Cerpen: Septiani
Pasar Beringharjo selalu padat dan ramai. Becak berlalu-lalang, ada juga yang hanya diam. Barangkali, menunggu pengunjung Pasar Beringharjo selesai berbelanja. Suara tawar-menawar harga. Wajah-wajah lokal hingga asing memenuhi pasar. Tidak hanya di dalam namun juga di luar.
Di sepanjang bagian luar Pasar Beringharjo, menghampar penjual yang menjajakan dagangannya. Mulai dari baju bertuliskan Yogyakarta, batik, hingga souvenir khas Yogyakarta. Kamu sudah mengitari hamparan penjual itu berulang kali. Sesekali kamu melirik arloji di tanganmu lalu memasukkan tanganmu di saku jaket sambil menghela napas. Kamu mondar-mandir. Kamu terlihat gelisah.
Di sebelahmu, seorang ibu sedang mengamati sebuah miniatur Tugu Yogyakarta. Ibu itu menggenggam Tugu Yogyakarta itu sejenak lalu melepaskannya kembali. Di sampingnya, penjual sudah memperhatikannya. Ibu itu lalu menoleh pada si penjual dan tersenyum kemudian beranjak pergi. Kamu berbalik lalu memegang Tugu Yogyakarta yang digenggam ibu tadi. Kamu memandanginya begitu lama. Kamu juga pernah membelinya. Ingatanmu kembali pada waktu itu.
***
Kamu berlari kecil sambil memegang piala yang berwarna keemasan di tanganmu. Kamu memegangnya dengan kuat. Takut piala itu akan terlepas dan terjatuh dari tanganmu. Dari kejauhan, kamu sudah melihat sosok perempuan yang sedang menyapu halaman. Kamu melambaikan tangan sambil menunjukkan piala di tanganmu. Perempuan itu tersenyum. Ia meletakkan sapunya.
“Ibu, lihat. Aksa menang kompetisi matematika. Kali ini, Aksa akan ke Yogyakarta, Bu,” ucapmu dengan perasaan bahagia yang meluap-luap. Tampak jelas rasa bangga tercetak di wajahmu.
Perempuan yang kamu panggil ibu itu memelukmu lalu mengusap lembut rambutmu sambil berkata,“Memang anak ibu selalu jago.”
“Ibu, mau Aksa bawakan apa dari Yogja? Biar nanti Aksa carikan,” tanyamu.
“Bawakan ibu miniatur apa saja yang menjadi khas Yogya.”
“Kenapa miniatur, bu? Kan enggak bisa dipakai apalagi dimakan,” ucapmu penasaran. Perempuan itu tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Ibu senang mengoleksi miniatur.”
“Kalau begitu, Aksa akan sering-sering memenangkan kompetisi biar bisa membawakan ibu miniatur dari seluruh Indonesia bahkan dunia,” ujarmu sambil membentangkan tangan untuk menggambarkan betapa luasnya dunia.
Perempuan itu hanya tersenyum lalu mengambil piala yang sedari tadi dipegang olehmu. Ia masuk ke dalam dan meletakkan piala itu di antara deretan pialamu yang lainnya. Perempuan itu tersenyum bangga seakan ia yang telah memenangkan itu. Setiap hari perempuan itu selalu meluangkan waktunya untuk membersihkan piala-piala itu. Ia tidak membiarkan setitik debu pun menempel pada piala-piala itu. Sembari membersihkan, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Barangkali, inilah alasan kamu selalu semangat memenangkan kompetisi. Kamu ingin terus melihat senyum di wajah perempuan itu.
Hari itu, kamu kembali dari Yogyakarta. Kamu membawa tas yang berisi setumpuk baju kotor. Kamu meletakkan tas itu begitu saja lalu berlari kecil. Kamu mencari ke kamar lalu ke dapur. Benar saja. Kamu melihat sosok perempuan sedang mencuci piring. Kamu memeluknya dari belakang lalu mengeluarkan benda yang sedari tadi kamu sembunyikan di belakang punggungmu.
“Ibu, Aksa membawa dua buah miniatur,” kamu menyerahkan sebuah miniatur Tugu Yogyakarta yang berwarna putih dan piala yang diatasnya terdapat satu bintang. Piala itu tidak berwarna atau transparan.
Perempuan itu tersenyum lebar sekali. Sepanjang perjalanan, kamu sudah membayangkan akan seberapa lebar lengkungan di wajah perempuan itu. Begitu melihatnya langsung, rasa senang pada dirimu langsung berlipat ganda.
Kamu membantu perempuan itu mencuci piring. Sembari membilas piring, kamu berkata, “Ibu, kenapa ibu senang mengoleksi miniatur?”
Perempuan itu terdiam sejenak, lalu berkata, “Biar Aksa punya alasan untuk ikut kompetisi.”
“Itu kan untuk Aksa sendiri. Lagian alasan Aksa ikut kompetisi kan karena Aksa suka dan juga ibu. Kalau, untuk ibu sendiri?”
Perempuan itu tersenyum namun ia tidak memandang ke arahmu, ia berkata, “Suatu hari nanti Aksa akan tahu.”
***
Kamu tersadar ketika ada yang menepuk kedua pundakmu. Pundak sebelah kiri ditepuk oleh si penjual. Pundak sebelah kanan ditepuk oleh seseorang yang sudah kamu tunggu sedari tadi. Kamu meletakkan miniatur Tugu Yogyakarta itu lalu mengeluarkan dompet dari tasmu. Kamu mengeluarkan sejumlah uang untuk si penjual.
“Asta, kenapa lama sekali?” tanyamu.
Lelaki yang kamu panggil Asta itu berkata, “Maaf. Aku tidak mengerti baju batik mana yang sesuai untuk perempuan. Lagian mamaku juga bawel. Banyak maunya. Ekspresimu langsung datar. “Kamu harus bersyukur masih bisa membelikan mamamu sesuatu.”
“Iya, iya,” ujar lelaki itu.
Kamu dan lelaki itu lalu memanggil becak untuk kembali ke penginapan. Setiba di penginapan, kamu langsung merebahkan diri di ranjang. Kepalamu mengarah pada tas yang tadi siang kamu gunakan. Sebuah miniatur berwarna putih menyembul dari balik tas. Kamu meraih miniatur itu, memegang, dan mengelusnya lembut.
Piala-piala dan miniatur-miniatur kosong itu pasti sekarang sudah berdebu. Mungkin sudah saatnya aku pulang, batinmu.
Malam itu juga, kamu memesan tiket penerbangan. Kamu menunda perjalananmu kali ini. Barangkali, niat itu juga sudah hilang. Kamu hanya ingin kembali. Melihat piala dan miniatur yang dipajang di lemari yang sudah lama kamu lupakan.
***
“Ibu, jangan bercanda dong. Masa miniatur lagi. Aksa baca yang khas dari Nusa Tenggara Timur itu kain tenunnya. Ibu mau kain tenun?”
Perempuan itu tersenyum lalu menggeleng. “Bawakan saja ibu miniaturnya.”
Kamu membujuk perempuan itu agar mau dibelikan kain tenun. Kamu sudah bosan melihat miniatur. Benda-benda itu sudah memenuhi lemari selain piala tentunya. Kamu hanya tidak ingin perempuan itu menambah pekerjaannya dengan membersihkan semua benda itu.
“Baiklah, tapi dengan syarat Aksa harus juara satu pada kompetisi nanti,” akhirnya perempuan itu menyerah.
“Siap ibu bos. Aksa akan membawa kain tenun untuk ibu dan piala juara satu,” kamu mengangkat tangan untuk berjanji.
Perempuan itu tersenyum lalu melanjutkan pekerjaannya membersihkan piala dan miniatur yang terus bertambah sepanjang waktu. Kamu juga ikut membantu perempuan itu. Kamu masih tidak mengerti apa bagusnya sebuah miniatur. Bukankah lebih bagus kalau melihatnya langsung daripada mengoleksi miniaturnya?
Sesuai janjinya, hari itu Aksa kembali membawa pulang tiga benda. Selain satu tas penuh pakaian kotor, kulitnya yang kecokelatan berhasil membuat perempuan itu tertawa kecil.
“Aksa terlihat eksotis kan, Bu?”
Perempuan itu mengangguk. Ia mengambil piala dan miniatur lalu memajangnya di lemari. Ia tersenyum puas. Kain tenun itu tidak dihiraukannya. Kamu membatin, kalau miniatur bisa membuat ibu bahagia maka akan kubawakan sebanyak-banyaknya.
***
Kamu meletakkan kopermu di lantai teras begitu saja. Kamu lupa sudah berapa lama rumah itu kamu biarkan kosong, tapi kamu tidak pernah melupakan kebersihannya. Kamu telah menyewa seseorang untuk membersihkannya.
“Ibu suka kebersihan. Beliau pasti akan sedih kalau rumahnya kotor,” begitu pesanmu pada seseorang yang membantu membersihkan rumah, tapi kamu tak pernah memintanya membersihkan piala dan miniatur.
Kamu membuka pintu perlahan lalu menyalakan satu persatu lampu ruangan. Terpampang di depan matamu sekumpulan piala dan miniatur yang sekarang terlihat sangat kosong. Kamu menggulung lengan kemejamu lalu mencari kain untuk membersihkannya. Maaf ibu, aku baru membersihkannya sekarang, batinmu. Ketika sedang membersihkan salah satu miniatur, secarik kertas terjatuh. Kertas itu sudah menguning. Kamu membuka kertas itu dan membacanya. Sesaat kemudian air mata menggenang di pelupuk matamu.
Anakku tersayang, Aksa
Anakku, barangkali kamu tidak akan pernah membaca surat ini, tapi kalau kamu membersihkan piala dan miniatur ini, kamu pasti akan menemukannya. Ibu menebak, sekarang kamu sedang membersihkan piala dan miniatur yang tidak pernah kamu pedulikan itu, bukan?
Ibu ingat, kamu selalu bertanya kenapa selalu miniatur bukan benda lain. Dulu ibu punya impian ingin mengelilingi Indonesia bahkan dunia, tapi zaman ibu dengan zamanmu sangat berbeda, Nak. Perempuan tidaklah sebebas sekarang untuk menyuarakan impiannya. Ibu hanya bisa menelan mentah-mentah impian itu, tapi tidak apa. Ibu punya Aksa yang meneruskan impian ibu. Dengan melihat piala dan miniatur itu, ibu sudah merasa seperti sedang menggenggam impian ibu, karena itu ibu selalu merawatnya.
Ibu titip impian ibu ya, Nak.
Kamu mengelap air mata yang tersisa di pipi dan matamu. Bodohnya aku tidak pernah membawa ibu pergi untuk melihat langsung miniatur-miniatur itu, batinmu. Penyesalan sudah terpupu. Yang pergi tidak bisa kembali. Yang tersisa hanya lemari, piala, miniatur, dan impian.
Biodata
Septiani menyebut diri seorang bibliophile. Saat ini, ia sedang menetap di Kota Bengkulu untuk menyelesaikan studinya. Kesukaannya adalah berimajinasi, makan, tidur, dan tertawa. Ketidaksukaannya adalah kebosanan. Jika ingin mengenalnya, sila mengunjungi instagram @semestasepti. Barangkali bisa bergabung dengan semestanya.