Telaga dan Surau Tua
aku tak hendak jadi suara
menjadi kerikil jatuh
yang kau lempar ke telaga
mengusik bias bayang surau tua
aku tak hendak mendengarmu
menyusun suara parau
mengungkit-ungkit kaji lama
aku tak hendak menjadi aroma tubuh
yang memikat: malam dan segenap setan
memperalati waktu, membuatmu
ketakutan menunggu
kabut diam-diam meminjam wajahmu
—diam-diam hendak menjadimu
mengulurkan tangan samar-samar
isyarat yang telah lama kaupahami
aku hanya hendak menjadi hening kolam
—hendak menjadi/ kata yang dalam.
(18/08/20)
Hutan
aku suka tidur dalam hutan yang tentram
menggulung badan diselimuti hujan
tak perlu menjadi sepasang boneka pengantin
kesepian. donat yang digigit lalu disisakan sebagian
ingatan adalah tumpukan pakaian kotor
belum terpisah dari peluh dan bau tubuh
aku akan bermimpi dan tertidur lagi
seperti putri yang setia dan tujuh kurcaci
sebuah kota terhapus dari peta
kompas buta arah dan tak melanjutkan kalimat berikutnya
aku hanya pesan hanyut
tak harap ditemukan pelaut.
Yang Lupa Caranya Memejamkan Mata
matamu yang teduh telah benar
benar redup. tertutup.
rindu yang mendidih adalah api
lupa kau padamkan
pada sebuah perjamuan
suatu makan malam yang lengang.
gamang nyala lampu damar
asap tungku yang menjelma apa saja
gentayangan jasadmu.
hidangan telah jadi dingin—
tubuh yang kau kenakan kemarin.
Lanskap Murung
kau dapat menjumpaiku
di antara reruntuhan dinding kota
—kata-kata yang tak jelas lagi susunannya
meringkuk. seperti sepasang kucing kecil
yang sengaja ditinggalkan
di mana-mana berjalan manekin-manekin
tanpa kepala. tersebar di penjuru kota
foto keluarga dan senyum yang dipaksa-paksa
adalah lapisan kulit yang mulai berlumut
bunga yang tak mengatakan kesedihannya
kau menemukanku
di deretan panjang daftar hitam
seorang gadis yang menyeret malam
Jarum Jam
Ia membayangkan tangan-tangan gaib
memutar jarum-jarum jam pada sebuah
rumah tua yang telah lama tak terdengar lagi
kukuknya. mungkin tangan-tangan itu juga yang sengaja
meninggalkan bercak darah. agar kita saling menuduh
saling membunuh: waktu yang mengganggu percakapan kita itu.
31/08/20
Surya Hafizh. Lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatera barat. Tulisan- tulisanya tergabung dalam antologi Buah Sebuah Pilihan ( 2017), Berkisah di Kimia (2019) dan Empati (2020). Dapat ditemui di suryahafizh979@gmail.com.
Yang Ingat Caranya Membaca Isyarat
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
ingatan adalah tumpukan pakaian kotor
belum terpisah dari peluh dan bau tubuh.
Pada pekan terakhir Ramadan 1422H ini, Kreatika menampilkan lima puisi dari Surya Hafizh. Kelima puisi penyair muda dari Payakumbuh ini berjudul “Telaga dan Surau Tua”, “Hutan”, “Yang Lupa Caranya Memejamkan Mata”, “Lanskap Murung”, dan “Jarum Jam”.
Menurut Waluyo (2000), puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. A. Richards (dalam Waluyo, 2000) menyebutkan makna atau struktur batin dengan istilah hakikat puisi. Ada empat unsur hakikat puisi, yakni tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention). Keempat unsur itu menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair.
Ini dapat kita temukan pada puisi-puisi Surya. Misalnya puisi pertama, “Telaga dan Surau Tua”, perasaan penyair menyatu dengan tema. Larik-larik ‘aku tak hendak jadi suara/ menjadi kerikil jatuh/ yang kau lempar ke telaga/ mengusik bias bayang surau tua’ mengungkapkan keinginan untuk tidak menjadi pengganggu, merusak ketenangan, mengacaukan harmoni. Suasana tenang ditunjukkan melalui permukaan kolam yang membiaskan pantulan surau tua di dekatnya. Lebih lanjut Surya menulis tentang kegelisahan yang disimbolkan dengan ‘kabut’, ‘kabut diam-diam meminjam wajahmu/ —diam-diam hendak menjadimu/ mengulurkan tangan samar-samar/ isyarat yang telah lama kaupahami.’ Meski kita mempunyai bahasa untuk berkomunikasi antarsesama manusia, kadang pesan dan maksud tetap disampaikan secara terselubung yang dapat menimbulkan ketidaksamaan pengertian. Namun, Surya menegaskan maksudnya bahwa yang dia inginkan adalah kedamaian, bukan perseteruan, seperti permukaan kolam yang berkecamuk. Demi terjaganya harmoni, aku lirik pun memilih ‘aku hanya hendak menjadi hening kolam/ —hendak menjadi/ kata yang dalam.’ Itu lebih dari apa pun. Kebijaksanaan.
Keinginan yang cenderung ditahan, tidak dibiarkan meledak-ledak agresif bertransformasi pada puisi ketiga, “Yang Lupa Caranya Memejamkan Mata”. Kali ini hasrat menjadi tak terbendung tak bisa dijinakkan lagi: ‘rindu yang mendidih adalah api/ lupa kau padamkan/ pada sebuah perjamuan/ suatu makan malam yang lengang.’ Meskipun ada kata ‘lengang’ yang cenderung tenang, kata ‘mendidih’ dan ‘api’ memberi energi letup atas rindu yang sebelumnya diredam di bawah permukaan kolam. Gejolak rindu memberontak lewat ‘asap tungku yang menjelma apa saja/ gentayangan jasadmu.’ Sekuat-kuatnya menahan, perasaan-perasaan akan mencari jalan keluar untuk sampai ke sasaran.
Puisi “Hutan” menjadi penengah kedua keinginan yang dituangkan dalam dua puisi di atas. Antara kolam yang memantulkan bayangan surau tua dan api rindu yang mendidih, Surya mengambil kemungkinan lain: ‘aku suka tidur dalam hutan yang tentram/ menggulung badan diselimuti hujan// tak perlu menjadi sepasang boneka pengantin/ kesepian. donat yang digigit lalu disisakan sebagian’. Rasa sakit akan kesepian karena mesti ditinggalkan akhirnya diganti dengan keterasingan yang beku namun menentramkan. Ketentraman, kedamaian memang bermuara pada rasa bahagia walau mulanya pahit di lidah.
Di dalam puisi “Lanskap Murung”, Surya menulis kesuraman kota dengan intens: “kau dapat menjumpaiku/ di antara reruntuhan dinding kota/ —kata-kata yang tak jelas lagi susunannya/ meringkuk. seperti sepasang kucing kecil/ yang sengaja ditinggalkan// di mana-mana berjalan manekin-manekin/ tanpa kepala. tersebar di penjuru kota.” Pilihan diksi ‘reruntuhan’, ‘kucing kecil’, ‘ditinggalkan’, dan ‘manekin-manekin tanpa kepala’ berhasil membangun suasana lanskap yang tidak menyenangkan, suram, murung, penuh masalah.
Puisi-puisi Surya menunjukkan bakat yang perlu diasah lebih serius sehingga dapat menghasilkan puisi yang kuat seperti karya Oktavio Paz berjudul “Dengarkan Aku seperti Seseorang Mendengarkan Hujan” berikut:
Dengarkan aku seperti seseorang mendengarkan hujan,
tanpa penuh perhatian dan tanpa terganggu,
langkah ritmis, gerimis tipis,
air itu adalah udara, udara itu adalah waktu,
terang semakin berlalu,
malam belum juga tiba,
wujud-wujud kabut,
di tepian sudut,
wujud-wujud waktu,
di lengkung jeda,
dengarkan aku seperti seorang mendengarkan hujan,
tak perlu menyimak, dengarkan kata-kataku,
dengan mata hati terbuka, terlelap,
dengan pancaindra terjaga,
hujan itu, langkah ritmis, gumaman kata-kata,
udara dan air, kata-kata tanpa beban,
kita adalah kita,
hari demi hari dan tahun demi tahun, saat ini,
waktu yang ringan dan kepedihan yang berat….[]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post