Cerpen: Rizki Adi Saputra
Matahari beranjak naik. Sinarnya tajam menembus atmosfer dan menghunjam lapangan tanah dengan berani. Pantulan yang terasa perih disambut peluh bercucuran. Suara napasku makin menderu seiring dengan langkah kaki yang kian melaju. Berdebu.
“Lebih cepat, Miqdad! Sudah dekat finish, fokus!” Seseorang dengan topi dan peluit berteriak padaku. Dia adalah pelatihku, Mister Abdullah, pria berbadan tegap berwajah barat keturunan Irlandia. Kami sedang dalam persiapan turnamen lari tingkat internasional.
Ya, aku seorang atlet. Dua pekan lagi, aku berangkat ke Beijing bersama Mister Abdullah mewakili Palestina. Jika orang memujiku karena prestasi yang kuraih hingga sampai ke kancah internasional maka aku adalah orang pertama yang mencaci diriku sendiri karena tidak dapat membela negaraku di medan perang bersama pemuda seusiaku.
Namun, segera teringat bahwa aku memiliki Umi yang harus kujaga. Kesehatannya sudah tidak terlalu baik, apalagi sejak Aba dan Iqbal tiada. Namun, Umi selalu menasihatiku agar selalu semangat untuk menggapai tujuan. Bagiku, Umi segalanya dan gilanya aku menyebut Umi sebagai Tuhan keduaku, sedangkan Aba dan Iqbal adalah para sahabatnya.
Iqbal adalah kakak laki-lakiku, seorang pemuda tangguh yang gagah berani melawan tentara kejam di perbatasan dekat Jalur Gaza, rumah kami dahulu. Rasa cinta pada negara membendung semua rasa takutnya. Hingga siang hari yang menyedihkan itu tiba, secepat bom yang dijatuhkan dari pesawat milik penjajah. Iqbal syahid bersama beberapa kawannya saat berperang dalam gerakan memperjuangkan Palestina. Sementara itu, Aba yang khawatir segera menyusulnya ke tempat peperangan.
Namun, langkah kaki Aba terhenti oleh kepungan tentara. Mereka menganggap Aba menuai keributan sehingga salah satu dari orang berseragam itu dengan tega menekan tuas senjata apinya. Sebuah timah panas menusuk tepat di jantung Aba. Betapa menderitanya ketika dalam satu hari, dua orang tersayang pergi untuk selamanya.
Kehilangan itu juga menjadi alasan Umi untuk tidak mengizinkanku terjun ke medan perang. Umi tak sanggup lagi merasakan pedihnya kehilangan. Namun, hati kecil ini terus memberontak. Bagaimana bisa aku seorang pemuda Palestina hanya diam saja ketika bangsa asing mencoba menghancurkan kami. Aku ingat betul wajah Iqbal saat jenazahnya dievakuasi. Bibirnya melengkungkan senyum di antara kucuran darah dan debu. Tak sampai hati bila aku tidak berkutik setelah kematiannya.
Pengorbanannya yang begitu indah akhirnya meyakinkanku bahwa selalu ada jalan untuk berjuang, meskipun bukan di medan perang. Seperti yang dunia ketahui, Palestina adalah tempat di mana bom-bom dijatuhkan dari pesawat, lantas meruntuhkan bangunan di sana-sini. Setiap malam, indera pendengaran kami tak pernah berhenti bekerja. Sayup-sayup terdengar ledakan yang kadang dekat kadang jauh. Tidak ada tempat yang aman di Palestina ini. Semua hanya menyisakan puing dan duka.
Membebaskan Palestina adalah mimpi besar yang kuukirkan di balik puing-puing rumahku. Aku mungkin tidak bisa berperang, tidak kuat untuk menghajar, tetapi aku punya dua kaki yang dapat kugunakan untuk berlari. Aku ingin berlari kencang hingga seluruh dunia dapat melihatku. Aku ingin bersuara lantang di hadapan semua penduduk bumi dan mengabarkan bahwa Palestina-ku sedang tidak baik-baik saja. Aku ingin terus menjaga dan merawat negeri ini bersama dengan Umi. Selamanya.
***
“Bagaimana perasaanmu menjelang turnamen?” tanya Mister Abdullah usai latihan.
“Lelah, tapi luar biasa hebat, Mister. Bagaimana penampilanku tadi? Sudah lebih baik?” tanyaku.
“Seperti yang kau tahu. Rekor waktumu semakin singkat, tandanya kau semakin cepat. Itu bagus,” jawabnya. Wajahku sumringah. “Tapi jangan senang dulu, Miqdad. Kita tak tahu seperti apa lawanmu nanti. Pesanku, ingat mimpimu. Ingat bahwa kau adalah pemuda Palestina yang harus membebaskan tanah kelahiranmu. Kau mengerti?” Mister Abdullah mencengkeram bahuku. Aku mengangguk mantap.
“Ehm, sebelum mulai karantina nanti sore, bolehkah aku pulang sebentar? Aku ingin bertemu Umi. Pagi tadi, kami belum sempat mengobrol banyak,” tanyaku sedikit takut.
“Tentu, tapi ingat, segera kembali sebelum petang. Aku tidak ingin orang-orang bersenjata itu menghadangmu di jalanan gelap.”
Aku bergegas pulang menemui Umi, sekaligus mengambil barang-barang yang tertinggal untuk karantina. Rumah baru kami berada di tiga puluh kilometer sebelah Selatan Gaza. Jangan bayangkan seperti rumah yang besar dan berdinding batu bata. Sebetulnya rumah kami lebih tepat disebut gubuk dengan dinding tripleknya. Setidaknya, lokasi ini lebih jarang terkena dampak ledakan.
“Assalamu’alaikum, Umi. Miqdad pulang,” aku mengucap salam sembari membuka pintu rumah. Terlihat Umi sedang duduk mengaji di ruang depan.
“Waalaikumsalam. Pulang lagi, Miqdad? Umi pikir kamu langsung karantina.”
“Rasanya, Miqdad masih harus dan terus meminta restu Umi. Ini pertandingan internasional Umi, di Beijing. Ini kesempatan Miqdad, Umi. Seluruh dunia harus tahu bagaimana nasib kita di sini, tersiksa di tanah sendiri.” Jiwaku berapi-api. Suaraku mulai parau seiring dengan gemuruh mesin giling milik tetangga.
“Miqdad, dengarkan Umi. Di atas sajadah, Umi selalu memohon kepada Allah untuk mengabulkan mimpimu. Umi akan merawat negeri ini sampai Miqdad kembali. Umi sangat bangga dengan apa yang sedang kau perjuangkan. Maafkan Umi Nak, jika kekhawatiran Umi menghalangimu.”
“Tidak Umi, sama sekali Umi tidak bersalah. Setiap orang memiliki jalur juangnya masing-masing, dan ini jalan Miqdad, Umi. Jika Miqdad melakukan ini demi membebaskan tanah suci yang sangat berjasa bagi Islam, Allah pasti memberi kemudahan. Miqdad ingin seperti Iqbal yang tangguh, Aba yang peduli, dan Umi yang selalu berdoa. Doakan Miqdad ya, Umi,” ucapku sambil mengusap air mata Umi yang kemudian dibalas dengan pelukan hangat. Suara mesin giling tetangga semakin keras.
“Umi sayang Miqdad,” pelukan Umi semakin erat. Aku pasti akan merindukannya selama di Beijing. Sesaat kemudian, aku merasa aneh dengan mesin giling tetangga, Suaranya semakin keras. Tepat ketika aku mengintip keluar jendela, di saat itu juga sebuah karung hitam berukuran sedang meluncur dari udara. Apakah itu bom?
DUAARRRRR!!!!
“Umi, serangan!” Aku bergegas menarik Umi untuk mencari tempat berlindung. Semua penduduk panik dan mencoba bersembunyi di balik bangunan. Sayangnya, hanya ada triplek-triplek yang berdiri rapuh dan sebuah pohon besar yang agak jauh.
“Tidak ada tempat, Miqdad. Hanya pohon itu.”
DUAARRRRR!!!!
Gelap. Berdebu. Telingaku berdenging. Perih. Umi tadi bilang apa? Aku tidak dapat
melihat Umi. Umi di mana?
“Umi? Umi di sebelah mana? Umi dengar Miqdad?” aku berusaha bicara. Mataku perlahan membuka. Bukan Umi yang kulihat, melainkan darah yang mengalir di tanah.
“Umi?” Aku mulai merengek. Mataku berair. Sesaat setelah aku mencoba berdiri, seseorang melambaikan tangan.
“Umiiii!” aku tertatih menghampirinya. Perih. Kulihat wajah Umi yang tertutup debu. Kupegang lembut kepala Umi. Darah. “Umi, Umi maafkan Miqdad, Umi. Harusnya tadi Miqdad bergerak cepat. Miqdad cari bantuan ya, Umi,” aku menangis panik, lalu segera beranjak untuk mencari bantuan. Namun, tangan Umi menggenggam lenganku lemas.
“Miqdad, anak laki-laki Umi. Miqdad, pemuda Palestina yang berprestasi. Miqdad, yang sayang pada keluarga dan negara hingga tak sanggup melihat Umi ketakutan. Sampaikan salam Umi untuk seluruh dunia, Nak. Jagalah negeri ini dan rawatlah. Sayangi seperti Miqdad menyayangi Umi. Umi selalu ada di samping Miqdad. Umi sayang kamu Nak.” Genggaman tangan Umi mulai terlepas. Matanya perlahan menutup, dadanya tak lagi kembang kempis. Senyap. Hanya senyum Umi yang tersisa dan isakan tangisku. Umi pergi. Untuk ketiga kalinya, aku merasakan kehilangan.
***
Perjalanan ke Beijing bersama Mister Abdullah berlangsung lancar. Kami selamat sampai tujuan dan disambut dengan baik oleh panitia penyelenggara. Aku berkelompok bersama teman-teman dari Benua Asia ketika upacara pembukaan. Tidak lupa Mister Abdullah yang setia mendorongku selama acara. Ya, aku tidak berjalan, tetapi duduk di kursi roda. Peristiwa itu melukai kedua kakiku cukup parah hingga tak bisa berjalan, apalagi berlari. Kecewa tentu sangat kurasakan, begitu pula Mister Abdullah. Namun, kami tetap diperkenankan menghadiri seluruh rangkaian acara tanpa mengikuti turnamen. Bagaimana dengan mimpiku yang besar itu?.
“Perkenalkan, namaku Miqdad. Aku seorang pemuda Palestina. Aba, Umi, dan kakakku telah tiada. Aku seorang diri. Temanku, apakah kalian sudah tahu? Negaraku sedang tidak baik. Setiap hari kami mendengar gemuruh ledakan di mana-mana. Puing-puing bangunan berserakan. Dan kau tahu, seharusnya aku mengikuti turnamen lari bersama kalian, tapi semua itu sirna. Kakiku sakit dan tak bisa berlari seperti kalian. Teman, bisakah kau sampaikan pada negaramu? Palestinaku membutuhkan kalian. Aku tidak ingin semakin kesepian di sana karena setiap hari banyak orang terluka dan meninggal.
Mimpiku mulai memiliki sedikit pencerahan. Setidaknya, hari ini semua temanku mengetahui bagaimana perasaanku dan teman-teman di Palestina. Isakan haru bahkan pelukan hangat kudapatkan dari mereka. Aku berjanji, mimpiku membebaskan, menjaga dan merawat Palestina akan terus kuperjuangkan dan kukabarkan ke seluruh penjuru dunia. Aku Miqdad, aku ingin membebaskan Palestina-ku.
“Umi, semoga Umi tenang di sana. Miqdad akan selalu ingat nasihat Umi. Miqdad sayang Umi.”
Biodata Penulis :
Rizki Adi Saputra kelahiran Riau. Ia memiliki hobi menulis dan kuliah di Jurusan Kimia di salah satu perguruan tinggi di Riau. Selain di bidang literasi, ia juga memiliki hobi melukis dan memanah. Motto Hidupnya “Jadilah Seperti Teman Khayalanmu.”