Memagut Kenangan
Semua ini tak pernah sampai padamu
yang terlanjur pergi
pamitmu tak kembali
masih tersisa aroma pagi di matamu
dan aku ingin melihatnya kembali
Di pantai belakang rumah kita
hanya ada bayangmu
Angin terasa tak sejuk lagi,
begitu juga laut dan gelombang,
dan senja dengan lembayungnya
Tak sempurna tanpa jejakmu
Siluet dengan pesonanya
yang abadi itu hanya ada cerita
Kini badai mewarnai tiap kubuka jendela
hujan petir seperti cuka dan amarah
yang mambasuh luka lengkap
dengan angin yang hendak jauh menimpuk
dan menguburku larut bersamanya
Kututup jendela
kupeluk siluet kau dan senja
agar tak lumat jua bersamanya.
Kabun Sunur, 22 April 2021
Awal Kenal dan Pada Akhirnya
Ketika aku mengenalmu
kutulis sajak tentang bidadari
dunia mungkin tidak mengetahuinya
mungkin kau juga
kemudian kubacakan lamat-lamat
dalam sepiku setelah merapal buku-buku
Kini di kala kusendiri
kembali hendak kurapal lagi
namun sajak berlain bunyi
menyayat hati
terus saja kurapal harap kelak ada waktu
kubaca saat kita bertemu lagi
dalam pertemuan yang lebih abadi
hanya saja;
apatah pada masanya kita disatukan adanya?
Ketika telah terpisah jauh darimu
tak ada lagi sajak bidadari
hanya menunggu pertemuan itu saja.
Kabun Sunur, 22 April 2021
Uwir-uwir yang Bersarang di dalam Telinga
Kata mereka indahnya dunia lengkap dengan nada alam
suara satwa di dalamnya; burung, kokok ayam perkampungan,
bunyi pacul diayun dalam sawah dan gemericik air sungai yang dahaga
dalam netraku juga, namun tak kudengar suara indah bak alunan swargaloka;
Selain sunyi belantara dan suir panjang uwir-uwir yang ada di dalam gendang telinga.
Kuberlari menemui seseorang dalam ruang kerjanya yang sempit
Kuminta ia melihat dalam telingaku; mungkin bisa ia mengeluarkan suara itu yang menyempit dan menyeramkan begitu dalam gendang. Ia tersenyum dengan beberapa benda di tangan. Perlahan menguliti, mencongkel dalam. Ia menggelengkan kepala:
Tak ada suir ataupun jangkrik yang bersarang di sana
Aku tidak percaya. Mungkin hanya aku dan Tuhan yang mampu mendengarkannya.
Kabun, 22 April 2021
Djoe HT Bagindo dengan Nama Asli Hendri Tanjung lahir 7 April di Kabun Sunur, Pariaman. Alumni FBSS UNP ini tergabung dalam beberapa komunitas kepenulisan baik online maupun offline antara lain FLP Sumbar, Komunitas Penyair Indonesia KOPI 45, komunitas Republik Penyair ( Vidio Puisi indonesia), dan KOPI. Cerpennya TAS termasuk dalam antologi. Tulisannya telah publikasi di berbagai media. Cerpen Surat dari Hujan (FLP Sumbar), NING dalam Antologi Pukah dan Rekah KMO Indonesia. Saat ini penulis bekerja sebagai guru di Sekolah Dasar dan aktif di media sosial dengan akun; FB @Padi Salibu, IG@Djoe_ht_Bagindo, Email: hendritanjung700@gmail.com, WA: 082392164891
Mengenang yang Dicintai
Oleh: Ragdi F. Daye
(Buku terbaru yang memuat puisinya
Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
pamitmu tak kembali
masih tersisa aroma pagi di matamu
dan aku ingin melihatnya kembali
Para penyair menulis puisi untuk menanggapi permasalahan yang terjadi di sekitarnya, permasalahan yang menimpa orang lain, lingkungan alam, hewan-hewan yang terancam punah, atau nilai-nilai yang seharusnya dipegang dalam menjalani kehidupan. Dengan puisi, penyair mengungkapkan keprihatinan, kerisauan, ketidaksetujuan, rasa simpatik, duka cita, kemarahan, atau kepeduliannya. Para penulis mempunyai motif masing-masing, termasuk menyampaikan isi hatinya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Tarigan (2008) bahwa setiap orang membutuhkan ruang dan waktu untuk mencurahkan apa yang dirasakannya. Sama halnya seperti sebuah karya sastra yang lahir dari dorongan manusia yang mampu mengungkapkan tentang diri sendiri, tentang masalah yang dialami kemanusiaan dan alam semesta. Sebuah karya ditulis melalui pandangan penulis terhadap kehidupan sosial yang pernah terjadi di lingkungan sekelilingnya dengan gaya bahasa penulis itu sendiri.
Puisi sebagai sebuah karya sastra membangun aspek keindahannya melalui susunan bunyi dan pilihan kata. Puisi terdiri atas beberapa macam gaya bahasa yang membangun strukturnya supaya menjadi lebih indah. Selain itu, puisi juga disusun dari peristiwa-peristiwa yang diberi makna dan ditafsirkan secara estetik. Hal ini disebabkan puisi umumnya banyak mengandung makna konotasi yang mengandung nilai emotif menyangkut nuansa halus dan kasar pada suatu bentuk kebahasaan. Puisi tidak akan lepas dari diksi yang bertalian erat dengan gaya bahasa.
Ada tiga buah puisi Djoe HT Bagindo yang menghiasi ruang Kreatika edisi ini. Ketiganya berjudul “Memagut Kenangan”, “Awal Kenal dan Pada Akhirnya”, dan “Uwir-uwir yang Bersarang di dalam Telinga.” Puisi-puisi Djoe menunjukkan kerja kreatif yang tak bisa disebut baru memulai belajar merangkai kata-kata. Permainan bunyi dengan pemilihan kata-kata yang cocok berhasil menciptakan suasana sayu yang mampu mencabik-cabik perasaan pembaca. Terutama puisi pertama, “Semua ini tak pernah sampai padamu/ yang terlanjur pergi/ pamitmu tak kembali/ masih tersisa aroma pagi di matamu/ dan aku ingin melihatnya kembali// Di pantai belakang rumah kita/ hanya ada bayangmu/ Angin terasa tak sejuk lagi,/ begitu juga laut dan gelombang,/ dan senja dengan lembayungnya/ Tak sempurna tanpa jejakmu.” Pantai yang riuh oleh gemuruh ombak terasa sunyi setelah ditinggal pergi oleh orang terkasih. Segala keindahan senja menjadi hampa belaka. Puisi Djoe ini terdengar seperti lolongan kepedihan.
Puisi kedua menyambung atmosfer nestapa pada puisi sebelumnya. Puisi ini seperti mengeksplorasi kesedihan si aku lirik: “Ketika aku mengenalmu/ kutulis sajak tentang bidadari/ dunia mungkin tidak mengetahuinya/ mungkin kau juga/ kemudian kubacakan lamat-lamat/ dalam sepiku setelah merapal buku-buku// Kini di kala kusendiri/ kembali hendak kurapal lagi/ namun sajak berlain bunyi/ menyayat hati/ terus saja kurapal harap kelak ada waktu/ kubaca saat kita bertemu lagi/ dalam pertemuan yang lebih abadi.” Sosok kamu yang telah pergi ternyata merupakan bidadari yang diimpikan aku lirik, yang menginspirasinya menulis sajak untuk dibaca lamat-lamat di dalam kesepian. Bait kedua mengungkapkan terjadinya perpisahan setelah pertemuan dengan sang bidadari dan aku lirik berharap mereka akan bertemu lagi di kehidupan yang akan datang.
Puisi dan karya sastra lainnya memiliki daya gugah terhadap pembaca, terutama ketika terjadi kesamaan frekuensi pengalaman batin yang menyebabkan pembaca seolah-olah terlibat dengan pengalaman imajiner di dalam puisi. Menurut Pradopo (2012: 7), puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan.
Oleh karena itu, pengalaman membaca puisi akan berbeda dengan yang didapatkan ketika membaca berita. Berita akan menyerbu pikiran dengan banyak informasi dan gagasan, sementara puisi menggugah kesan batiniah dan kontemplasi. Sebagai penutup, dapat kita baca puisi Pablo Neruda dalam buku Ciuman Hujan berikut ini:
XC
Aku pikir aku sedang sekarat, aku rasakan hawa dingin mendekat
dan tahu bahwa dari seluruh hidupku cuma kau yang kutinggalkan:
siang dan malamku yang fana adalah mulutmu,
kulitmu adalah kerajaan yang didirikan oleh ciuman-ciumanku.
Pada saat itu buku-buku berhenti,
juga persahabatan, kekayaan menumpuk dengan gelisah,
rumah transparan yang kau dan aku bangun:
segala sesuatu berguguran, kecuali matamu.
Sebab sementara kehidupan mengusik kita, cinta hanyalah
gelombang yang lebih tinggi ketimbang gelombang-gelombang lainnya:
tapi oh, kala maut datang mengetuk pintu gerbang,
di sana hanya tatapanmu yang melawan begitu banyak kekosongan,
hanya cahayamu yang melawan kepunahan,
hanya cintamu yang mengusir bebayang.[]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini dipersembahkan bagi penulis pemula supaya makin mencintai dunia sastra (khusunya cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post