Cerpen: Agung Pangestu
Menjadi ibu artinya siap bermusuh dengan waktu. Detik mendadak serupa punya kaki. Menit mendadak memiliki roda dan jam mendadak tumbuh sayap dalam punggungnya. Mereka semua sepakat bersekongkol untuk bergerak terlalu cepat. Meninggalkan aku si ibu dalam genangan penuh penyesalan.
“Kamu terlalu membebani dirimu sendiri. Semua ini kamu lakukan juga untuk putrimu.”
Mereka semua sepakat dalam memberiku nasihat. Menjadi wanita karier yang sudah berkeluarga memang selalu dihadapkan pada dilema yang sama. Mana yang lebih penting menjadi prioritas? Waktu untuk bekerja atau waktu untuk belahan jiwa. Mereka benar. Seharusnya beban rasa bersalah sedikit berkurang dengan kompensasi putriku akan punya masa depan yang lebih baik. Namun, hatiku tak sanggup menipu. Jiwaku selalu terganggu. Masih pantaskah label ‘ibu’ tersemat dalam dada yang sering menyimpan rasa bersalah yang menggunung. Masih pantaskah aku dipanggil ‘ibu’ ketika tahu putriku bisa mengucap ‘Mama’ pertama kali malah dari mulut orang lain? Masih sudikah putriku jika tahu bahwa bukan tangankulah yang paling sering menyuapinya. Jika tahu bahwa aku jarang menemaninya tidur siang, jika tahu aku jarang menggantikannya popok, jika tahu ketika dia menangis, aku malah sibuk di kantor. Masih pantaskah?
Makin hari rasa bersalah itu menumpuki kelenjar air mata dan dapat pecah sewaktu-waktu. Memecah kesunyian yang kubiarkan membebat dan menyiksa diriku sendiri. Aku pantas mendapatkannya. Kesalahan sudah sepantasnya ditanggung tiap insan yang melakukannya bukan meluber menodai dia yang tidak tahu apa-apa. Kadang, rasa penyesalan itu seperti membawaku ke dua dunia sekaligus. Dunia mimpi dan dunia nyata. Dulu, kupikir, dunia nyataku adalah bersama putriku, menemaninya, mendekapnya, menemaninya tidur dan kemudian barulah bermimpi dalam artian yang sesungguhnya. Dunia mimpiku adalah berangkat kerja, mengetik di kantor, mengerjakan tugas-tugas yang berjibun, memasang senyum palsu kemudian pulang untuk menjemput dunia nyataku.
Namun kini, batas pemisah yang dulu terlihat jelas kini telah mengabur. Aku sudah tidak melihat lagi benang yang memisahkan dunia nyata dan dunia mimpiku. Sekat itu telah melarut bersama rutinitas yang rajin sekali kuhirup. Imaji dan realita telah tertukar bersama mimpi dan kenyataan yang sama-sama tak bisa lagi kubedakan. Jangan-jangan aku yang berangkat kerja, mengetik di kantor, mengerjakan tugas-tugas yang berjibun, dan memasang senyum palsu adalah aku yang sebenarnya. Dunia nyata yang secara tersembunyi aku suka. Beban peran yang suka rela aku pikul, sedangkan dunia mimpiku adalah menemaninya, mendekapnya, menemaninya tidur adalah aku yang belum terjaga. Mengganggapnya nyata padahal hanyalah bunga tidur yang sewaktu-waktu membuatku terkubur.
Tanggal itu kutandai dengan spidol merah. Membulat penuh goresan rasa sesal. Sudah sembilan belas bulan. Putriku makin tumbuh. Waktu kembali menjadi hantu. Tiap decitnya adalah teriakan penyesalanku yang membisu. Sekarang, dia sudah bisa berjalan sambil terbata mengucapkan sesuatu, dengan langkah aktif yang selalu membuatku rindu.
Gerak waktu terkadang tak sejalan dengan keinginan. Padahal kupikir, baru kemarin plasenta menyatukan kami. Baru kemarin, semesta menitipkan keajaiban. Baru kemarin, tubuh kami bersatu. Namun, semua telah berubah. Putriku tak lagi sama dan aku yang selalu memilih diam. Entah sudah berapa banyak momen yang hilang tanpa sempat kutangkap dengan rutinitas kerjaku yang selalu memburu. Untuk itulah, akhir pekan selalu kujadikan ajang balas dendam. Mulai dari pergi ke mall, kebun binatang, restoran atau hanya seharian di rumah untuk sekedar menghabisi waktu dengannya. Kupikir itu bisa sedikit mengobati luka hatiku yang mengangga namun bagai setetes obat merah yang harus mengobati jantung yang terkoyak, semua itu memang tidak pernah setimpal. Empat puluh delapan jam yang harus mengganti seratus dua puluh jam dalam seminggu yang kupersembahkan untuk dunia mimpiku tentu tidak pernah sebanding.
Aku takut bila waktu terus berlari meninggalkan aku yang memilih berjalan pelan atau malah terkadang diam. Aku takut bila dunia mimpi dan dunia nyataku telah benar-benar tertukar. Aku takut karena ternyata aku begitu takut. Ketakutan itu sering kutumpahkan dalam pilu yang kuurai sendiri. Di rumah, di kantor, di toilet dengan wajah sembab dan derai pilu yang tak kunjung menyusut. Dengan keterisakan yang sering membuat ngilu ulu hati, rasa penyesalan ini makin menjadi-jadi. Semua memuncak ketika pagi hari.
Waktu itu dengan berat hati aku harus pamit berangkat ke kantor.
”Mama berangkat kerja dulu. Nafya di rumah saja. Nanti mama pulang bawa oleh-oleh.” Wajah polos itu menatapku kosong.
Ada keenganan yang tertangkap dari sinar matanya. Ada kegalauan dari suara yang terus memanggilku. Aku tahu dia tidak ingin ditinggal pergi. Aku tahu dia lebih memilih menghabiskan hari bersamaku ketimbang bersama pengasuh. Namun, ada sekat realita yang belum waktunya ia mengerti. Bahwa harga minyak dunia terus melambung, bahwa harga pendidikan makin melangit, bahwa harga kebutuhan makin menggila dan semua harga itu tentu tak bisa ditukar dengan hanya selembar kasih sayang. Untuk itulah, aku menjemput dunia mimpiku atau malah dunia nyataku. Entahlah. Hanya untuk memastikan bahwa dia tidak pernah kekurangan satu apa pun.
***
Tiap akhir pekan, aku sering mengikuti sebuah pertemuan yang diadakan kawan-kawan yang juga senasib denganku. Seorang ibu rumah tangga yang juga merangkap wanita karier atau malah sebaliknya. Di sinilah, aku bebas mengeluarkan segala uneg-uneg yang menimbun di hati.
“Aku adalah ibu paling buruk sedunia.” Begitu aku mengeluarkan segala pengap yang selama ini menyesakki dadaku. Mereka semua mengganguk tanda kalau mereka juga merasakan hal yang sama.
“Aku selalu punya pilihan untuk meninggalkan itu semua dan memilih untuk sepenuhnya merawat putriku namun aku selalu kembali untuk tidak pernah berani mengambil keputusan itu.” Jelasku sambil menahan mata yang setengah membengkak.
“Aku adalah ibu paling buruk sedunia.” Kini, aku tak kuasa lagi. Pilu itu menghancur bersama hatiku yang remuk redam. Mereka tak bisa apa-apa karena mereka juga merasakan hal yang sama.
“Tapi kita melakukan semua ini demi masa depan yang lebih baik. Suatu saat nanti, anak-anak kita pasti akan mengerti.” Ucap salah satu kawan yang juga terpaksa meninggalkan putranya untuk bekerja. Kami semua dengan setengah terpaksa mengganguk. Namun, kami adalah pemikul peran ganda. Suatu waktu kami harus menjelma menjadi seseorang yang disulap menjadi perfeksionis dengan daya kerja yang kadang melebihi kapasitas sebuah robot lalu terkadang kami juga harus kembali menjadi manusia yang dipuja-puji banyak orang. Rutinitas ini membuat kami pintar berakting. Sakit atau tidak sakit tak akan pernah kami tunjukan ke permukaan. Kalimat itu hanya pemberhentian kami dari rasa bersalah yang terus berlari mengejar.
“Akhir-akhir ini, aku sering merasa takut.” Aku kembali menyalakan sumbu pilu itu.
“Takut kenapa?”
“Takut kalau ternyata apa yang kuberikan untuk putriku tidak setimpal dengan apa yang telah kulewatkan dan kulepaskan. Aku terus mencoba menutupinya dengan topeng kepercayaan diri bahwa apa yang kulakukan adalah yang terbaik tapi nyatanya nuraniku sebagai ibu tak bisa lagi ditipu. Aku juga takut kalau waktu bergerak cepat dan mendadak putriku sudah dewasa, lalu dia terbiasa tanpa kehadiranku. Aku tidak bisa membayangkan jika itu benar-benar terjadi. Aku akan resmi menjadi ibu terburuk sedunia. Seorang ibu yang tidak pernah punya waktu untuk buah hatinya adalah orang yang hanya setingkat diatas dari penjahat. Aku memang jahat.”
Suasana mendadak sunyi. Hanya terdengar satu-dua hembusan napas yang terasa berat. Kupikir, pertemuan ini akan sedikit meringankan bebanku namun nyatanya bagai menusuk-nusuk luka lama dan membiarkannya makin terkoyak. Dera itu makin membebat.
“Kita memang bukan ibu yang sempurna. Kita bukan seorang ibu yang punya 24 jam untuk buah hatinya tidak selalu berada di sampingnya dan tidak berada di radius jangkauannya ketika dia membutuhkan kita. Kita bahkan mungkin seorang ibu yang buruk, tapi kita bisa menjadi lebih buruk lagi dengan membiarkan buah hati tidak mendapatkan hidup yang layak. Meski tidak sempurna, kita sudah melakukan terbaik yang kita bisa. Selebihnya, kita serahkan pada takdir dan Tuhan. Tak ada ikatan yang lebih kuat selain ikatan darah.” Pembelaan itu kembali diucapkan salah satu kawan membuat kami setidaknya bisa sebentar menarik napas lega walaupun hanya sebentar.
Berbagai pembelaan mulai berseliweran di tempat ini. Entah itu memang benar nyata atau hanya akumulasi sakit hati yang terus coba kami kelabui. Tidak ada yang pernah tahu atau lebih tepatnya tidak ada yang ingin benar-benar tahu. Kami ingin terus memainkan peran ganda milik kami dengan sebaik-baiknya. Air mata, penyesalan, rasa bersalah, kegalauan, kekecewaan adalah riak-riak yang harus kami lewati sebagai resiko dari peran ganda ini. Biarkan semua itu melarut bersama pilu yang biasa kami pecahkan di mana saja. Karena hati bukan hakikatnya menjadi sepotong besi baja. Yang tahan banting dan mati rasa. Hati hakikatnya adalah hujan di bulan Februari. Jatuh karena memang sudah waktunya. Tidak perlu paksaan atau ditunggu-tunggu.
Sudah satu jam lebih. Pertemuan ini sampai di ujung. Entah kami akan pulang dengan beban yang meringan atau malah makin menggunung, tapi setidaknya kami bertemu orang-orang yang senasib. Bersama orang yang merasakan luka yang sama dan derita yang sama, kita akan lebih punya tempat untuk didengar.
Sebelum pertemuan ini ditutup, kami saling merangkul dan menangis sejadi-jadinya. Membiarkan segala uneg-uneg dan sampah hati mengalir keluar. Sebelum awal pekan merebut alam mimpi kami, merebut jati diri kami dan mengubah kami menjadi mesin gila kerja lagi. Setidaknya dengan mengkosongkan ruang di hati, kita sudah siap menampung berbagai rupa beban yang pastinya mau tidak mau harus kita tanggung. Karena jika kita adalah sebuah komputer, awal pekan kami dipaksa memuat berbagai file atau data lalu dieksekusi dengan berbagai aplikasi sedangkan akhir pekan adalah jatah kami untuk di-refresh.
Kami saling merangkul dan saling memberi kekuatan. Pilu itu telah kami paksa untuk menyusut. Pertemuan ini resmi ditutup. Baru lima hari lagi akan diadakan. Sebelum itu terjadi, kami bersiap untuk menjadi apa pun. Menjemput dunia nyata atau dunia mimpi. Entahlah. Tidak ada yang benar-benar tahu.
Langit ibu kota yang gelap terlihat menyatu dengan lampu-lampu di jalan. Suara adzan maghrib yang terdengar sayup-sayup menjadi alaramku untuk segera terjaga. Bangun dari alam mimpi yang selama delapan jam merenggutku secara paksa. Alarm itu malah menjadi seperti bunga tidur yang menjanjikan sesuatu yang selama seharian selalu kutunggu yaitu ‘pulang’. Satu hal yang bagai meminta langit untuk menurunkan setitik nirwana miliknya. Namun, aku memang tak pernah sanggup meminta lebih. Setitik nirwana itu cukup membuatku mabuk kepayang. Limbung dibanjiri kebahagiaan yang melebihi daya batas.
Dengan menaiki salah satu taksi yang kupesan sejak dari kantor, aku ingin segera pulang. Pasti dia sedang menungguku dengan tidak sabar sementara aku kembali dengan hati berdebar. Menyesak sampai membuatku sulit bernapas. Pasti dia tengah memanggil-manggil namaku, merengek di depan pintu, berjalan di tangga, menonton video Marsha and The Bear, atau menarik-narik kabel bekas. Entahlah, aku tidak tahu mana yang benar. Yang pasti, aku ingin segera pulang dan menemui nirwana kecilku. Memastikan mana dari imajinasiku yang tengah dia lakukan.
Sayang, macet telah menjebakku terlebih dahulu. Langit malam makin memuram sebagai penanda bahwa hatiku tengah gundah. Aku tak ingin terlalu lama di sini. Aku sudah terlalu banyak membuang waktuku untuk alam mimpi. Jangan sampai aku juga harus membuang waktu di sini. Namun, tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu. Selain kembali membuang-buang waktu dan memaksa denting jam di hidupku untuk kembali membeku.
Macet itu belum juga terurai malah semakin panjang. Mataku terus membuang pandangan ke orang-orang yang juga terjebak di tempat ini. Melihat wajah letih mereka, kegundahan mereka, dan kerisauan mereka. Apa yang tengah mereka pikirkan? Tiba-tiba, aku seperti melihat wajahku di mana-mana. Wajah orang yang ingin segera terjaga dan bangun dari alam mimpinya menjemput nirwana kecil mereka masing-masing. Alarm mereka telah bersuara keras memanggil mereka. Mereka juga ingin segera ‘pulang’.
Kemudian, pandanganku beralih pada sekumpulan anak-anak kecil yang sibuk mengamen dari satu mobil ke mobil lainnya. Memanfaatkan kemacetan sebagai ladang rezeki. Tubuh mungil mereka dibungkus baju kumal, wajah polos mereka ber-make up debu jalanan dan tangan kecil mereka menenteng plastik bekas sebagai wadah recehan. Langsung ada rasa ngilu yang menyusup ke dadaku. Mereka terlalu kecil untuk semua ini. Bagi mereka, alam mimpi atau alam nyata pasti tak ada bedanya. Sama-sama getir. Kemudian aku teringat lagi putriku.
Lampu-lampu di jalanan kemudian makin terlihat terang karena langit yang makin memekat. Aku tidak suka. Aku ingin mencari bayang-bayang. Menemukan tempat gelap agar pilu ini tak perlu terlihat jelas. Pilu itu meleleh perlahan dan membasahi pipi. Aku hanya ingin menangis dalam bayang-bayang tanpa perlu terlihat oleh siapa pun. Aku ingin segera pulang menjemput dunia nyata yang selama ini telah kutinggalkan. Memberikan seluruh waktu pada satu-satunya malaikat yang ada di dalam hidup: putriku.
Catatan: Cerpen ini merupakan nominasi Lomba Cerpen Scientia 2021
Biodata Penulis:
Agung Pangestu lahir pada tanggal 11 Agustus 1994 di Purbalingga, desa asri di kaki Gunung Slamet. Minat menulisnya tumbuh sejak membaca majalah dan juga komik lungsuran dari kakaknya. Ia rela menabung dari uang jajan sekolah untuk bisa menyewa komik favoritnya selama tiga hari. Ia juga content writer di salah satu website. Ia bisa dihubungi melalui Twitter:@AgungPangest11. Instagram: Agung_Pangest11. Facebook: Agung Pangestu. Nomor Telepon: 085740578524. Alamat Email: Agungnear@gmail.com
Discussion about this post