Oleh : Musfi Yendra
(Dosen Fisipol Universitas Ekasakti Padang)
Tidak ada yang salah jika pejabat sekelas gubernur atau wakil gubernur membeli mobil dinas baru, bahkan berapa pun harganya. Jika sudah melalui tahapan anggaran, diusulkan ke legislatif, kemudian disetujui untuk ditenderkan, sudah sah mobil itu diadakan.
Sebagai pejabat tertinggi di sebuah provinsi, gubernur dan wakil gubernur punya hak untuk itu, apalagi jika benar mobil dinas lama sudah tidak layak. Itu dapat membahayakan keselamatan dirinya. Harganya pun masih di bawah 1 miliar rupiah. Sangat wajar. Rakyat biasa saja juga bisa membelinya. Mobilitas gubernur dan wakil gubernur itu sangat tinggi. Wilayah teritorial kekuasaannya berbagai kabupaten/kota. Medan masing-masing daerah juga berbeda. Ada jalan yang mulus dan ada yang harus mendatangi rakyat ke daerah terpencil dengan jalan tanah, bahkan mobil melewati sungai.
Kadang, dalam bertugas sebagai kepala daerah disambilkan pula menjalankan tugas sebagai pimpinan partai menemui kadernya, tidak ada juga yang salah jika pimpinan legislatif (DPRD) menganggarkan rehab rumah dinas. Mau dibangun kembali semegah istana, bangunlah. Mau memperbesar rumah dinas itu sehingga mampu menampung ribuan kader partai berkumpul, buatlah. Jika memang anggarannya memadai, diusulkan-disetujui-ditenderkan, dan sesuai prosedur, hal itu sah-sah saja.
Juga tidak ada yang salah jika ada pejabat yang sering makan enak di rumah makan atau restoran, kemudian hobi memposting di sosial media. Toh, bisa jadi dia makan dengan uangnya sendiri. Bahkan, kalau pun makan dengan uang negara, itu hak dan fasilitas yang melekat padanya sebagai pejabat. Makanlah sepuas-puasnya.
Yang kurang bagi sebagian pejabat kita adalah rasa atau akal sehat. Rakyat berada di kondisi sulit. Wabah pandemi ini berdampak luar biasa. Dampak ekonomi paling utama. Banyak rakyat kehilangan pendapatan karena diberhentikan dari pekerjaan. Mereka dibatasi beraktivitas, sementara mereka harus berjualan sekedar mencari makan.
Banyak yang terpapar Covid-19 dan butuh penanganan serius. Jika terlambat ditangani atau fasilitasnya tak memadai, resiko terburuknya adalah nyawa melayang. Pahlawan kesehatan atau nakes yang sudah berjuang sehabis tenaga, insentifnya pun terlambat dibayarkan.
Jika membeli mobil dinas baru, merehab rumah dinas yang masih sangat layak, atau hobi memperlihatkan makan enak ke publik dengan kondisi seperti ini, tanda malu benar-benar telah hilang dari pejabat kita. Sense of crisis-nya minus. Jika tetap membeli mobil dinas baru, merehab rumah dinas atau makan enak pejabat dengan uang negara bisa dipertanggungjawabkan anggarannya, tanpa ada temuan atau kerugian negara sekali pun.
Tapi yang harus diingat adalah pertanggungjawaban (akuntabilitas) moral dan etika di hadapan publik dan Allah Yang Maha Melihat. Etika tidak lagi menjadi code of conduct bagi pejabat negeri ini! (*)
Discussion about this post