Yudhistira Ardi Poetra
(Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
Selama masa pandemi Covid-19 melanda Indonesia yang sudah berlangsung lebih satu tahun, kegiatan masyarakat sudah tidak bisa lagi sama dengan masa-masa sebelum pandemi. Aktivitas masyarakat, seperti bersekolah, belajar, bekerja, bermain, hingga bersilaturahmi bersama keluarga pun sebisa mungkin hanya dilakukan dari rumah. Untuk keluar rumah pun, masyarakat harus menambah asesoris pada tubuhnya berupa masker. Sebuah kondisi yang pernah disebut dengan istilah new normal walaupun sesungguhnya itu bukanlah hal normal yang diharapkan oleh banyak orang.
Mobilitas masyarakat dalam menjalani hari-hari mereka di masa-masa mengharukan ini sangatlah terbatas. Karena sulitnya meredam virus yang bisa menular hanya dengan satu sentuhan atau satu helaan napas ini, pemerintah selalu mencari solusi agar pandemi ini segera berakhir. Namun sayangnya, terkadang solusi yang ditawarkan oleh pemerintah melalui sebuah peraturan atau kebijakan, membuat sebagian masyarakat merasa dirugikan. Masyarakat tertekan bukan lagi karena masalah kesehatan, namun masalah finansial. Padahal, masalah finansial yang dialami oleh seseorang dapat menyebabkan masalah yang tak kalah mengerikannya dibandingkan masalah kesehatan yang menjadi concern pemerintah.
Pada tanggal 3 Juli 2021, virus corona memiliki varian baru bernama delta. Virus ini diyakini jauh lebih mudah menular. Virus ini mampir ke Indonesia membuat lonjakan baru dalam kasus Covid-19. Pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat secara Darurat (PPKM Darurat). PPKM Darurat ini diberlakukan oleh pemerintah hingga tanggal 20 Juli 2021, yang sekaligus bertepatan dengan perayaan besar umat Islam, yakni Hari Raya Idul Adha 1442 Hijriah. Masyarakat menganggap peraturan ini dibuat mirip dengan saat pelarangan mudik saat Hari Raya Idul Fitri sehingga masyarakat yang mau mudik pada Iduladha terpaksa mengurungkan niat mereka.
Banyak peraturan-peraturan baru yang harus dipatuhi masyarakat selama penerapan PPKM Darurat, beberapa di antaranya adalah pelaksanaan kegiatan pada sektor nonesensial diberlakukan Work from Home (bekerja dari rumah), kegiatan belajar mengajar 100% dilakukan secara daring, penutupan mall, pusat perbelanjaan, tempat ibadah, dan fasilitas umum lainnya, tidak boleh makan di restoran, dan juga beberapa peraturan lainnya. Selain itu, pada masa ini perjalanan ke luar daerah dibuat sangat merepotkan dan memang hanya diperbolehkan bagi yang memiliki surat dinas. Pemerintah berharap dengan semakin diperketatnya pergerakan masyarakat untuk melakukan kegiatan di luar rumah, angka kasus Covid-19 bisa ditekan seminimal mungkin.
Penerapan PPKM Darurat yang berlangsung selama lebih dua minggu ternyata tidak mendapatkan hasil yang diinginkan. Hingga tanggal 20 Juli 2021, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus Covid-19 bertambah sebanyak 38.325 kasus. Total sampai saat itu secara keseluruhan kasus Covid-19 sudah sampai di angka 2,95 juta. Oleh sebab itu, setelah tanggal 20 Juli, pemerintah masih tetap menerapkan PPKM dengan tingkatan level yang dianggap masih aman, yaitu level 1 hingga level 4 untuk daerah-daerah yang masih sangat tinggi kasus Covid-19.
Kehidupan selama masa-masa PPKM sepertinya terasa sangat menyedihkan bagi orang-orang yang mencari nafkah di sektor-sektor yang terdampak karena pembatasan mobilitas masyarakat. Bidang pariwisata merupakan sektor yang terdampak sangat besar pada masa pandemi. Mereka yang bekerja sebagai tour guide, agent travel, penginapan, restoran, atau transportasi pariwisata sangat sulit sekali untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah. Dengan ditutupnya tempat-tempat wisata dan pelarangan masyarakat ke luar daerah selain kepentingan bekerja, sangat minim celah bagi pekerja bidang pariwisata untuk meraup rezeki. Contohnya di Bali, wilayah di Indonesia yang masyarakatnya sangat menggantungkan hidup mereka di sektor pariwisata. Toko-toko suvenir dan oleh-oleh yang berada di sepanjang jalan Kartika Plaza Kuta Bali terlihat menutup gerai-gerai mereka. Hampir mayoritas masyarakat di sana bertahan hidup dengan tabungan yang mereka miliki.
Koordinasi antara peraturan yang dibuat pemerintah untuk mengatasi lonjakan kasus Covid-19 tidak berbanding lurus dengan situasi ekonomi masyarakat yang terkena dampak pandemi ini. Memang kalau dilihat dari segi kesehatan, setelah tanggal 20 Juli 2021, angka kasus Covid-19 di Indonesia mulai menuju fase turun. Di Jakarta, jika di masa PPKM Darurat terjadi lonjakan hingga 14 ribu kasus per hari, angka itu saat ini mengalami penurunan hingga 1.600-an kasus per hari. Namun, dilema masih sangat dirasakan jika melihat dampak ekonomi yang dialami banyak masyarakat Indonesia selama PPKM ini.
Pandemi Covid-19 yang melanda negeri ini ikut menyerang psikologi masyarakat di masa PPKM. Keinginan besar masyarakat akan kembalinya dunia ke masa-masa sebelum pandemi membuat muculnya gangguan psikologis oleh masyarakat, misalnya pelajar dan mahasiswa hingga saat ini masih diminta untuk belajar secara daring, padahal keinginan mereka untuk belajar di sekolah atau kampus sangat tinggi. Metode belajar secara daring sudah tidak lagi membuat nyaman dalam belajar. Pelajar dan mahasiswa cenderung stres karena minimnya melihat dunia luar. Komunikasi yang berlangsung secara virtual dalam proses belajar tidak bisa mengobati perasaan mereka untuk ke luar rumah. Hal yang serupa pula dialami oleh orang tua para pelajar, terkhusus yang memiliki anak usia Sekolah Dasar. Orang tua juga menginginkan agar anak mereka belajar di sekolah.
Ada beberapa kejadian viral yang bisa menjadi gambaran bahwa selama PPKM berlangsung, angka kasus Covid-19 mungkin sedang trend baik karena terus menurun, namun psikologi masyarakat dengan komunikasi yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah di lapangan bisa dibilang dalam trend memilukan. Keberadaan media yang saat ini menjadi kebutuhan primer bagi segelintir orang membuat masyarakat bisa melihat dan memantau bagaimana kondisi yang terjadi selama PPKM. Sungguh disayangkan, masih ada hal-hal menyedihkan dan menimpa sebagian masyarakat yang terdampak peraturan PPKM. Sebuah ironi kala kesehatan fisik dapat perhatian dan pengendalian yang luar biasa oleh pemerintah, namun pemerintah malah mengabaikan kesehatan jiwa dan batin masyarakat.
Kejadian-kejadian viral di media yang bertemakan masyarakat di masa PPKM mengundang rasa simpati yang tinggi dari netizen. Salah satu contoh yang sempat lama menjadi bahan diskusi di tengah masyarakat adalah seperti yang terjadi di Sulawesi. Kisah antara oknum Satpol PP yang menampar perempuan pemilik cafe. Kasus yang penuh drama dan belum selesai hingga sekarang membuat netizen Indonesia mulai nyinyir di media-media sosial seperti instagram, youtube, dan tiktok, bahkan ada beberapa yang malah membuat video guyonan tentang kasus tersebut.
Beberapa sektor dikorbankan dalam penanganan kasus Covid-19. Hal ini menandakan bahwa pemerintah sudah bersedia mengorbankan beberapa masyarakat yang berada di sektor tersebut untuk bisa bertahan hidup. Meskipun pemerintah selalu berjanji akan memberikan bantuan sosial bagi warganya yang terdampak besar karena pandemi, namun itu ibarat lagu lama. Masyarakat sudah memahami kenyataannya bahwa banyak di antara mereka yang belum tentu akan mendapatkan bantuan.
Faktanya, tersendatnya perekonomian membuat kesehatan jiwa seseorang akan semakin tergoncang. Masyarakat mulai cemas dan dilanda ketakutan untuk menghadapi hari esok, apakah mereka masih bisa makan atau tidak?
Discussion about this post