Sebuah Ketulusan
Aku terlahir dari hatimu yang paling suci
Pancaran matamu menjagaku untuk tetap merasa tenang
Tanganmu merangkulku dengan kebijaksanaan
Kata-katamu mendidikku dengan kearifan
Ayah,
Tak terbilang segala jerihmu
Di pagi buta
Kau hadang sang lentera dengan kerja keras
Di keelokan senja
Kau ajak aku berdialog perihal mimpi-mimpi
Di malam sepi
Kau peluk kegelapan dengan kelapangan hati
Ayah,
Tak terkatakan lagi bagaimana aku mengecewakan dan terus mengecewakanmu
Tak terhitung lagi banyaknya duri dari lisanku yang menghujam dadamu
Tak terkira lagi bagaimana aku selalu acuh pada perintahmu
Ayah,
Akulah orang yang sering abai akan persaanmu
Tapi, ayah
Akulah orang yang paling sering kau sebut di dalam doa-doa panjangmu.
Harus Aku Apakan?
Di musim dingin,
Cerita lama itu seperti jaket rajutan bermotif bulan purnama
Di musim gugur,
Cerita lama itu layaknya dedaunan yang jatuh untuk melengkapi keindahan
Di musim panas,
Cerita lama itu menyerupai jus buah-buahan
Di musim semi,
Cerita lama itu menjelma istana bunga bewarna-warni
Malangnya nasibku
Hidup dikendalikan oleh kegamangan
Harus aku apakan?
Agar tak lagi memakai
Agar tak lagi melihat
Agar tak lagi merasakan
Agar tak lagi tinggal
Pada, masa lalu
Bolehkah kupinta?
Untuk jangan pergi jika tak membawa serta seluruh kenangan
Yang kini kudekap sendirian.
Di Manakah Aku Berada?
Aku telah kehilangan diriku
Kucari aku dalam banyak pertanyaan
Di manakah aku berada?
Kudekati kaca yang menggambar seluruh aku
Di sana,
Pada pantulan jiwaku
Kulihat tubuhku hanya ditutupi sehelai daun yang dimakan ulat
Kulihat mulutku asyik menyunyah daging yang telah busuk
Kulihat hatiku penuh dengan kemarahan dan kedengkian
Kulihat pikiranku berpilin-pilin ditunggangi prasangka
Kulihat aku sedang mematahkan kaki dan tanganku sampai lumpuh
Di sinilah aku berada!
Di pusaran dendam
Di palung keputusasaan
Di jurang kebinasaan.
Dialog
Bukankah jarak kita dengan pertemuan
sebatas mampukah aku menanggung
beban-beban rindu?
Tidak. Jarak tidak pernah sesederhana itu.
Lalu?
Jarak kita sebatas masih percayakah kau padaku?
Itu yang paling ringan. Yang paling beratnya,
masih percayakah kau pada doa yang kita langitkan
diam-diam? Masih percayakah kau
jika yang terbaik memang yang telah digariskan?
Jika aku percaya, bagaimana?
Maka selama itu kita tidak pernah memiliki jarak.
Dara Puspa Mulyana, lahir di daerah yang dikenal sebagai Kota Dingin Tak bersalaju, 3 July 2000. Saat ini sedang menyelesaikan program S1 di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI SUMBAR, dengan jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dara juga aktif menulis antalogi pulisi dan novel di Wadpatt. IG: @daraa.pm
Pertanyaan-pertanyaan dalam Kesendirian
Oleh:
Ragdi F. Daye
(Buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
jangan pergi jika tak membawa serta seluruh kenangan
yang kini kudekap sendirian.
Pada edisi ini, redaksi telah memilih empat buah puisi Dara Puspa Mulyana yang lembut menyentuh hati untuk menghiasi rubrik Kreatika kesayangan pembaca budiman. Keempat puisi tersebut berjudul “Sebuah Ketulusan”, “Harus Aku Apakan”, Di Manakah Aku Berada?”, dan “Dialog”.
Puisi pertama, “Sebuah Ketulusan”, seperti sengaja dipersembahkan untuk sang Ayah. Dara menulis: Aku terlahir dari hatimu yang paling suci/ Pancaran matamu menjagaku untuk tetap merasa tenang/ Tanganmu merangkulku dengan kebijaksanaan/ Kata-katamu mendidikku dengan kearifan. Banyak anak yang merasa gentar dengan kewibawaan ayah. Namun, di balik sikap keras seorang ayah, sebenarnya tersimpan tujuan menuntun dan membimbing anak-anaknya untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Kalaupun seorang ayah marah, itu tidak lain untuk mendisiplinkan anak-anaknya, mendidik anak-anaknya supaya menjadi manusia yang taat nilai dan norma.
Ketika seorang ayah bersikap terlalu keras dalam menanggapi tingkah laku anak-anaknya, bisa jadi dia sedang sangat lelah mencari nafkah. Lebih lanjut, Dara menuliskan perenungannya: Ayah,/ Tak terbilang segala jerihmu/ Di pagi buta/ Kau hadang sang lentera dengan kerja keras/ Di keelokan senja/ Kau ajak aku berdialog perihal mimpi-mimpi/ Di malam sepi/ Kau peluk kegelapan dengan kelapangan hati. Ayah, ibu, atau orang tua tentu telah mengorbankan tenaga, waktu, jiwa, dan raganya demi membahagiakan anak-anak dan keluarganya. Kadang-kadang, mereka tidak mampu mengungkapkan dengan tepat sehingga cinta tersebut dipandang secara keliru oleh anak ketika harapan dan permintaan tidak terpenuhi. Baru di kemudian hari, saat si anak sudah dapat melihat pengorbanan orang tuanya dengan kejernihan kalbu, mengertilah dia bahwa tak akan sanggup seorang anak membalas jasa orang tua.
Di dalam pembicaraan mengenai jenis-jenis sastra, Luxemburg, dkk. (1989:111) menyatakan bahwa sajak (puisi) naratif adalah sajak yang menyajikan serangkaian peristiwa. Situasi bahasa berupa monolog, tetapi isi berupa cerita. Hal ini menyebabkan sajak naratif memiliki bentuk campuran sehingga dapat didekati dari sudut naratif, puitik, atau keduanya secara bersamaan.
Nada perenungan yang tak kalah menyentuh muncul pada puisi kedua dan ketiga. Pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk mengevaluasi diri sendiri berguna dalam pproses instrospeksi diri, seperti larik-larik ini: Di sana,/ Pada pantulan jiwaku// Kulihat tubuhku hanya ditutupi sehelai daun yang dimakan ulat/ Kulihat mulutku asyik menyunyah daging yang telah busuk/ Kulihat hatiku penuh dengan kemarahan dan kedengkian/ Kulihat pikiranku berpilin-pilin ditunggangi prasangka/ Kulihat aku sedang mematahkan kaki dan tanganku sampai lumpuh. Metafora-metafora yang digunakan Dara menyimbolkan sifat-sifat buruk yang sering muncul dalam diri manusia, seperti iri hati, dengki, hasut, fitnah, gunjing, amarah, dan kesombongan. Kadang kita tidak menyadari perasaan dan perilaku buruk telah kita perbuat yang berakibat pada rusaknya hubungan dengan orang lain yang sebenarnya juga dapat menghancurkan kehidupan sendiri.
Menurut Tarigan (1985:7), satu-satunya tolok ukur untuk menikmati puisi adalah ‘rasa’. “It’s sole arbitrer is taste.” Sebuah puisi dapat dipahami dengan menganalisis unsur-unsur pembentuknya, yang terdiri atas externe strukturrelation (struktur eksternal) dan interne strukturrelation (struktur internal). Externe strukturrelation terdiri atas imaji, diksi, kata nyata, imajas, dan bunyi. Sedangkan interne strukturrelation meliputi perasaan, tema, nada, dan amanat.
Kebuncahan perasaan yang cukup solid muncul pada puisi keempat yang bernuansa romantis. Terasa penulis begitu intens dengan pilihan-pilihan diksi sehingga larik demi larik terangkai kompak mengungkapkan kedekatan suatu hubungan. Jarak adalah soal kepercayaan. Jarak kita sebatas masih percayakah kau padaku?/ Itu yang paling ringan. Yang paling beratnya,/ masih percayakah kau pada doa yang kita langitkan/ diam-diam? Masih percayakah kau/ jika yang terbaik memang yang telah digariskan?// Jika aku percaya, bagaimana?// Maka selama itu kita tidak pernah memiliki jarak. Sungguh manis!
Sebagai penutup, mari kita simak sebuah puisi WS Rendra berikut yang juga bertutur tentang ayah dalam pandangan seorang anak, seperti tema puisi pertama Dara:
Dua mata hitam adalah mata hati yang biru
dua mata hitam sangat kenal bahasa rindu.
Rindu bukanlah milik perempuan melulu
dan keduanya sama tahu, dan keduanya tanpa malu.
Dua mata hitam terbenam di daging yang wangi
kecantikan tanpa sutra, tanpa pelangi.
Dua mata hitam adalah rumah yang temaram
secangkir kopi sore hari dan kenangan yang terpendam.
(“Mata Hitam” dalam Stanza dan Blues, 2016)
Puisi memang tidak sesederhana kelihatannya. []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post