Citraan, majas, dan gaya bahasa adalah bagian penting dari sebuah karya fiksi. Ketiganya menjadi penanda daya tarik sebuah tulisan fiksi. Penulis yang cerdas, paham seberapa penting ketiga konsep ini untuk membuat karya jadi menarik dan tidak membosankan. Penulis yang berpengalaman dan mempunyai jam “terbang tinggi” terikat dan paham akan eksistensi ketiganya dalam karya fiksi. Selanjutnya, di mana ketiga konsep ini harus dipelajari? Jawabannya ada dalam stilistika.
Ilmu yang membicarakan citraan, majas, dan gaya bahasa disebut dengan stilistika. Stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa, sedangkan stile (style) adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu dingkapkan dengan cara tertentu sehingga tujuan yang dimaksud dapat dicapai secara maksimal (Ratna, 2014:1). Menurut Shipley (1957:341), stilistika adalah ilmu tentang gaya (style). Style berasal dari bahasa latin stilus yang artinya alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis lilin. Orang-orang yang bisa menggunakan alat tersebut disebut praktisi gaya yang sukses dan yang tidak bisa disebut praktisi gaya yang gagal (Ratna, 2014:1). Nurgiyantoro (2014:78) menyebut bahwa stilistika dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan apresiasi estetik (perhatian kritikus) di satu pihak dan dengan deskripsi linguistik di pihak lain yang menekankan capaian efek keindahan dengan adanya dukungan bahasa. Kajian stile berangkat dari penggunaan bahasa sebagai sebuah teks. Data stile adalah bahasa (linguistik) dan capaian analisisnya adalah seni/estetika(sastra). Dalam kajian ilmu humaniora, dalam stilistika inilah, ilmu linguistik dan sastra dipertemukan.
Stilistika juga ilmu tentang retorika (ilmu tentang bahasa pidato) dan karya sastra. Retorika dan sastra berhubungan erat dengan stilistika (Semi, 2008:6). Kedua ilmu ini menjelaskan diksi dan kosakata yang mengandung citraan, majas, dan gaya bahasa dalam karya sastra, seperti puisi, cerpen, novel, cerita anak, naskah drama, dan karya fiksi lainnya serta citraan, majas, dan gaya bahasa yang digunakan dalam pidato.
Citraan (image) atau imaji merupakan gambaran yang ada dalam angan pikiran penyair saat menulis. Citra dalam puisi sejalan dengan pancaindra (indra penglihatan, perabaan, pendengaran, pengecap, dan penciuman) dan ditambah dengan citraan gerak. Puisi-puisi yang sukses menggunakan citraan juga adalah puisi yang sukses menggunakan pancaindra dalam mendeskripsikan suasana, seperti dalam kalimat wajahnya cantik bak bulan empat belas. Citraan yang digunakan adalah citraan penglihatan. Selain itu, juga ada citra perasaan dan intelektual. Citraan perasaan dan intelektual dapat dilihat dalam puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono dan “Aku” karya Chairil Anwar. Hujan bulan Juni disebutkan memiliki perasaan tabah, bijak, dan arif. Dalam puisi “Aku”, disebutkan aku ingin hidup seribu tahun lagi. Larik-larik itu merupakan gambaran perasaan yang mendalam dari penyair yang juga cerminan pemikiran intelektual atau kecerdasan dalam memilih diksi yang tepat sehingga diperoleh efek tertentu yang tertanam lama dalam ingatan pembaca.
Selanjutnya, majas atau trope dalam bahasa Yunani dan figure of speech dalam bahasa Inggris adalah pilihan kata yang sesuai dengan maksud penulis/penyair untuk mendapatkan efek tertentu (Ratna, 2014:164). Majas juga disebut dengan persamaan atau gaya bahasa kiasan. Keraf (2008:129) menyebut majas sebagai gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Contoh-contoh majas, di antaranya metafora, personifikasi, ironi, sinisme, eufimisme, sarkasme, metonimia, satire, dan lain-lain (Keraf, 2017:129).
Sementara itu, gaya bahasa/seni bahasa/estetika bahasa. Gaya bahasa memiliki beberapa definisi (Ratna,2007:236; Ratna 2014:10), di antaranya 1) ilmu interdisipliner tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik, 2) ilmu tentang penerapan kaidah linguistik dalam penerapan gaya bahasa, 3) Ilmu yang menyelidiki pemakaian gaya bahasa dalam karya sastra dengan mempertimbangkan aspek keindahan dan latar sosialnya.
Gaya bahasa memayungi majas dan citraan. Keraf (2007) membagi gaya bahasa menjadi 3, yaitu 1) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, di antaranya gaya resmi dan tidak resmi, 2) gaya berdasarkan struktur kalimat, di antaranya ada repetisi (pengulangan), paralelisme (kesejajaran), klimaks (periodik), dan antiklimaks (mengendur), 3) gaya berdasarkan langsung tidaknya makna (metafora, personifikasi, eumisme, metonimia, dan lain-lain).
Selain pandai meramu konfliks, menjalin alur, memilih latar, dan menciptakan tokoh-tokoh dan penokohan, penulis fiksi juga harus memahami konsep citraan, majas, dan gaya bahasa dengan jelas. Mehamami ketiga konsep ini dan menerapkannya dalam tulisan adalah salah satu kunci penulis fiksi.
Discussion about this post