alat transportasi berupa bendi dan sejenisnya, tapi biasanya untuk perjalanan jauh dan jalan yang mendaki dan menurun itu. Seharusnya penulis mendeskripsikan bagaimana susahnya perjalanan naik bendi waktu itu. Sebagai gambaran, dari Kamang ke Bukittinggi saja, menurut cerita-cerita orang tua, jarang digunakan transportasi bendi, kebanyak alat transportasi dari Kamang ke Bukitting pada zaman bergolak itu adalah pedati.
Kesalahan lain adalah ketika tokoh “Aku” akan melewati Bukittinggi menuju Kamang. Ia masih membawa senjata, padahal seharusnya dia tahu persis bahwa setelah penyerangan tentara pusat pada “orang-orang dalam” semua dirazia. Orang-orang yang dicurigai pasti akan ditangkap. Sementara itu, tokoh “Aku” dengan santainya membawa senjata menuju pusat Kota Bukittinggi yang sedang “panas”. Apa yang dilakukan tokoh “Aku” tersebut tentu tidak mencerminkan bahwa dia sedang dicari-cari oleh tentara pusat. Setidaknya tokoh “Aku” bisa menyamarkan identitasnya sebagai pengikut Kolonel Ahmad Husein dengan tidak membawa senjata dan berpura-pura menjadi rakyat biasa saja.
Terlepas dari cacat logika dan kegagalan mendeskripsikan latar sejarah dalam cerita Hasbunallah Haris tersebut, hal yang tak kalah penting adalah memberikan apresiasi kepada penulis yang sudah berusaha mengangkat peristiwa sejarah dalam cerpennya. Tidak banyak anak muda yang mau bersusah payah melakukan riset sejarah untuk membuat karya fiksi. Hal paling gampang untuk menulis karya fiksi tentu menuliskan hal-hal terdekat dalam dunia mereka, seperti tema-tema cinta picisan ala anak muda.
Hasbunallah Haris memilih tema yang jarang digarap oleh anak-anak muda dalam cerpennya. Hal ini perlu diapresiasi karena pada dasarnya cerita pendek pada khususnya atau karya fiksi pada umumnya bisa dijadikan media untuk mewariskan nilai-nilai dan juga untuk mengingatkan peristiwa masa lalu yang menjadi hal penting bagi bangsa ini. Upaya menghadirkan sepotong kisah sejarah dalam cerpen juga merupakan upaya untuk menghadirkan sesuatu yang berbeda dari kebanyakan. Apa yang dilakukan penulis adalah menentang arus utama dan sesuatu yang berat untuk dilakukan tentunya. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post