Elly Delfia
(Dosen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Buku Dari Medan ke Jerman merupakan sebuah buku yang ditulis oleh Dusky Harun dan Gusdi Sastra yang terbit pada April 2021. Buku yang diterbitkan oleh penerbit Murai Kencana ini terdiri atas 25 bab dan berkisah tentang perjuangan hidup seorang Dusky Harun sejak dari kecil hingga hari tuanya. Banyak pembelajaran hidup yang dapat dipetik dari kisah dalam buku ini. Salah satunya adalah kegigihannya dalam berjuang menghadapi hidup, seperti kutipan berikut.
“Semangat juangku yang begitu keras membuatku tak pernah lelah menghadapi perjalanan hidup. Aku tak pernah berputus asa dengan keadaan yang aku rasakan sebab manusia hanya bisa berencana dan Yang Maha Kuasa menentukan.” (Harun dan Sastra, 2021:35)
Kisah perjuangan hidup di perantauan yang keras dialami Dusky Harun seperti yang terdapat dalam kutipan di atas. Ia lahir dari seorang ibu tangguh bernama Mardiah Binti Musa berdarah Batak dan bermarga Panjaitan. Ibunya berasal dari Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara. Ayahnya berdarah Minangkabau dan berasal dari Kaputen Agam, Sumatera Barat. Ayahnya juga seorang veteran pejuang berpangkat Letnan Muda yang turut berjuang pada masa penjajahan Belanda. Setelah kemerdekaan, sang ayah beralih profesi menjadi penjual daging sapi di Kota Medan. Ia mengalami kehidupan masa kecil yang sulit saat ayahnya ditangkap dan dituduh PKI. Setelah itu, ia, ibu, dan adik-adiknya hidup dengan mengalami lebih banyak kesulitan. Ia tidak tahu tuduhan apa yang dialamatkan kepada ayahnya, apakah sebagai pemberontak, Gestapu atau PKI?
“Hal yang masih kuingat sekarang hanyalah kekuatan strategi Presiden RI zaman Suharto dengan menahan para pemberani atau pemberontak. Hal tersebut lebih populer dengan gestapu, PKI, atau Supersib? Apakah Bapakku dianggap sebagai pemberontak? Gestapu? PKI? Sesuatu yang aku tahu adalah bapakku seorang pemberani lalu dan yang tidak senang padanya mencap bapak dan melaporkan bapak pada gorila-gorila yang berpihak pada pemerintahan Soeharto waktu itu. Fitnah telah menyebabkan para pemberani terkurung di penjara dan disiksa tanpa alasan yang jelas. …Aku hanya mengingat masa itu adalah masa yang amat sulit untuk menegakkan yang benar, tuduhan dan fitnah yang dilakukan telah menghancurkan orang-orang yang tidak bersalah, akibatnya keluarga kami juga turut menanggung segala anggapan sebagai anak keturunan PKI”(Harun dan Sastra, 2021:6).
Sejak itu, ibunya berjuang sendiri menghidupi ia dan adik-adiknya. Melihat ketimpangan sosial yang dialami keluarganya karena diskriminasi, Dusky berpikir hidup tidak menawarkan kemudahan di tanah kelahiran. Ia berencana untuk pergi merantau agar bisa membantu ibunya dan mengubah hidup menjadi lebih baik. Awalnya, ia menjadi pekerja di kapal asing namun bekerja di kapal asing tidak mudah. Banyak tantangan dan kesulitan yang dialami Dusky, seperti uangnya dicuri, paspornya diambil, hingga ditangkap polisi, bahkan ia sampai menjadi pekerja ilegal di kapal-kapal asing. Akhirnya, ia memutuskan untuk menetap di Jerman dengan menikahi perempuan Jerman agar mendapatkan status kewarganeraan. Dalam pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan perempuan Jerman, Dusky dikarunia dua orang anak lelaki. Setelah itu, mereka bercerai. Beberapa tahun kemudian, Dusky menikahi perempuan Indonesia dan mereka dikarunia seorang anak perempuan. Akhir cerita, ia kembali ke Jerman dan hidup bahagia bersama istri dan anak-anaknya. Ketimpangan-ketimpangan sosial yang dialami Dusky semasa kecil menjadi faktor pemicu utama ia pergi merantau dari Medan ke Jerman.
Buku ini diulas dengan pendekatan analisis wacana kritis (AWK) atau Critical Discourse Analysis (CDA) yang melihat teks bukan hanya sebagai bentuk perwujudan bahasa semata namun melihat teks yang terikat dengan konteks sosial. Fairclough dan Wodak menyebut analisis wacana kritis dengan melihat wacana — pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan–sebagai bentuk dari praktik sosial (Eriyanto, 2011:7). Praktik sosial dalam wacana bisa jadi menimbulkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara kelas sosial, seperti kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan wanita, antara kelompok mayoritas dan minoritas, antara orang kaya dan miskin, antara yang berpendidikan dan yang tidak, antara orang Eropa dan orang Asia, dan lainnya melalui mana perbedaaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Kekuasaan yang tidak seimbang dalam kehidupan sosial tersebut disebut dengan ketimpangan sosial.
Melalui wacana, ketimpangan sosial, seperti rasis, seksis (diskriminasi gender), dan penyimpangan ideologi serta kekuasaan dipandang sebagai suatu common sense atau suatu kewajaran/alamiah. Analisis wacana kritis justru melihatnya sebagai ketidakwajaran. Bahasa sebagai faktor penting yang dipakai untuk melihat ketimpangan sosial tersebut. Wodak dan Fairclough menyebut analisis wacana kritis melihat bahasa dari kelompok sosial tertentu saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. (Eriyanto, 2011:9)
Ketimpangan sosial sebagai buah dari praktik sosial yang menyimpang juga ditemukan dalam buku Dari Medan Ke Jerman. Ketimpangan sosial yang terjadi, di antaranya perbedaan kebudayaan, diskriminasi terhadap anak keturunan PKI, kemiskinan, perilaku seks menyimpang, dan lain-lain. Ketimpangan sosial tersebut dikisahkan sebagai penderitaan pahit yang dialami Dusky Harun sebagai penulis buku yang berkategori semioutobiografi ini. Ketimpangan sosial tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
1. Ketimpangan Sosial karena Perbenturan Kebudayaan
Ketimpangan sosial pertama muncul dari perbenturan kebudayaan Minangkabau dan Batak yang dialami penulis. Dusky mempertanyakan tanggung jawab ayahnya yang keturunan Minangkabau.
“Penghasilan bapak banyak dibagi kepada saudaranya, sedangkan penghidupan emak semakin susah sejak aku sering sakit-sakitan. Bahkan sekolah aku dan adik-adik pun tidak lancar karena penghasilan bapak sebagai tukang daging tidak diberikan kepada emak. Sejak itu, aku mulai tidak suka bapak apalagi keluarga bapak yang masih sering datang mendekat kepada bapak ketika kami membutuhkan uang. Suatu ketika, adikku yang nomor 4 sakit keras kemudian sampai meninggal. Keluarga bapak hanya seorang yang menjenguk. Entah kemana mereka yang selama ini mendekati bapak saat butuh uang. Berbeda dengan keluarga emak yang hampir semua yang berada di Kota Medan dan Asahan berdatangan ketika Sri Marhaini sakit keras dan sampai meninggal. ….
Sejak itu, aku dekat dengan keluarga emakku saja. Aku tidak tahu. Apakah karena Bapak berasal dari Minang sehingga keluarga mereka menanggap kami anak mereka. Apakah matrilineal, garis keturunan ibu itu berarti demikian?”(Harun dan Sastra, 2021:4).
Dalam pandangan Dusky, ayah ideal harus mengutamakan anak-anak dan keluarga sebelum sanak saudara. Namun faktanya, ayah Dusky tidak begitu. Sang ayah lebih mengutamakan sanak saudara daripada anak-anaknya. Dalam konsep budaya matrilineal, ayah Dusky sudah benar dan sudah menjalankan peran sebagai mamak yang membela atau memperjuangkan anak kemenakan di perantauan namun ia mengabaikan anak-anaknya sendiri. Menyaksikan itu, Dusky terjebak dalam kondisi yang anomie karena berasal dari keturunan campuran Minangkabau dan Batak. Emil Durkheim (1987) menyebut anomie sebagai kondisi padat moral karena pencampuran nilai-nilai dalam diri seseorang yang berasal dari akar tradisi dan nilai-nilai lain yang ia temukan dalam kehidupan masyarakat yang heterogen. Hidup di tengah keluarga campuran menyebabkan terjadinya perbenturan nilai-nilai dalam diri Dusky. Perbenturan tersebut memunculkan kekecewaan dan sikap menyalahkan adat, budaya, atau pihak lain.
Situasi anomie muncul karena Dusky tidak mendapatkan internalisasi nilai adat-istiadat Minangkabau yang lengkap. Sang ayah sepertinya lupa menyampaikan kepada Dusky bahwa sebagai seorang lelaki Minangkabau mempunyai dua tanggung jawab besar dalam hidup, yaitu tanggung jawab kepada keluarga dan tanggung jawab kepada anak kemenakan yang dalam adat Minangkabau. Kedua tanggung jawab ini termaktub dalam falsafah adat Minangkabau yang berbunyi “anak dipangku kamanakan dibimbiang, orang kampuang dipatenggangkan.” Lelaki Minangkabau tidak hanya bertanggung jawab terhadap anak, istri, dan kemenakan, tetapi juga orang kampungnya.
Ketimpangan sosial karena perbenturan kebudayaan juga terjadi saat Dusky menikahi perempuan Jerman. Orang Indonesia menikah dengan orang asing atau dari negara lain bukan hal baru. Pernikahan ini dikenal dengan kawin campur (mix married) atau pernikahan antara orang Indonesia dengan orang asing. Keputusan tersebut semakin mempertinggi tingkat anomie dalam diri Dusky, terutama karena perbedaan cara pandang tentang hubungan pernikahan dan suami-istri.
“Kejam memang. Aku tidak pernah mengira ia setega itu. Ketika diizinkan keluar rumah sakit, aku pulang ke rumah. Namun, setelah masuk ke rumah yang kutemui benar-benar tidak terduga. Seorang lelaki sedang berendam di kamar mandi. Sepertinya ia kekasih baru istriku. Lelaki itu terkejut dan ketakutan. Aku pun terkejut dan berusaha sekuat tenaga untuk menahan amarah. Aku benar-benar berusaha untuk sabar dan menahan emosiku agar tidak terjadi hal-hal tidak diinginkan. Tanpa komentar apa-apa, kuambil kunci BMW dan aku pergi dengan mobilku. Hatiku benar-benar berkecamuk. Pandanganku hampa. Kejam, benar-benar kejam. Hanya itu dalam pikiranku. Kalau aku mengambil contoh, bagi orang tua kami dahulu, berpisah itu hanya berpisah mati. Hanya mautlah satu-satunya alasan untuk berpisah.”(Harun dan Sastra, 2021:63-64).
Dusky memandang pernikahan hanya sekali seumur hidup dan hanya dengan satu pasangan seperti pernikahan kedua orang tuanya. Itu adalah internalisasi nilai-nilai yang dibawa dari akar tradisionalnya sebagai orang Indonesia dan anak keturunan Batak-Minangkabau. Sementara itu, istrinya orang Jerman berpikir jika sudah tidak cocok, berganti pasangan adalah hal yang wajar.
2. Ketimpangan Sosial dan Diskriminasi karena Tuduhan Keturunan PKI
Ketimpangan sosial karena tuduhan anak keturunan PKI juga dialami Dusky dan adik-adiknya. Mereka dijauhi dan dikucilkan sehingga mengalami berbagai kesulitan, teruatama kesulitan ekonomi. Hal itu pulalah yang menjadi sebab ia pergi merantau dan meninggalkan tanah kelahiran.
“Ketika umurku 16 Tahun, terjadilah musibah besar dalam keluargaku, yaitu masa ketika penangkapan Bapak. Waktu itu kulihat di dinding depan rumah tergantung pamflet bertuliskan Partai PNI. Tiba-tiba rumahku tengah malam digerebek tanpa alasan apa-apa Bapak ditarik paksa dan dilarikan entah kemana. Sejak malam itu, Bapak tidak pernah kami ketahui lagi di mana dan kemana dibawa.” (Harun dan Sastra, 2021:5).
“Hal yang masih kuingat sekarang hanyalah kekuatan strategi Presiden RI zaman Suharto dengan menahan para pemberani atau pemberontak. Hal tersebut lebih populer dengan gestapu, PKI, atau Supersib? Apakah Bapakku dianggap sebagai pemberontak? Gestapu? PKI? Sesuatu yang aku tahu adalah Bapakku seorang pemberani lalu dan yang tidak senang padanya mencap bapak dan melaporkan Bapak pada gorilla-gorilla yang berpihak pada pemerintahan Soeharto waktu itu. Fitnah telah menyebabkan para pemberani terkurung di penjara dan disiksa tanpa alasn yang jelas. …aku hanya mengingat masa itu adalah masa yang amat sulit untuk menegakkan yang benar, tuduhan dan fitnah yang dilakukan telah mengahncurkan orang-orang yang tidak bersalah, akibatnya keluarga kami juga turut menanggung segala nggapan sebagai anak keturunan PKI.”(Harun dan Sastra, 2021:6).
Pada kutipan teks di atas, bahasa merefleksikan ketimpangan sosial yang dialami Dusky. Ketimpangan sosial yang berawal dari fitnah yang dialami ayahnya hingga dipenjara. Pada masa setelah setelah pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, masyarakat saling memupuk kecurigaan satu sama tentang segala hal yang berbau PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada masa rezim Pemerintah Seoharto itu, isu PKI dijadikan alat untuk melancarkan fitnah antarsatu sama lain untuk mengaman posisi dan untuk bertahan hidup. Fitnah-fitnah itu tidak pernah benar mendapat keadilan untuk dibuktikan sebagai sebuah kebenaran ataupun kesalahan. Orang-orang yang menjadi korban akan mengalami diskriminasi sepanjang hidup, seperti yang dialami oleh ayah Dusky Harun dalam buku ini. Fakta ini juga termasuk salah satu ketimpangan sosial yang terjadi pada masa itu.
3. Ketimpangan Sosial karena Diskriminasi Ras
Diskriminias ras adalah segala bentuk perbedaaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan atau perolehan atau pelaksanaan hak azasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, sipil, politi, ekonomi, sosial, dan budaya (Paralegal.id). Paham diskriminasi ras sering juga disebut rasis. Rasis merupakan salah satu ketimpangan sosial yang menjadi kajian analisis wacana kritis. Rasis merupakan ketimpangan sosial yang terjadi akibat diskriminasi terhadap ras atau suku tertentu. Tindakan rasis juga terdapat dalam buku ini Dari Jerman Ke Medan, seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini.
“Selain itu, juga ada kumpulan orang Padang di sana. Tetapi mereka main suku. Orang-orang yang diizinkan tinggal di sana hanya orang Padang dan harus punya uang. Berarti kalau tidak punya uang tidak bisa tinggal di sana. Di tempat itu juga ada kepala suku. Mereka merasa hanya mereka yang hebat sehingga tidak membutuhkan suku lain. Sangat disayangkan. Jadi, kalau ada orang Padang yang tidak memiliki uang terpaksa mereka bergabung dengan suku lain di Str 34” (Harun dan Sastra, 2021: 48).
Teks di atas mengindikasikan adanya praktik sosial yang menyimpang dalam bentuk tindakan rasis antarsuku yang terdapat dalam buku ini. Diskriminasi ini disebut dilakukan oleh orang-orang Padang yang punya uang di Jerman kala itu. Mereka disebut bertindak ekslusif, merasa hebat, dan seperti tidak membutuhkan suku lain, apalagi karena mereka punya uang.
4. Ketimpangan Sosial karena Perilaku Seks Menyimpang
Ketimpangan sosial lainnya adalah perilaku seks menyimpang yang disebutkan dalam buku ini, yaitu homoseksual. Perilaku ini disebut sangat merugikan dan mendatangkan diskriminasi terhadap anak-anak pada masa itu.
“Pada tahun 1970-an, di Kota Medan sudah terjadi perbuatan homoseksual yang dilakukan oleh seorang kepala gorila. Kusaksikan dengan mata kepala kusnediri bagaimana lelaki muda yang kehidupan orang tuanya susah, lalu kami dibujuk dan dirayu untuk diserahkan kepada si Martin tersebut.” (Harun dan Sastra, 2021:7).
Perilaku seks menyimpang terhadap anak-anak sebagai sebuah situasi tidak normal dan tidak wajar juga menjadi salah satu topik dan permasalahan dalam buku ini. Topik yang terus berusaha diatasi oleh berbagai pihak yang memperjuangkan penghapusan diskriminasi terhadap anak saat ini. Buku ini sebagai teks kebahasaan turut serta memberikan gambaran pada kita bahwa perilaku seks menyimpang sudah ada sejak lama atau sejak awal bangsa ini berdiri.
5. Ketimpangan Sosial karena Kebijakan atau Undang-Undang
Ketimpangan sosial akibat tuntutan kebijakan atau undang-undang perkawinan juga dapat ditemukan dalam buku Dari Medan Ke Jerman ini, seperti kutipan di bawah ini.
“Begitulah undang-undang di Jerman. Walaupun perceraian tidak disebabkan oleh kesalahan laki-laki, tetapi laki-laki tetap harus bertanggung jawab. Tanggungannya juga disesuaikan dengan pendapatan. Makin besar pendapatan makin besar pulalah uang yang harus dikeluarkan. Melihat kondisi seperti ini, aku merasa kalau UU di Jerman membuat perempuan mereka jadi lebih egois. Karena selain dapat biaya dariku, ada lagi bantuan sosialnya. Sehingga tidak heran, banyak rumah tangga yang berantakan karena perempuan tidak akan takut tidak punya uang setelah bercerai. Bahkan mereka bisa hidup tenang tanpa kerja.”(Harun dan Sastra, 2021:65)
Ketimpangan sosial ini terjadi saat Dusky Harun harus menanggung hidup anak-anak dan juga istrinya yang sudah bercerai. Ia merasakan ketimpangan karena undang-undang yang merugikan laki-laki padahal perceraian bukan disebabkan oleh laki-laki.
Ketimpangan-ketimpangan sosial yang terdapat dalam buku Dari Medan Ke Jerman ini dialami dan diceritakan oleh penulis sebagai bukti bahwa teks bukan hanya rangkaian kata-kata belaka atau bukan hanya sesuatu yang kosong yang hadir di ruang hampa. Namun, teks merupakan rangkaian kata-kata yang mempunyai makna. Teks dapat menggambarkan ketimpangan-ketimpangan sebagai buah dari praktik sosial yang menyimpang dan tidak wajar yang terjadi dalam kehidupan. Dari ketimpangan-ketimpangan sosial tersebut, terlihat bagaimana kebudayaan dipandang serta ideologi dan kekuasaan yang bertahta dalam hati manusia. Semoga ulasan sederhana dari buku Dari Medan Ke Jerman, Memoar Seorang Lelaki dapat dijadikan pembelajaran hidup bagi pembaca untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Discussion about this post