Cerpen: Romi Afriadi
Seminggu sudah hubungan Rigon dan Rumbi tak membaik akibat perdebatan panjang tempo hari. Pertentangan keduanya selalu berputar-putar dalam narasi yang sama. Itu-itu saja. Rigon bersikeras untuk tetap mencari ayahnya ke Malaysia, sementara sang ibu melarang. Akhirnya, perdebatan itu tak pernah menemukan titik temu sebab masing-masing punya argumen satu sama lain.
“Kepergianmu hanya akan menambah masalah.”
Rigon keberatan dengan sangkaan ibunya. Ia masih dianggap anak remaja yang belum bisa mengerjakan apa-apa. Rigon tak pernah mendapatkan sedikit kepercayaan pun dari Rumbi perihal yang satu ini.
“Mau sampai kapan Amak akan menunggu tanpa kepastian seperti ini?”
Rigon selalu heran dengan sikap ibunya. Entah terbuat dari apa hatinya. Bagaimana mungkin, ibunya merasa baik-baik saja ditinggal ayahnya sedemikian lama. Ajaibnya, ia terus-terusan melarang Rigon untuk mencarinya.
“Apa yang Amak harapkan dari penantian ini? Setelah tahun-tahun berlalu, kita hanya begini-begini saja. Apalagi yang Amak harapkan.”
Sang ibu merasa ditikam godam mendengar itu. Baginya, suaminya tetaplah lelaki yang baik. Meski kabarnya tak lagi mampir selama bertahun-tahun.
“Jika Ayah memang masih hidup seperti yang Amak yakini, akan aku jelajahi seluruh Malaysia untuk mencari jejaknya.”
“Kau belum terlalu dewasa untuk memulai tugas berat itu.” Rumbi selalu memberi alasan yang sama.
“Sudahlah, Mak. Teramat sering alasan itu Amak pakai. Aku sudah lebih dari cukup untuk memulai pencarian ini.”
“Belum tentu pula kau bisa menemui ayahmu di Malaysia sana.”
“Lalu apa kita bisa menemuinya jika terus-terusan menunggu seperti ini?”
Begitulah, keduanya akan bersitegang lagi hingga salah satu dari mereka lelah dan meninggalkan satu sama lain
***
Rigon tak henti-hentinya mengumpat usai perdebatan dengan ibunya pekan lalu yang tidak jua menemukan titik temu. Tak sanggup lagi ia menerka apa isi kepala ibunya sehingga begitu kukuh melarangnya mencari ayah sendiri. Setelah puluhan malam dan pergantian bulan yang silih berganti, perdebatan mereka tak pernah mencapai kata mufakat, malah semakin memperlihatkan lubang besar menganga di depannya.
“Jika dulu ayah pergi untuk menyekolahkan aku tinggi-tinggi, berarti sungguh mulia sekali. Namun, impiannya gagal, Mak. Aku nyatanya tidak kuliah dan hanya tamat SMA. Sekarang, aku juga ingin memulai misi mulia untuk mencarinya.”
Niat Rigon mencari seorang lelaki yang ia sebut ayah itu sudah tertanam sejak dulu, saat ia sudah paham ketiadaan seorang laki-laki dewasa dalam rumahnya. Pertanyaan “di mana ayah” menjadi sering hinggap dalam kepalanya. Memang perihal ketiadaan laki-laki dewasa pada suatu rumah di kampung ini merupakan sesuatu yang lumrah. Kebanyakan memang memilih merantau ke Malaysia. Namun, ia melihat, setidaknya laki-laki itu tetap pulang menjelang puasa. Menjunjung kardus di pundaknya, yang berisi bermacam oleh-oleh untuk orang-orang di dalam rumah. Sementara itu, Rigon menyaksikan pemandangan yang tak berubah dalam rumahnya dari tahun ke tahun.
Laki-laki yang begitu dibanggakan ibunya itu tak pernah mau pulang sehingga penghuni rumah selalu harap-harap cemas jikalau ada kabar yang menjelaskan tentang diri laki-laki itu. Penghuni rumah itu kian menua dan rapuh oleh penantian tak pasti. Setelah sepasang suami-istri yang sudah renta meninggal, ayah dan ibu dari lelaki yang tak pulang-pulang itu yang sejak lama sudah kehilangan cahaya di matanya. Kian senyaplah rumah itu.
Rigon hanya tinggal menyaksikan ibunya merawat hati dengan kepayahan, mencoba menutupi diri bahwa ia baik-baik saja, tapi sebetulnya amat lelah.
“Kau selalu keras kepala. Tak ada satu pun lelaki dalam keluarga kita yang sifatnya sepertimu.” Begitu ucap ibunya saat perdebatan mereka tinggal sisa-sisa.
“Mungkin karena aku tidak dibesarkan oleh seorang bapak makanya aku jadi lelaki yang pembangkang.”
Rigon selalu menjawab pernyataan ibunya yang itu dengan asal. Jawaban yang selalu membuat ibunya naik pitam lalu mengucap istigfar.
“Ayahmu orang yang baik, Nak. Ia punya sikap dan perilaku yang jarang dimiliki lelaki lain. Kau tidak tahu siapa ayahmu.”
“Justru itulah ia jadi tidak baik di mataku.”
“Kau tak pantas menjelekkan orang tua sendiri.”
“Jika dia ayah yang baik, dia akan pulang, Mak. Ayah yang baik pasti mencontohkan yang baik pada keluarganya.”
Jika sudah begitu mata ibunya akan memerah, lalu keduanya saling meninggalkan menuju tempat yang baru. Ibunya akan terisak menuju rumah, ia tak kuasa menerima tuduhan anaknya, tapi sekaligus bingung menjelaskan apa. Rigon akan memilih pergi dari rumah, tak pulang saban dua sampai tiga hari.
Biasanya kepergian Rigon tak akan jauh-jauh, ia akan menginap di rumah Etek, saudara ibunya atau keluarga lainnya. Menenangkan pikiran di situ sambil menerima nasihat-nasihat lama yang selalu diulang-ulang. Di antara nasihat yang panjang itu, terselip lah kesimpulan bahwa ayahnya tetaplah orang yang baik.
“Tapi mengapa ia tak kunjung pulang?” ujar Rigon.
Pertanyaan itu tak pernah terjawab meskipun Rigon menanyai seluruh orang di kampung ini.
***
Cerita ibunya mengenai ayahnya yang berperilaku baik telah berusia lama. Cerita itu jadi anomali. Pada satu sisi, Rigon ingin percaya dengan cerita itu, namun sekaligus dipenuhi kegamangan. Cerita yang akhirnya memaksa hubungannya dengan sang ibu tak pernah harmonis. Tapi malam itu, Rigon menemukan suatu alasan.
“Apa kau sungguh-sungguh ingin pergi ke Malaysia?”
Rigon tak menyahut.
“Amak dulu juga menanyai ayahmu dengan pertanyaan serupa dan ia mengangguk mantap. Kamu tahu sendiri apa yang terjadi kini.”
Rigon ingin memprotes, tapi ia sudah malas untuk berdebat. Rigon lalu mengaitkan kondisi saat dulu ayahnya pergi dengan rencana kepergiannya sekarang.
“Apa Amak takut nasib kami akan berakhir sama?” Rigon mencoba berasumsi.
“Amak ingin tahu, sesungguh apa kau ingin mencari ayahmu?”
Ibunya menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Tak ayal, itu membuat Rigon frustrasi juga.
“Amak tidak tahu kan bagaimana rasanya diolok kawan-kawan dan dicap sebagai anak yang tidak punya bapak.”
“Sebaliknya, kamu juga tidak tahu bagaimana rasanya dibicarakan orang sekampung sebagai istri yang ditinggal suami.”
Perbedaan itu kentara lagi. Rigon menyadari ujungnya setiap perbincangan dengan ibunya akan menghasilkan perbedaan.
“Jadi sebetulnya kita sama-sama korban atas tidak pulangnya ayah dan aku tetap heran kenapa Amak tidak dari dulu mempersilakan aku memulai misi mencarinya.”
“Karena Amak tidak tahu apa obsesi terbesarmu dalam mencari ayahmu, Amak melihat kau melakukannya semata-mata untuk memperlihatkan dendam dan menunjukkan padanya bahwa jalan yang ia tempuh salah.”
“Jadi, hanya itu sebab sehingga Amak melarang aku selama tiga tahun ini?” suara Rigon sedikit meninggi,. Betapa sepelenya urusan ini. Namun malah menyeret perdebatan yang tak kunjung padam.
“Aku melakukannya bukan untuk mempermalukannya. Aku hanya ingin tahu apa benar yang Amak katakan selama ini. Bukankah bagi Amak, ayah itu tanpa perangai cacat? Bahkan setelah ia meninggalkan kita 17 tahun, itu tetap tak berubah.”
“Percayalah! Ayahmu orang yang baik. Ia juga sangat menyayangimu dan Yanti. Sayang sekali, ia tak bisa melihat kalian bertumbuh.”
“Aku juga mendengarkan hal yang sama diucapkan banyak orang tentang dia, untuk itulah aku ingin menemuinya, melihat langsung sosok yang hebat itu “
“Begitukah kesungguhanmu?”
Rigon mengangguk,“Aku berjanji akan langsung pulang jika sudah menemukan Ayah.”
“Bagaimana jika kau tak berhasil?”
“Aku akan mencarinya sampai ada keterangan yang jelas, Mak. Entah menemukannya dengan hidup atau hanya gundukan tanah.”
Ibunya terdiam.
“Aku tahu, amak tak pernah siap menerima seandainya kenyataan ayah sudah tiada. Aku akan memastikannya.”
“Kau tahu.” Rumbi menghembuskan napas perlahan. Wajahnya tampak sangat lelah. Rigon tahu, meskipun ibunya berusaha sekuat hati untuk tidak memperlihatkannya. “Amak sangat benci dengan Malaysia.”
Kali ini, giliran Rigon yang terdiam. Ini pengetahuan baru untuknya.
“Amak tak ingin apa yang menimpa ayahmu jadi terulang padamu.”
Rigon masih diam, terkuak sudah apa yang selama ini mengganjal hatinya. Mungkin sebagai seorang anak pemahaman Rigon tak pernah sampai ke sana.
“Amak mulai berpikir untuk mengikhlaskan tidak kembalinya ayahmu. Jika ia masih hidup, semoga jalannya dipermudah. Jika sudah tiada, semoga ia dilapangkan. Kalau kepergianmu hanya untuk mengulang langkah ayahmu, amak tidak tahu harus butuh waktu berapa lama untuk melupakannya.”
“Ternyata sesederhana itu, Mak. Sederhana sekali alasan yang menyebabkan kita menghabiskan banyak malam untuk bertengkar.”
“Kembalilah jika kau tak menemukan ayahmu. Amak akan tetap senang apa pun kabar yang kau bawa dari Malaysia itu.”
Rigon merasakan ini adalah perbincangan ia dan ibunya yang paling melankolis. Ia juga paham sekarang. Seorang ibu akan tetap mengkhawatirkan anak-anaknya sejauh apa pun perbedaan terbentang di antara keduanya. Sebaliknya, seorang anak belum tentu memahaminya.
Selama hidup, Rigon merasa lebih banyak menjadi beban bagi ibunya. Di luar perdebatan mereka yang terus meruncing, ia tak pernah benar-benar mau menjadi apa yang diinginkan ibunya. Ia bertumbuh menjadi dari bocah yang serba ingin tahu, menjelma remaja yang keras kepala. Entah apakah ada, masa yang membuat ibunya bangga, Rigon benar-benar ingin keputusannya bepergian ke Malaysia jadi titik awal perubahan ia di mata ibunya.
“Aku tak pernah jadi anak yang membanggakan, Mak.”
“Kau tak perlu membuktikan apa-apa. Amak tidak pernah menuntut kamu akan jadi apa.”
Rigon merasakan matanya perih. Dadanya sesak seketika. Ia memandangi sang ibu dan menemukan hal yang lebih kurang sama. Entah karena dorongan apa, ia memeluk ibunya. Ia terisak seolah puluhan tahun silam saat masih bocah. (***)
Catatan: Nominasi Lomba Cerpen Scientia 2021
Tentang Penulis
Romi Afriadi dilahirkan di Desa Tanjung, Kampar, Riau, pada tanggal 26 November 1991. Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau. Cerpen dan tulisannya pernah dimuat di media Online dan cetak. Beberapa cerpen lainnya juga terpilih dalam Antologi, diantaranya: Antologi cerpen #di rumah aja Apajake, Antologi cerpen Rumah Kayu Pustaka, Antologi cerpen genre Sosio-Religi Unsa Press, dan Antologi cerpen Mbludus.com. Saat ini, penulis tinggal di kampung kelahirannya sambil mengajar di MTs Rahmatul Hidayah dan menghabiskan sebagian waktu dengan mengajari anak-anak bermain sepak bola di SSB Putra Tanjung. Penulis bisa dihubungi melalui email: romiafriadi37@gmail.com dan Facebook: Romie Afriadhy.
Discussion about this post