Beberapa tahun belakangan ini, penggunaan huruf K sebagai pengganti nominal ribu semakin sering terlihat di dalam kehidupan sehari-hari. Contoh penggunaan huruf K ini adalah 2K untuk menyatakan 2.000 dan 15K untuk menyatakan 15.000. Penulisan ini bisa kita temui di berbagai kafe, restoran, atau tempat-tempat yang menampilkan daftar harga termasuk salon, fasilitas umum, dan sebagainya. Penulisan K ini juga hadir di berbagai media sosial, terutama Instagram yang semakin banyak digunakan oleh masyarakat.
Huruf K dalam laman instagram muncul untuk memperlihatkan jumlah orang-orang yang mengikuti pemilik akun tersebut (pengikut/followers) dan jumlah akun lain yang diikuti oleh pemilik akun Instagram tersebut (mengikuti/following), seperti 235K yang artinya adalah 235.000. Oleh sebab itu, penggunaan huruf K ini cenderung diikuti oleh pengguna media sosial yang kemudian menyebar ke kafe-kafe, sebagai tempat tongkrongan modern. Akan tetapi, penggunaan huruf K ini nyatanya tidak semuanya sampai ke berbagai rumah makan dan toko-toko lain, terutama yang tidak mengikuti perkembangan gaya hidup modern.
Fenomena penggunaan huruf K ini telah banyak diulas di berbagai artikel. Huruf K merupakan singkatan dari kilo sebagai satuan ukuran ribu, yaitu 1 km yang artinnya 1.000 cm atau 1 kg yang artinya 1.000 gram. Sesungguhnya, huruf K sebagai singkatan ribu ini telah digunakan sejak lama dalam bidang teknologi dan mesin, tetapi fenomenanya di tengah masyarakat Indonesia baru begitu terasa sekitar 10 tahun terakhir. Huruf K ini juga semakin eksis dengan adanya transaksi berbelanja secara online, baik dari toko online maupun unggahan bisnis yang dikelola secara pribadi dengan cara mempromosikannya di media sosial. Pembicaraan mengenai harga dalam transaksi tersebut, baik yang sudah dicantumkan oleh si penjual pada unggahannya, maupun tulisan-tulisan yang ada di dalam komentar, tidak jarang menggunakan huruf K ini sebagai pengganti nominal ribu.
Fenomena ini memang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan masyarakat sebab jangkauan internet juga semakin luas. Sayangnya, penggunaan huruf K ini belum bisa dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia, terutama orang tua yang tidak terlalu mengikuti perkembangan teknologi dan gaya hidup. Oleh sebab itu, ketika berbagai restoran, kafe, dan tempat lainnya yang dibuka untuk umum menggunakan huruf K pada daftar harganya, masih ada orang yang belum bisa mengerti tentang singkatan tersebut.
Huruf K merupakan salah satu dari banyaknya singkatan yang bermunculan di tengah kehidupan masyarakat beberapa tahun belakangan ini. Kemunculan singkatan atau akronim yang semakin banyak ini dipicu oleh beberapa faktor, salah satunya semakin banyaknya fasilitas obrolan dalam bentuk pesan dari berbagai aplikasi atau fitur yang terdapat di dalam media internet. Media obrolan dalam bentuk tulisan ini membuat kebutuhan komunikasi masyarakat menjadi lebih luas.
Pada awalnya, pesan singkat dalam layanan SMS (Short Message Service) hanya dipergunakan untuk komunikasi penting karena terdapat keterbatasan jumlah huruf untuk mengirim satu pesan. Setiap pengiriman pesan juga akan dikenakan biaya. Oleh sebab itu, masyarakat lebih memilih menggunakannya dalam kebutuhan yang penting atau mendesak. Akan tetapi, dengan adanya kemudahan layanan internet dan berbagai fasilitas obrolan yang tidak memiliki batas kata serta tidak dibebankan pada biaya tertentu, membuat kebutuhan obrolan manusia menjadi lebih luas. Saat ini, tidak sedikit masyarakat pengguna smartphone berkomunikasi hanya untuk kebutuhan mendesak, tetapi juga untuk sekadar mengobrol, basa-basi, hingga mengirim tulisan-tulisan yang kreatif. Oleh sebab itu, hal ini juga membuat perubahan pola komunikasi dan interaksi di tengah masyarakat.
Obrolan yang semakin terbuka membuat topik pembicaraan dan penggunaan bahasa juga semakin bervariasi sebab berbagai akses komunikasi dan informasi pun terbuka lebar. Masyarakat sudah banyak melakukan komunikasi dalam dwibahasa, menggunakan istilah-istilah kekinian, termasuk singkatan dan akronim. Singkatan dan akronim bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Sejak lama, masyarakat Indonesia telah menggunakannya terutama untuk singkatan atau akronim yang resmi. Singkatan merupakan kependekan dari kata atau gabungan kata yang diambil dari huruf pertama. Singkatan ini tidak bisa dibaca layaknya sebuah kata sebab bentuknya yang terdiri atas beberapa huruf sehingga kita harus mengeja huruf-huruf tersebut untuk membacanya. Berikut ini adalah berbagai contoh singkatan: NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), SD (Sekolah Dasar), UUD (Undang-Undang Dasar), dan DKI (Daerah Khusus Ibukota). Tidak jauh berbeda dari singkatan, akronim juga merupakan kependekan dari kata atau beberapa kata. Akan tetapi, kependekan dari kata atau gabungan kata tersebut masih bisa dibaca layaknya sebuah kata, tidak perlu dieja seperti singkatan. Berikut ini adalah berbagai contoh dari akronim: ABRI (Angakatan Bersenjata Republik Indonesia), pemilu (pemilihan umum), dan Sumbar (Sumatra Barat).
Singkatan dan akronim ini ada yang bersifat resmi dan ada juga yang tidak resmi. Kembali kepada persoalan komunikasi dalam bentuk layanan pesan (tulisan), singkatan dan akronim juga mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai singkatan dan akronim tersebut ada yang digunakan temporal sebab tidak bertahan lama namun ada juga yang bertahan lama sejak kemunculannya tetap selalu digunakan hingga saat ini. Singkatan dan akronim ini merupakan variasi dan berbagai model komunikasi dalam media internet terutama di kalangan remaja yang selalu kreatif untuk menciptakan hal tersebut.
Beberapa singkatan atau akronim yang umumnya banyak ditemui adalah baper (bawa perasaan), FYI (For Your Information), PHP (Pemberi Harapan Palsu), bucin (budak cinta), gabut (yang awalnya adalah singkatan gaji buta kemudian saat ini memiliki makna “tidak tahu apa yang akan dilakukan” atau “tidak ada kegiatan” atau “sedang bermalas-malasan), pansos (panjat sosial), OOTD (Outfit of the Day), OTW (on the way), gaje (enggak jelas/ nggak jelas/ gak jelas), gercep (gerakan cepat), mager (malas gerak), japri (jalur pribadi), SBB (sorry baru baca), COD (Cash on Delivery), dan sebagainya. Singkatan dan akronim tersebut tidak hanya digunakan sebagai penyingkat kata atau gabungan kata, tetapi juga digunakan sebagai trend dalam gaya berkomunikasi saat ini. Beberapa singkatan dan akronim tersebut ada yang murni bahasa Indonesia, murni bahasa Inggris, dan ada juga yang menggunakan dua bahasa seperti SBB (sorry baru baca) untuk menyatakan bahwa Anda terlambat merespon pesan yang dikirim oleh orang lain.
Tingginya frekuensi penggunaan singkatan atau akronim tersebut dalam berkomunikasi atau mengunggah sesuatu di akun media sosial pribadi, membuat singkatan atau akronim itu menjadi akrab di telinga masyarakat Indonesia. Namun demikian, muncul persoalan baru ketika singkatan atau akronim tersebut diperlakukan menjadi kata baru sehingga kepanjangannya mulai diabaikan.
Ketika dipergunakan sebagai kata baru, makna dari singkatan dan akronim tersebut sedikit bergeser dari makna awalnya. Kita bisa mengambil salah satu contoh adalah singkatan PHP yang memiliki kepanjangan Pemberi Harapan Palsu. Pada singkatan tersebut, ada kata “pemberi” yang terdiri dari awalan pe- dan “beri”. Awalan pe- yang dilekatkan pada kata “beri” memiliki makna seseorang yang melakukan kegiatan beri. Oleh sebab itu, istilah Pemberi Harapan Palsu memiliki makna sebagai identitas untuk seseorang yang sedang memberikan harapan palsu kepada orang lain. Singkatan PHP ditujukan kepada si pelaku, bukan kegiatannya. Akan tetapi, ketika kata PHP sudah diperlakukan sebagai kata baru, penggunaannya pun menjadi tidak beraturan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai tuturan di media sosial seperti “Aku nggak mau di-PHP-in lagi”.
Singkatan PHP pada kalimat tersebut seolah satu kata tersendiri yang berfungsi sebagai kata kerja atau petunjuk kegiatan. Ketika tuturan itu dipanjangkan, akan menjadi “Aku nggak mau dipemberi harapan palsuin lagi”. Kata PHP yang merupakan singkatan sudah dianggap sebagai bentuk verba untuk mewakili makna “ditipu” yang secara otomatis menghilangkan makna identitas “pemberi”. Hal serupa juga terjadi pada akronim “bucin” yang kepanjangannya adalah budak cinta. Budak cinta yang dimaksud dalam istilah ini adalah seseorang yang sedang tergila-gila atau sangat mencintai orang lain. Contoh kalimatnya adalah “Dia sekarang menjadi bucin”. Makna kalimat tersebut adalah seseorang yang sedang menjadi budak cinta karena tergila-gila terhadap seseorang. Akan tetapi, kata bucin juga sering ditemui dalam tuturan “Dia sedang bucin-bucinnya”. Jika ini dipanjangkan, kalimat tersebut akan menjadi “Dia sedang budak cinta-budak cintanya.”, tetapi makna dalam tuturan tidak demikian. Hal ini terjadi karena kata bucin tidak dianggap lagi sebagai akronim, tetapi sudah seperti kata baru yang mewakili makna tertentu.
Sesungguhnya, persoalan singkatan dan akronim ini juga sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari ketika kita sering mendengar kalimat “Saya ambil ATM dulu”, yang seharusnya adalah “Saya ambil uang di ATM dulu”. Semakin banyaknya singkatan dan akronim yang ada di tengah masyarakat, membuat sebagaian orang terkadang tidak tahu kepanjangan sehingga singkatan atau akronim itu dipergunakan secara sesuka hati.
Discussion about this post